Pagi menyapa desa Danta Bhumi. Istungkara, Kirana Maheswari, dan Mbah Putih terlihat tak berdaya tergantung di pohon. Tubuh mereka diikat dengan posisi kepala di bawah dan kaki di atas. Lilitan tali memenuhi tubuh, hanya kepala saja yang bebas dari lilitan tali. Mereka seperti kepompong yang bergelantung di dahan pohon. Beberapa inci dari leher mereka, lancip ujung tombak menunggu. Jika ada gerakan yang mencurigakan, ujung tombak bisa menusuk bagian leher yang paling dekat dengan kepala.
Semalam penuh mereka ditawan dengan kondisi seperti itu. Hal tersebut dilakukan penduduk desa untuk mengantisipasi agar Mbah Putih tak menggunakan jurus teleportasi, yakni Ajian Saipi Angin. Saat puluhan warga Danta Bhumi mengepung mereka, sore kemarin, Mbah Putih punya kesempatan untuk melarikan diri dengan Ajian Saipi Angin. Namun urung dilakukan, sebab pedang dan tombak sudah mengepung leher Kirana Maheswari, Istungkara, dan gadis yang diselamatkan dari dalam danau. Lagi pula, Mbah Putih tak ingin bertarung dengan warga Danta Bhumi yang sedang dikuasai oleh Ragasarpa.
Namun, kini Mbah Putih menyesali keputusannya. Bukan hanya nyawa gadis perawan dari Danta Bhumi yang hendak dikorbankan sebagai makanan Uwel, tapi nyawa mereka juga terancam. Bahkan, jika mereka bisa lolos dari maut di desa Danta Bhumi, belum tentu mereka bisa menyelamatkan Satria Braja. Perhitungan Kirana Maheswari dalam 1x24 jam ini adalah masa terakhir Satria Braja. Jika dalam waktu tersebut tidak segera diobati dengan bunga Puspa Rasa, kemungkinan besar calon pendekar tingkat sanak itu tidak tertolong.
Jika Satria Braja tidak terselamatkan oleh Puspa Rasa, maka Kirana Maheswari tidak boleh lagi menginjakkan kaki lagi di Padepokan Benteng Mukti. Padahal padepokan itu telah menjadi rumah bagi gadis cantik ini dalam tiga tahun terakhir. Bagi anak-anak yatim piatu seperti Kirana Maheswari, Padepokan Banteng Mukti lebih dari sekadar tempat latihan tetapi juga menjadi tempat tinggal keluarga. Sebab, padepokan menyediakan asrama khusus bagi yatim piatu. Selain Kirana Maheswari, Istungkara juga menerap di asrama yatim piatu milik padepokan.
Mbah Putih tidak mengira mereka akan ditawan dengan posisi sedemikian rupa. Ia mengira hanya akan di kurung di sebuah ruangan atau kandang khusus tawanan dan sandera. Sehingga, ia dengan mudah bisa melarikan diri bersama Istungkara, Kirana Maheswari, dan gadis desa Denta Bhumi itu. Nyatanya, prediksinya meleset. Kini Mbah Putih hanya bisa pasrah tanpa terlihat sedikit pun kegelisahan dari wajahnya.
Rambut Kirana Maheswari terurai ke bawah, setiap kali ia mencoba menggerak-gerakkan kakinya yang berada di atas, rambut hitam berkilau itu beruntai merumbai. Sepanjang malam, Kirana Maheswari tak mampu menyembunyikan kegelisahannya. Ia terus berusaha melepaskan diri, meski ujung tombak mengancam lehernya. Bahkan beberapa kali penduduk desa yang menjaga Kirana Maheswari, terpaksa mengancam untuk menakuti gadis cantik itu.
Semesntara Istungkara menikmati, masa-masa genting tersebut. Kilau rambut kirana yang terurai merumbai, menjadi daya tarik tersendiri. Ditambah lagi dengan ekspresi kesal dan wajah memerah dari Kirana Maheswari yang ingin melepaskan diri. Bagi Istungkara, itu adalah pemandangan yang menarik, jika tak mau dibilang pemandangan indah. Momen itu memberi kesan khusus bagi Istungkara. Ia mulai ragu pada hatinya. Apakah kamu tidak tertarik terhadap gadis cantik dan merepotkan itu? Bagitulah kira-kira pertanyaan yang Istungkara lontarkan pada hatinya sendiri.
Ia menutup lamunannya tentang Kirana Maheswari dengan senyuman kecil yang nakal. Menyadari Istungkara memperhatikannya dan menyunggingkan senyum yang aneh, Kirana Maheswari langsung membentaknya.
"Kenapa kamu senyum-senyum sendiri?" tanya Kirana Maheswari dengan nada tinggi dan penuh curiga, lengkap dengan sorot mata penuh kesal.
