Mahkota Desa

343 13 0
                                    

Matahari tepat berada di atas kepala Mbah Putih, Kirana Maheswari, dan Istungkara saat gapura desa Danta Bhumi menyambut mereka. Suasana desa Danta Bhumi sangat kontras dengan kota Garuda Bumi yang ramai dan penuh hiruk-pikuk dengan segala aktifitas masyarakatnya. Di sini tak tampak seorang pun yang keluar rumah. Sejauh mata mereka memandang. Hanya ada deretan rumah yang suwung. 

Terdengar suara seperti lengkingan gajah. Ketiganya mencari sumber suara di sekitarnya, namun tak ditemukan. Mereka terus mencari sumber suara, searah dengan jalur menuju bunga Puspa Rasa. Sepanjang deretan rumah yang dilewati tak nampak seorang pun.

"Kenapa rumah-rumah di sini pintunya tertutup? Padahal siang hari," tanya Kirana Maheswari setengah bergumam.

"Meski begitu, tampaknya orang-orang berada di dalam rumah. Aku merasa mereka memperhatikan kita, mengintip dari celah dinding bambu," ucap Mbah Putih.

"Aku juga merasa demikian," sahut Istungkara.

"Tetap berhati-hati dan waspada. Barangkali ada serangan dadakan," pesan Mbah Putih

Mereka berjalan hingga tiba di sebuah tebing. Dari kejauhan, tampak segerombolan orang sedang berkumpul di tepi danau Gajah Mungkur.

"Apa yang sedang mereka lakukan?" tanya Kirana Maheswari kepada Mbah Putih.

"Tampaknya kita harus mendekat secara sembunyi-sembunyi untuk mengetahui apa yang mereka lakukan," ujar Mbah Putih.

Ketiganya menuruni tebing dengan hati-hati. Perlahan mereka mendekat langkah demi langkah. Hingga tampak oleh mereka, segerombolan orang itu sedang mengadakan semacam ritual. Di tengah-tengah gerombolan itu ada sepotong kepala gajah lengkap dengan belalai dan gading. Darah segar masih mengalir dari potongan kepala gajah. Di sebelahnya tampak gadis muda, tangan dan tubuhnya diikat dengan tali.

Mata Kirana Maheswari teralih oleh sebuah daratan kecil di tengah danau.

"Bunga Puspa Rasa, berada di daratan itu," ucap Kirana Maheswari sambil menunjuk daratan di tengah danau dengan telunjuknya.

Tiga orang dari rombongan orang di tepi danau itu, naik ke perahu. Mereka membawa serta sepotong gajah yang berlumuran darah, seorang gadis terikat, buah-buahan dan sejumlah bunga.

"Jangan-jangan...." gumam Kirana Maheswari.

Sesampainya perahu itu di tengah danau, salah satu dari orang di atas perahu melemparkan kepala gajah ke danau. Disusul kemudian buah-buahan lalu bunga. Terakhir, gadis terikat itu pun dibuang ke dalam danau oleh dua orang lain. 

Kirana langsung berlari menuju tepian danau sisi yang lain.

"Jangan..." cegah Mbah Putih yang terlambat.

Kirana Maheswari langsung mencebur diri ke danau begitu tiba di tepian. Ternyata ia pandai berenang. Cara berenangnya seperti ular air. Ia berenang menuju dasar danau dengan cepat. Mencari gadis terikat yang dibuang.

Akhirnya, Kirana Maheswari melihat gadis terikat itu yang tenggelam menuju dasar danau. Gadis terikat itu mencoba menggerak-gerakkan kaki dan tubuhnya. Ia semakin cepat berenang ketika melihat gadis terikat itu berhenti bergerak. Ketika sudah dekat, tiba-tiba bayangan hitam besar dan panjang melintas di atas Kirana Maheswari. Begitu melihat ke atas ke arah permukaan, ia terkejut melihat tubuh ular raksasa. Tak tampak olehnya, kepala ular raksasa itu. Kirana Maheswari langsung menyambar tubuh gadis terikat.

Tiba-tiba arus air berubah menjadi cepat seperti tersedot oleh sesuatu. Kirana Maheswari coba melawan aliran air yang mencoba menariknya. Ketika ia menoleh ke arah tujuan arus air, ternyata mulut ular raksasa yang menganga adalah sumbernya. Kirana Maheswari mencoba berenang lebih cepat melawan arus air. Ia mencoba menjauh dari kepala ular itu, secepat mungkin. Tanpa disangka, ular raksasa itu mengibaskan ekor ke arah Kirana Maheswari. Sehingga ia terhempas terkena kibasan ekor ular raksasa.

SATRIA BRAJATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang