11

242 59 105
                                    

"Kalo Daniel jadi yang pertama boleh nggak, kak?"


Suara itu terdengar sayup-sayup di telinganya. Antara sadar atau tidak, Seongwoo tidak bisa membedakan. Kalimat yang terdengar mustahil itu ia cerna sebagai mimpi dalam tidurnya. Ia merasa tubuhnya menjadi seringan kapas setelah sentuhan lembut berada di kepalanya, mengusapnya penuh kasih. Hingga akhirnya tubuhnya mendarat di sebuah kasur empuk yang membuatnya merasa begitu nyaman.


"Sleep well, kak Seongwoo..."













"Apa gue takut ketularan jadi homo ya, sampe kebawa mimpi gitu?"


Daniel terkesiap. Ia menelan ludahnya dengan susah, seolah tenggorokannya terisi batu kerikil. Ia meremas pahanya dengan gugup.


"Ha-ha-ha, emang bisa nular ya, kak?" Daniel tertawa canggung.

"Katanya sih gitu," Seongwoo masih menanggapinya dengan santai, "Tapi lo nggak bakal kayak gitu kan, Niel?


"Kayak gitu gimana?"


"....suka sama gue."


"Y—ya enggak dong, kak, nggak bakal!"


Terdengar hembusan nafas lega dari bibir Seongwoo, "Karna lo tuh baik banget. Gue nggak mau hubungan kita jadi jauh karna hal-hal kayak gitu."



Daniel mengangguk sambil tersenyum pahit.


Daniel goblok, batinnya. Tidak mungkin juga ia mengatakan dengan jujur soal perasaannya sekarang. Bisa-bisa Seongwoo mendorongnya hingga jatuh dari bangunan empat lantai ini.


Daniel lebih banyak diam setelah itu. Mau bagaimana lagi memang? Ia sudah ditolak mentah-mentah. Bahkan sebelum ia benar-benar menyatakan perasaannya.

Apa ia harus menyerah saja?

"Pulang yuk, kak, udah mau setengah dua."


Daniel tidak menunggu Seongwoo menjawab, melainkan langsung beranjak berdiri dan melangkah menjauhi tempatnya duduk tadi.


"Niel, tunggu!" Seongwoo berlari kecil menyusulnya. Daniel kemudian dibuat melotot kaget saat Seongwoo memeluk lengannya erat-erat, "Hii~ Dingin!"

Bagaimana Daniel bisa move on kalau Seongwoo menarik ulur perasaannya seperti ini?


***


"Kak Seongwoo~ maen yok!"


Pagi Seongwoo hari itu terganggu saat dua suara yang berbeda memanggil-manggil namanya disertai ketukan yang menuntut. Semalam ia baru saja sampai pukul dua dini hari setelah Daniel mengajaknya berjalan-jalan tanpa tujuan yang jelas. Ia bangun dengan terpaksa, kemudian membuka pintu kamarnya—ralat—pintu kamar tamu rumah Daniel.


Terlihat dua orang laki-laki berdiri di depan pintu dengan pakaian serupa. Kaos tipis tanpa lengan dengan celana futsal selutut. Seongwoo menyipitkan matanya yang terasa perih karena dipaksa terbuka sepagi ini.


Tentu, siapa yang tidak kesal kalau seorang kaum rebahan seperti Seongwoo harus dipaksa bangun saat jam masih menunjukkan pukul lima. Namun Seongwoo masih tahu diri untuk tidak mengumpati kakak beradik yang dengan baik hati mau menolongnya itu.

"Ngapain?" tanya Seongwoo kesal.


"Jogging yuk!" ajak Daniel sambil tersenyum sumringah.


Not Today | OngnielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang