Jeni jatuh terduduk disofa kamar mereka, matanya melebar dengan bibir yang tak sanggup merangkai kata-kata. Ia baru saja mendengar semua cerita taeyong hari ini dan detik itu juga seluruh tubuhnya lunglai kehilangan tenaga.
"Wa.. wanita itu ada di Seoul? Lalu.. lalu bagaimana dengan anak kita sayang? Dimana dia sekarang dan bagaimana kabarnya? Apakah ia baik baik saja?!"
"Uh, oh! .. Kepalaku pusing sekali, Argh!..", teriak taeyong.
"Jawab aku!", bentak jeni tak sabar. Tangannya menggoyangkan lengan taeyong kasar.
"Aku tak tau sayang! Johnny.. dia hanya memberikan alamat butik Tiffany"
Dengan susah payah, taeyong merogoh kantong celananya, mengeluarkan selembar kartu dari sana yang langsung diambil jeni.
"TIJA fashion? Ba.. bagaimana.."
Jeni menggelengkan kepalanya tak percaya. "Ternyata selama ini kita terlalu bodoh. Bahkan aku tak menyadari kalau pakaian yang selalu aku beli untuk Jeno berasal dari butik yang pemiliknya telah membawa kembaran jeno selama ini..."
Jeni sangat marah, kedua tangannya mengepal dengan erat, sepasang matanya yang merah kini sudah banjir dengan air mata. Taeyong yang sedang menahan sakit di kepalanya kemudian berusaha meraih kedua tangan jeni yang terkepal itu dan membuat kepalan itu melunak lalu menggengamnya erat. Taeyong menatap pasang manik kembar sembab itu dan menguncinya.
Ia juga belum bisa menghentikan tangisnya. Rasa kesal, marah, takut dan khawatir bercampur aduk mengambil alih kendali atas perasaannya saat ini. Taeyong mengusap air mata jeni yang terus berjatuhan. Istrinya itu terus menunduk dan terisak.
"Maafkan aku... aku gagal menjadi suami dan ayah yang baik. Aku gagal melindungi keluarga kecil kita. Kalau saja aku lebih berhati-hati malam itu.... Semua ini tak akan pernah terjadi...", lirih taeyong. Dirinya terkenang kejadian buruk yang menimpanya dan jeni 19 tahun yang lalu.
Taeyong tergesa-gesa keluar dari apartement sederhana yang ia dan jeni tempati. Jeni yang ketika itu sedang hamil tua terlihat sangat kesakitan dan taeyong berusaha membawa istrinya dengan hati-hati ke mobil dan secepat mungkin kerumah sakit.
"Arghh.."
"Sa.. sabar sayang. Bertahanlah sedikit lagi"
Setelah memastikan jeni duduk dengan aman di kursi mobil, taeyong langsung menghidupkan mesin mobil dan membawanya laju. Tak perduli dengan aturan yang ada, taeyong terus membawa mobilnya dengan kecepatan tinggi menyusuri jalanan yang gelap juga licin akibat hujan gerimis.
Taeyong semakin cemas, jeni terus merintih kesakitan. Taeyong jadi menyesal tak pulang lebih awal, malah mengabaikan panggilan telpon sang istri sejak siang dan memilih fokus dengan target pekerjaan demi janji akan kenaikan pangkat oleh atasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Story of Life [Nomin Brothership/family]
FanficSedang dalam proses revisi + penyelesaian [Brothership] [Family] [Friendship] 2019