Istungkara hanya diam. Ia hanya membalas senyuman aneh yang lain. Sebuah senyuman yang sangat singkat dan cepat.
Sepertinya, aku mulai menyukaimu sang bidadari yang bersinar, Kirana Maheswari. Jawaban hati Istungkara mulai menyeruak mengungkapkan rasa yang ia pendam.
Kirana Maheswari menyadari ada sesuatu yang aneh pada diri Istungkara. Sebagai seorang wanita, Kirana Maheswari cukup peka pada rasa. Tiba-tiba, pipinya memerah ia merasa tergoda oleh senyum singkat Istungkara. Ia sedikit malu juga. Sehingga berinisiatif untuk mengalihkan rasa tersebut dengan membuat pembicaraan dengan Mbah Putih.
"Mbah, apa yang harus kita lakukan? Sedangkan nyawa Satria Braja terancam. Jika nanti malam tidak segera kita obati, dia bisa meninggal dunia," ucap Kirana Maheswari kepada Mbah Putih.
Mbah Putih yang sejak tadi memejamkan mata, hanya diam. Tidak ada jawaban dari mulutnya. Kini, Kirana Maheswari merasakan sesuatu yang tak enak, antara malu dan kesal dengan takaran yang sama besar. Ia badmood. Ia merasa Istungkara dan Mbah Putih sama-sama menyebalkan di saat yang tak tepat. Belum lagi, sorot mata penuh intimidasi dari penjaga yang sedari tadi menyodorkan tombak ke arahnya dan tak kalah menyebalkan. Ia benar-benar merasa berada pada suatu keadaan bahwa semua laki-laki menyebalkan.
Namun tanpa disadari oleh Kirana Maheswari, ada raut cemburu pada muka Istungkara saat Kirana Maheswari menyebut nama Satria Braja. Istungkara menganggap Kirana Maheswari lebih mementingkan nyawa Satria Braja daripada nyawa mereka. Istungkara mulai berpikir, barangkali Kirana Maheswari menyukai Satria Braja. Apalagi, jika melihat semangat Kirana Maheswari untuk menyelamatkan Satria Braja. Rasa cemburu Istungkara pada Satria Braja tak mampu ia abaikan begitu saja. Kini hatinya bergejolak. Suka dan cemburu berbaur dalam satu waktu.
Pukulan gong menggema. Mengalihkan persoalan rasa kedua anak muda itu. Bunyi gong diiringi dengan arak-arakan ritual Pakan Uwel yang kembali diulangi dengan gadis yang sama. Kepala gajah dengan darah berlumuran tak luput dari bagian sakral ritual itu.
Mbah Putih ikut memperhatikan jalannya ritual tersebut yang diikuti lebih banyak warga Denta Bhumi. Keamanan kegiatan tersebut semakin ditingkatkan. Para warga beranggapan tak boleh lagi ada pengacau yang menghentikan ritual sakral tersebut. Upacara Pakan Uwel harus terlaksana dengan lancar. Para warga berharap agar Ragasarpa tak merusak dan membunuh warga secara sembarangan. Oleh karena itu, satu gadis perawan setiap bulan dianggap cukup untuk menutup keberingasan dan keserakahan Ragasarpa.
Kali ini, warga Denta Bhumi tak perlu mengantarkan sesembahan dan korban ke tengah danau dengan perahu. Uwel milik Ragasarpa yang super besar sudah setengah berdiri dengan kepala berada jauh di atas permukaan danau. Di atasnya kepala Uwel tampak seseorang dengan tongkat, tak lain dan tak bukan ia adalah Ragasarpa.
Dari kejauhan ia tampak hanya bayang-bayang hitam saja. Namun, jika didekati dan dicermati, ia hanya punya satu mata. Sebelah matanya, ditutup dengan kain hitam. Ragasarpa tak sabar menunggu ritual selesai. Ia menyuruh warga desa Denta Bhumi untuk segera menyiapkan semuanya dan secepat-cepatnya, tak perlu ritual yang terlalu lama seperti biasanya. Ia marah karena Kirana Maheswari dan Mbah Putih mengganggu ritual yang dilakukan warga desa.
Kini ia hanya meminta gadis perawan disediakan di dermaga danau, lengkap dengan kepala gajah dan lainnya. Gadis perawan untuk Ragasarpa, kepala gajah dan sesaji lainnya untuk Uwel. Rombongan ritual Pakan Uwel baru saja tiba di dermaga danau. Ragasarpa tak sabar ingin menyambar sang gadis perawan. []
KAMU SEDANG MEMBACA
SATRIA BRAJA
Fantasy[Jika ada yang memiliki KBM App jangan lupa subcribe dan follow ya. Sejak 20 Agustus 2021, saya pindah lapak. Sekaligus mulai melanjutka menulis kembali setelah satu tahun vacum. Mohon dukungannya. Nama pena yang aku pakai WZ Rendra] Sebagai calon p...