"Hwan, gimana kabarnya?"
Seongwoo menatap batu nisan yang telah terukir nama sahabatnya di sana. Ia duduk bersandar di sebuah batang pohon dengan dedaunan rindang yang sejuk. Sinar mentari yang mulai tenggelam dari cakrawala terpantul melalui bola mata yang menyiratkan kekosongan.
Sudah sekitar satu minggu kawannya itu terlelap dalam damai di bawah gundukan tanah yang masih basah. Namun dengan sifat pengecutnya Seongwoo tidak berani menampakkan diri di tempat peristirahatan terakhir sahabatnya yang sudah ia kenal tiga tahun terakhir.
Tak pernah sekali pun Seongwoo membayangkan kalau ia akan mengalami hal ini. Duduk di depan makam kawannya yang sudah pergi lebih dulu secepat ini. Seongwoo sudah menguatkan dirinya sendiri selama beberapa hari terakhir, namun tetap saja rasanya hancur lebur saat ia berhadapan dengan gundukan tanah dengan taburan bunga di atasnya.
"Gue nggak baik, Hwan. Apalagi setelah liat nama lo di batu nisan," Seongwoo masih bersuara tanpa berharap Jaehwan atau siapapun akan menjawabnya.
"Katanya lo pengen lulus bareng. Sampe lo pernah bilang bakal nyeret gue ke kampus tiap gue niat bolos," Seongwoo terkekeh. Namun air mata meluncur turun ke pipinya, "Tapi kenapa lo duluan yang ninggalin gue?"
Seongwoo menutup wajahnya dengan satu tangan, menyembunyikan tangisnya yang mulai menjadi.
"Hwan, lo tau... setelah ngelewatin banyak hal kemarin gue nyesel. Bukan nyesel karena ikut demo, tapi nyesel kenapa gue nggak ada di samping lo. Kenapa gue nggak ada di sana..."
"Gue ikut lo boleh nggak sih, Hwan?"
"Gue capek. Gue capek ngelawan terus. Gue berhenti di sini."
"Maaf. Maafin gue, Jaehwan. Maaf nggak bisa ngantar lo. Maaf nggak bisa nemenin lo sampe akhir."
Seongwoo masih meracau, menggumamkan beribu kata maaf sambil terisak penuh luka. Hingga sang surya nyaris tenggelam sepenuhnya dan hanya menyisakan segaris cahaya di cakrawala, barulah tangis Seongwoo terhenti. Lelaki itu mengeluarkan sebingkai foto dengan sosok keempat lelaki yang berpose dengan jas almamater yang sama. Itu foto mereka—Seongwoo, Jaehwan, Jaehyun, dan Johnny-saat tahun pertama mereka masuk kuliah.
Seongwoo meletakkan bingkai foto itu tepat di depan nisan yang dihiasi beberapa bunga belasungkawa. Seongwoo mengusap nisan itu seolah bisa menyentuh sosok sahabat yang kini telah tiada, "Rest well, brother. Sampai ketemu lagi, di alam yang sama."
***
"Jangan capek-capek, baby. Nugas-nya nanti dulu, kesehatan lebih utama..."
Daniel yang mendengar obrolan menggelikan lewat telepon itu semakin membuatnya stress, kakaknya itu tidak tahu tempat kalau bermesraan. Apalagi di depannya yang kini sedang dirundung cemas. Bagaimana tidak makin jengkel?! Brian sudah melakukan panggilan selama hampir tiga jam hari ini, di saat ia sedang cemas memikirkan Seongwoo yang sudah satu minggu tidak ada kabar. Dua hari saja ia sudah uring-uringan, apalagi ini sudah satu minggu Seongwoo sama sekali tidak membalas pesannya. Membacanya pun tidak.
"Babe, aku tutup telponnya dulu ya. Adek aku lagi kesurupan ini kayaknya..."
"Heh!" setelah menutup sambungan telepon, Brian yang awalnya berdiri di balkon kemudian menghampiri Daniel yang mondar-mandir di dalam kamarnya, "Kenapa sih lo?! Banyak tingkah kayak orang Ateis!"
"Autis maksudnya?!"
"Eh iya itu...."
"Kenapa lagi sama Seongwoo?!" Brian menarik Daniel agar duduk di kursi. Ia ikut lelah melihat sang adik yang tidak bisa tenang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Not Today | Ongniel
FanfictionTentang Seongwoo dan Daniel yang dipertemukan dalam suatu kerusuhan yang melibatkan mahasiswa dan pelajar, berperang dengan aparat layaknya musuh. Daniel seharusnya tahu jika konflik tidak hanya pada hari itu saja, melainkan saat dimana seluruh jiwa...