29 - Pupus

355 69 41
                                    

Sorot amarahnya kian memudar kala bayangan Bayu tak lagi terlihat. Anda mengepalkan tangannya erat karena ucapan yang benar-benar menusuk itu. Dia bilang apa? Takut tersaingi? Bukankah itu sebaliknya? Huh, bahkan dirinya lebih baik dari Bayu.

Pemuda itu menghela napas panjang. Kepalan tangannya melonggar seiring langkah yang berbalik menuju pintu masuk rumah Ulfa. Sebelum malam semakin larut, ada yang perlu ia bicarakan dengan Ulfa.

Mata tajamnya langsung jatuh pada gadis yang baru saja turun dari tangga. Ulfa dengan rambut basahnya berusaha mengeringkan dengan handuk yang ia pegang. Langkahnya mendekat pada Anda yang memandangnya dengan senyum tipis.

"Mama, Papa, sama Kak Salwa kemana, ya? Kok nggak ada keliatan?" Ulfa celingak-celinguk mencari. Namun, di rumah itu nyatanya memang hanya ada mereka berdua.

"Papa kamu nganterin mereka. Tadi katanya keluar buat nyari peralatan tulis Kak Salwa. Mama kamu juga katanya mau beli bahan kue."

Ulfa mengangguk. Ia lalu mendudukkan dirinya di sofa putih yang ada di ruang keluarga. Meregangkan otot-ototnya sedikit terasa kaku.

Hari ini begitu melelahkan baginya. Entah mungkin juga hatinya yang lelah karena harus menghadapi kebimbangan yang tak kunjung mereda. Gadis itu menatap TV yang tak menyala di depannya. Tiba-tiba saja wajah dua pemuda penyebab kebimbangannya hadir di sana.

Apakah ini harus terjadi? Bukankah ini yang ditunggu Ulfa sejak lama? Saat Anda-nya pergi, ia membayangi Bayu dengan ingatan mengenai sahabat masa lalunya itu. Namun, setelah sekembalinya pemuda itu, Ulfa malah bimbang. Bukankah seharusnya dia memilih Anda yang telah lama ia tunggu? Ataukah harus ia taruh harapan itu pada Bayu yang sudah jelas mengharapkannya?

Sentuhan pelan di bahunya membuat ia tersentak. Anda yang sedari tadi memerhatikan, lantas duduk di sebelah Ulfa. Pemuda itu meremas tangan Ulfa pelan sebelum akhirnya menghela napas panjang.

"Aku takut kehilangan kamu, Ya."

Seperti ada tarikan kuat yang membuat Ulfa menoleh dengan cepat. Kerutan dalam di dahinya menandakan tidak mengertinya akan kalimat dari Anda.

"Aku pikir, dengan kembali ini, kamu nggak bakal lepas dari genggaman. Aku nggak mau kamu jadi milik orang lain, Ya."

Sorot di mata Anda menandakan keputusasaan dan permohonan sangat. Ulfa merasakan remasan di tangannya menjadi saja. Seperti sebuah remasan permintaan, penerimaan, dan keposesifan.

"Maksud kamu apa, sih, Nda? Aku nggak ngerti." Ulfa menggeleng pelan. Memperbaiki posisi duduknya hingga kini mereka saling berhadapan.

Anda menumpukan tangan satunya lagi di atas tangan Ulfa. Sorot matanya melembut penuh permohonan saat netra hazelnya menembus milik Ulfa yang hitam pekat.

"Aku rasa ... sebaiknya kamu jauhin Bayu. Aku nggak suka kamu deket sama dia."

***

Kelas Biologi sudah berlangsung sejak sejam lalu. Bu Lasak di depan sana juga hampir berbusa mulutnya saat menjelaskan tentang klasifikasi mamalia. Beberapa siswa malah hampir tertidur di atas mejanya. Sepertinya Bu Lasak sangat handal memberikan dongeng sebelum kelas tidur.

Lain hal dengan gadis berkuncir tinggi yang duduk di sudut kiri belakang. Sejak Bu Lasak masuk, sejak itulah ia melamun. Menatap kosong ke arah depan dengan pikiran yang sudah sepanjang sungai Nil, setinggi gunung Everest, dan sedalam palung Mariana. Padahal, pelajaran Biologi adalah salah satu pelajaran kesukaannya walaupun ia tidak begitu suka dengan guru bertipe seperti Bu Lasak.

Jangan tanya apa yang gadis itu pikirkan di kepala cantiknya. Tentu saja masih masalah kebimbangan rasa. Semenjak kemarin Anda menyuruhnya untuk menjauhi Bayu, perasaannya semakin tak karuan saja.

23.59 [ lengkap ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang