- Membiasakan Diri -
\
\Saat itu gerimis, hampir tengah malam ketika pertama kali kakinya menginjak kawasan ini. Itupun dalam kondisi setengah sadar karena dipaksa terjaga dari tidurnya. Maudy berusia 9 tahun, melangkah ringan mengikuti genggaman hangat seolah lupa dengan rengekan hebat sepanjang perjalanan tadi. Keluarganya pindah rumah, tinggal ditempat baru yang tidak Maudy tahu, dan meninggalkan rumah kelahirannya. Meninggalkan pohon jambu favoritnya, meninggalkan para ibu tetangga baik hatinya, meninggalkan teman dan keseruan yang biasa ia punya. Maudy tidak suka, dan rengekan tidak mengubah apapun.
Ketika pagi hari bangun, yang ia lihat adalah atap asing. Jadi sekali lagi, bocah itu menangis. Kekanakan.
Dan sekarang, gadis itu berdiri dihadapan cermin, dengan setelan putih biru lengkap atribut. Sudah kelas 9, bukan lagi anak 9 tahun. Yang berbeda bukan hanya rumah dan lingkungannya, tapi kepribadian Maudy juga. Tidak ada lagi bocah hyperactive periang yang merengek ketika kesenangannya diganggu. Didepan cermin itu hanya seorang gadis remaja. Remaja yang — siapapun melihat pasti tidak akan menyangka jika pernah memiliki sifat cerah tadi.
"Ody udah bangun? Ayo sarapan."
Suara Bunda dibalik pintu kamar mengakhiri sesi tatap-tatapan Maudy dengan Maudy.
Anggota keluarganya ada 4, Maudy selalu jadi yang terakhir bergabung di meja makan.
"Selalu lama," komentar sang adik, namanya Maurin. Sedikit kurang ajar memang.
Maudy tidak menggubris, langsung saja menyendok nasi goreng dihadapannya. Meski jadi yang terakhir bergabung, Maudy selalu yang pertama menyuap sarapan. Mulanya ia kena tegur atas tindakan itu, sekarang tidak lagi. Orang tuanya menganggap ini tindak pemberontakan Maudy atas insiden pindah, dan mencoba maklum. Semua perubahan sikap Maudy, juga tidak dipermasalahkan karena terlanjur menganggap begitu.
"Kalau Ody?"
Maudy diam, tampak seperti berfikir, padahal tidak.
"Udah ada SMA pilihan yang Ody mau?" Tambah Ayah lagi.
Sejak tadi Maudy cukup nyaman menjadi pendengar di obrolan sarapan. Maurin terus berceloteh soal kehidupan sekolah, ditanggapi antusias oleh Bunda dan Ayah terutama karena Maurin mau lulus SD. Jadi Ayah menanyakan sekolah lanjutan yang Maurin tuju, lalu pada Maudy juga yang kebetulan mendekati akhir masa SMP.
Kebetulan mengerikan. Seharusnya jangan ditanya karena terlalu mengerikan.
"Masih belum," jawab Maudy seadanya.
Meski sudah pernah mengalami fase 'membiasakan diri', bukan berarti Maudy menyukai konsep itu. Adaptasi itu menyebalkan, terutama, karena Maudy bukan lagi bocah hyper.
"Loh? Udah mau ujian nasional masa belum mikirin? Nanti mepet loh. Emang gaada kunjungan sekolah sama temen?" Gantian Bunda yang bertanya.
"Mau ujian nasional ya mikirnya ujian nasional atuh Bun."
"Justru difikirin sekarang, biar kamu punya motivasi buat ngerjain UN-nya. Olin aja udah tau mau masuk SMP mana, makanya dia berusaha kejar nem biar bisa masuk situ."
Maudy diam sebentar, sebelum akhirnya mengangguk, "Iya deh, nanti Ody survey di internet," ucapnya, sekedar menghentikan ia terlibat topik saja.
Tapi Ayah kembali membuatnya terlibat pembicaraan.
"Kalau emang Ody gapunya waktu buat survey, nanti kamu tanya Bu Rita aja Bun," ujar Ayah pada Bunda.Firasat Maudy mulai tidak enak.
"Bener juga, biar kak Ody ada barengan. Kasihan ayah capek kerja masih harus jemput kakak." Maurin ikut menimpali.
KAMU SEDANG MEMBACA
Walking Towards Me [COMPLETED]
Teen Fiction"Gausah, ketahuan pacar lu berabe nanti" "Gajadi, ketahuan pacar gua berabe nanti" ------------------------------------------ Well, mereka sebenarnya tidak cocok satu sama lain sebagai manusia saling ramah. Hanya kebetulan terikat situasi dimana sul...