Kehidupan Mereka

765 70 0
                                    

Jaemin mengarahkan pandangan matanya tepat pada tumpukan beberapa buku yang disondorkan oleh ibunya dengan setiap buku memiliki judul yang berbeda.

Mulai dari Bahasa Inggris hingga buku Anatomi dan Fisiologi juga ada di situ. Kepala jaemin mendadak pusing.

"Semua ini?", Jaemin menatap sang ibu dengan ragu. Tangan Jaemin lalu tergerak menyentuh salah satu buku itu dan membuka secara random.

"Sulit jika tidak dipelajari dari sekarang Jaemin", ujar sang ibu seraya menyeruput teh manis yang terhidang di mejanya.

Jaemin menghela nafas lesu dan terdiam sejenak. Sejurus kemudian buku-buku tersebut ia masukkan ke dalam tas sekolahnya dan setelah selesai Jaemin segera berdiri dan pamit pada ibunya.

"Aku akan keluar bersama teman-temanku malam ini bu"

"Jangan pulang telat", ucap sang ibu seraya menyondorkan sebuah kunci yang langsung diambil oleh Jaemin.

"Iya" balas Jaemin seraya melontarkan senyuman. Dirinya kemudian segera melesat pergi dari sana.

_____

Mobil yang dikendarai Taeyong akhirnya tiba di kediaman mereka. Segera si sulung, Jeno membuka pintu mobil dan bergegas masuk ke rumah meninggalkan ayah dan juga adiknya. Menyusul Jeno, Taeyong dan Hina kemudian keluar dari mobil.

"Hai Bunda!", sapa Jeno lalu mencium kedua pipi sang bunda yang kala itu menyambut mereka di ruang tamu dengan senyuman manis. Setelah itu, muncul Hina beberapa detik kemudian, Jeno lantas berlalu ke kamar.

"Wahh Hina, usil sama kakak lagi ya?", tanya sang bunda seraya menggelengkan kepalanya.

Jeno sebentar lagi memasuki usia dewasa, tapi wujudnya sebagai seorang kakak jarang sekali terlihat. Juga sang adik, Hina yang entah ada dendam kesumat apa sampai-sampai tidak pernah seharipun absen mengerjai sang kakak.

Hina mencium tangan dan memeluk tubuh bundanya. "Pipi? " Telunjuk sang bunda mengarah ke pipi yang biasanya menjadi tempat mendaratnya kecupan penuh kasih sayang oleh sang bungsu tersebut.

Hina menggeleng "Tidak mau~ bekas kak Jeno" ujar Hina.

Heol... Taeyong yang sedari awal berdiri di depan pintu tak bisa menahan tawanya.

"Jeno kakaknya Hina kan?" Tanya sang ayah seraya memasang raut lucu saat menanyakannya. Sebenarnya jika tidak dalam mode bertengkar, kakak dan adik itu cukup baik dan saling memperhatikan masing-masing.

Hina mengangguk terpaksa lalu mengeratkan pelukannya pada sang bunda seakan akan tidak ingin membaginya dengan siapapun.

"Hm...yasudah, sayang aku pamit kembali ke kantor dan jangan menungguku untuk makan malam ya", ucap Taeyong yang langsung diangguki oleh Jeni.

"Hina, jangan lupa meminta maaf pada kakakmu!", tegur Taeyong seraya mengusak surai bungsunya dengan lembut.

Setelah mengecup pipi Hina sekilas, Taeyong segera melesat pergi meninggalkan mereka berdua di ruang tamu.

Interaksi tidak biasa Jeno dan Hina itu cukup membuat mereka terhibur meskipun rasa sebal dan pusing lebih mendominan. Jika ditanya kenapa mereka bertengkar, keduanya hanya memilih diam atau mengatakan tidak ada apa-apa.

Tapi faktanya hampir setiap hari, seperti pagi, mulai dari sepatu Jeno yang hilang, ikat rambut Hina yang putus, make-up yang berserakan sampai pakaian dalam lemari yang disusun dengan susah payah oleh bunda mereka juga tak luput menjadi korban peperangan. Memang mereka tidak bermain fisik namun istilah saling mengerjai itu tidak pernah lepas dari keduanya.

Story of Life [Nomin Brothership/family]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang