03

537 98 168
                                    

Cerita ini hanya fanfiksi. Mohon pengertiannya🙏







***





26 September 2019


"Kamu minta pertemuan hanya untuk ini?" pria berusia tiga puluhan itu mendengus kesal, tak habis pikir dengan remaja berseragam putih abu-abu itu, "Saya ini juga lagi kerja, capek! Bisa-bisanya kamu nyamar jadi pihak sponsor demi hal kayak gini."


Di hadapannya, pemuda bergigi kelinci itu cuma menunduk takut karena omelan pria berseragam hitam khas kru salah satu saluran televisi swasta itu, "Tujuan saya bukan untuk hiburan, Pak. Tapi bukannya itu hal bagus? Mempertemukan beberapa aparat negara dengan mahasiswa saat kondisi seperti ini?"

"Saya nggak masalah sebenarnya, karena ada program yang memang dikhususkan untuk membahas masalah hukum dan politik. Tapi kalau juga harus mengundang mahasiswa..." ucapan pria itu menggantung, ia mengusap kasar wajahnya dengan telapak tangan, "Saya nggak yakin bakal berakhir tertib."


"Bukannya itu udah biasa? Toh, nanti di dalam ruangan ada penjaga keamanan atau bahkan polisi. Saya juga yakin mas-mas mahasiswa nanti nggak akan ricuh kalau di acara formal begini."


"Iya sih, tapi..." pria yang menyandang jabatan wakil produser itu masih menimang-nimang keputusannya.


"Ayolah," pemuda bergigi kelinci berusaha membujuk, "Banyak juga kok masyarakat yang antusias tentang unjuk rasa pengesahan revisi RUU ini, Pak. Yakin deh nanti rating acaranya makin tinggi."


"Nggak cuma rating yang kita permasalahkan, tapi dampaknya nanti. Kami nggak mau masyarakat jadi berhenti nonton program itu karena kontroversial."


"Justru yang kontroversial itu malah banyak yang nonton loh, Pak! Tau acara Pagi-Pagi Pasti Bete?! Yang nonton banyak karena seru, banyak berantemnya! Dijamin makin sukses nanti!" lelaki yang berstatus pelajar itu semakin mengompori.



"Saya nggak tau apa tujuan kamu meminta diadakannya forum antara mahasiswa dan pejabat politik itu. Tapi, saya pikir itu bakal bagus. Apalagi ditengah kondisi seperti ini, mahasiswa bisa jadi wakil suara masyarakat yang masih awam tentang hukum dan politik. Oke. Saya terima asal kamu kirim proposal ke saya maksimal besok!"



Daniel mendelik kaget, "B—besok, Pak? Kalau lusa?"



"Oke. Lusa. Karena masih butuh sehari lagi untuk mempersiapkan acara setelah proposal kami terima."



Wajah lelaki itu berubah cerah setelah ia mendapat respon yang positif, "Siap, Pak! Lusa saya kirim!"



Pria itu mengeluarkan selembar kartu dari sakunya, "Ini kartu nama saya, tinggal hubungi aja kalau kirim proposal atau ada apa-apa."



Lelaki itu menyunggingkan senyum lebarnya, "Siap, Pak! Terimakasih banyak!"




***




Lelaki itu langsung menuju kamar kakaknya setelah menaruh tas ransel yang hanya berisi satu buku tulis, tanpa melepas seragamnya atau bahkan kaus kaki putih yang kini warnanya sedikit keruh karena jarang dicuci. Ia mencoba menekan knop walaupun ia sudah tahu pasti jika pintu dikunci dari dalam. Remaja sembilan belas tahun itu menghela napas, menatap jengah pintu yang tertutup itu seolah sedang menatap wajah kakaknya. Ia memutuskan untuk mengetuk pintu terlebih dahulu.


"Bang Brian, buka!"


"Passwordnya~?" terdengar sahutan dari dalam.



Remaja itu menatap ke atas mencoba mengingat-ingat, "Gitar ku petik, bass ku betot. Hai nona cantik, bass ku betot."


Not Today | OngnielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang