Riuhnya kantin akan langsung menyambut siapa saja yang baru menjejakkan kaki di sana. Jika sanggup, kalian harus mengempiskan sedikit badan dan menutup telinga rapat-rapat.
Berbeda dengan seorang gadis berambut panjang yang tengah duduk bersama dua sahabatnya. Wajah murungnya membantu tangan membunyikan sendok ke piring hingga menimbulkan suara yang cukup menganggu.
"Bising, ah, Fa. Kalo nggak mau makanannya, buat gue aja. Sayang banget gitu diaduk-aduk nggak jelas."
Perkataan Anggi memang langsung membuat Ulfa berhenti. Namun, rautnya masih sama dan dia seperti tak berniat memakan nasi gorengnya lagi.
"Woi, kang galau. Nggak usah murung gitu. Entar pulang sekolah, kan ketemu sama tuh bule. Nah, peluk dia biar rindu lo pudar," cetus Bila sesaat setelah menatap Ulfa. Ia kembali melahap mie ayam di depannya.
"Apaan, sih?" tanya Ulfa setengah bingung setengah tak terima. Mata yang tadinya tak berniat menatap siapapun sekarang menajam pada Bila.
Bila menaruh sendoknya di mangkuk. Mengangkat tangannya ke udara. "Sans atuh, Maemunah. Mukanya jangan kayak singa lapar gitu. Gue, kan, cuma ngasih solusi supaya lo nggak galau lagi."
"Tumben lo bisa ngasih solusi?" Anggi memukul kepala Bila. "Biasanya lo nyari masalah mulu."
Bila memberenggut sambil mengusap kepalanya baru saja dipukul. "Yeee... gue nggak suka cari masalah, ya. Cuma suka bikin orang naik darah aja."
Ulfa terdiam, menunduk. Apa benar dia terlihat galau? Tidak! Sebenarnya ia hanya sedikit merasa bersalah. Doa bodohnya kemarin membuat ia sekarang menjadi seperti ini.
Rasanya ada yang aneh saja jika Bayu tidak menganggunya. Ada yang hambar. Seketika sepi menyelimutinya padahal beberapa waktu lalu ia berharap pengganggu itu segera pergi.
Padahal, rasa ini hampir sama ketika ia kehilangan sahabatnya.
Anggi menatap Ulfa yang termenung di depannya. "Lo kenapa lagi, sih? Udah, ah. Bayu pasti juga nggak kenapa-napa, kok."
"Gue ... cuma ngerasa bersalah aja," gumamnya yang hanya bisa didengar kedua sabahatnya.
"Ya, minta maaf, dong," sahut Bila santai. Sehabis melahap mie ayamnya, sekarang gadis itu beralih pada sebungkus coklat yang tadi ia beli sebelum duduk.
Ulfa menghela napas gusar. Terlihat mudah, tetapi terasa tidak. "Susah."
"Jangan dibawa susah makanya. Egonya turunin dikit," kata Anggi dengan senyum tipis.
"Ho'oh." Bila menyahut dengan mulut penuh dengan roti coklat. "Kalo ego kalian sama-sama tinggi, nanti nggak imbang, dong. Pasangan itu saling melengkapi, kan, ya. Gue pengen liat Ulfa pacaran. Nyesek sendiri gue liatin dia jones."
Puk!
Bukan sekali, tetapi Bila mendapat dua pukulan sekaligus di kepalanya. Gadis berkuncir dua itu menatap kesal Ulfa dan Anggi yang beraut lebih masam.
"Mentang-mentang lo udah punya pacar, Maisaroh," ketus Anggi.
"Huhu... kalian suka banget mukulin kepala gue. Ntar gue jadi jenius, kapok, loh."
Bukannya membalas pernyataan Anggi, Bila malah sibuk membelai kepalanya. Semoga saja ia tidak geger otak akibat terus menerus mendapat bogem mentah di kepala.
***
Berkali-kali Ulfa menghela napas panjang. Kakinya sudah menapaki teras rumah bergaya Eropa itu. Rumah siapa lagi jika bukan rumah Bayu.
Seperti pesan pemuda menyebalkan itu, Ulfa telah menenteng sebungkus bubur dan ... tentu saja cilok. Padahal sebenarnya orang sakit tidak boleh makan cilok. Tapi, ya sudahlah.
KAMU SEDANG MEMBACA
23.59 [ lengkap ]
RomanceKita hanya perlu menunggu. Karena pada dasarnya, waktu tak pernah mengkhianati sebuah penantian. [¤] Rasa terpendam untuk teman kecilnya membuat Ulfa menutup hati. Kepribadiannya berubah drastis akibat rindu yang tak terbendung. Namun, kedatangan pe...