"Bayu Louis Evans, kan? Kalo itu, mah, gue kenal."
Dan setelahnya, tatapan bingung kemudian menerpa Thalita. Bahkan Ulfa sendiri kian tertarik karena pernyataan itu.
"Hah, lo kenal, Ta?" Thalita yang di tanya oleh Anggi lantas terlihat kelimpungan untuk menjawab.
Thalita menoleh sebentar. "Oh iya. Nggak kenal, sih. Tapi satu sekolah, kan, udah rame sama dia, ya nggak?"
Anggi dan Bila yang berpikir sebentar akhirnya sama-sama mengangguk. Ulfa yang tadinya tertarik, kini malah merasa biasa aja. Ia kira ada sesuatu yang mencuak, ternyata tidak.
"Gue duluan, ya, daah!!" Thalita pergi duluan entah ke mana. Ulfa yang menghela napas kasar ternyata terdengar oleh kedua temannya.
"Bengek lu?" tebak Anggi.
"Mau melahirkan lu?" tebak Bila yang sudah pasti ngawur. Ulfa tak menjawab melainkan memakan somaynya kembali dengan beringas.
Sentuhan di atas kepalanya membuat dirinya mendongak. Sudah ada Bayu di sana seraya tersenyum. "Biasa aja makannya. Kalo kurang, nambah gih," ucap Bayu yang kini sudah duduk di samping Ulfa. Jangan tanyakan gimana keadaan Anggi dan Bila. Mereka seperti cacing kepanasan ketika melihat tingkah Bayu.
Ulfa terpaku sebentar sampai dirinya sadar. "Sok tau lu. Orang gue kenyang!" Bayu hanya mengangguk-anggukan kepalanya.
"Nggi, ada yang gengsi, anjir. Sok-sokan nggak mau." Perkataan dan lirikan yang diarahkan ke Ulfa, membuat yang dilirik hanya menatap tajam.
"Kemaren ayam gue mati karena gengsi, serem, kan," timpal Anggi. Entahlah rasanya gemas sekali melihat kegengsian Ulfa ini.
Bayu hanya terkekeh melihat ekspresi Ulfa yang sangat masam itu. Karena malas berlama, Ulfa berdiri meninggalkan satu biji tahu lagi yang berada di piring dan teman-temanya. Bayu pun ikut menyusul Ulfa yang nampaknya pergi ke rooftop. Kakinya pincang gini malah menaiki tangga.
Ulfa merasa dirinya diikuti seseorang. Masih di tangga atas menuju rooftop, ia memutarkan badannya. Terdapat Bayu yang tengah tertatih dan sedikit meringis di bawah sana. Ulfa mendengkus malas dan menghembuskan napasnya kasar. Ulfa turun kembali ke bawah menghampiri pria itu. Sedangkan Bayu yang melihat gadis itu turun terkekeh sendiri.
"Nggak usah ketawa, deh. Ngapain sih ngikutin?" tanya Ulfa judes. Kini dirinya sudah berada di depan Bayu.
"Galak amat, Bu Bos. Gue, kan pengen ikut lo."
Tanpa disuruh, Bayu menduduki dirinya di tangga. Rasa sakit di kakinya kian menguasai. Padahal ini hanya karena terjatuh dari tempat tidur, tapi mengapa bisa sesakit ini? Kayak ditinggal pas lagi sayang-sayangnya. Eh, itu lebih sakit, deh.
Ulfa mengulurkan tangannya. "Naik aja. Biar gue liat kaki lo."
Bayu menggeleng. "Gue berat, bego!"
"Gue cuman nuntun, bangsat! Bukan gendong lo. Gue juga ogah kali gendong-gendong lo. Mending gue gelindingin! Ck, cepet!"
Hari ini semua orang membuat Ulfa ingin marah saja. Termasuk satu makhluk ini.
"Iye. Judes banget sih lo. Ngalahin emak gue."
Ulfa hanya memutar bola matanya malas. Bayu langsung menggapai uluran tangan Ulfa. Menuntun Bayu membuat kesabarannya hilang, ingin sekali langsung menyeretnya saja. Sungguh lama.
Kini mereka sama-sama menghentikan langkah. Mendorong pelan tubuh Bayu untuk duduk di lantai. Ulfa juga ikut duduk di depan Bayu. Membuka sepatu dan kaos kaki pria itu. Ditelitinya memar di daerah pergelangan kaki Bayu.
KAMU SEDANG MEMBACA
23.59 [ lengkap ]
RomanceKita hanya perlu menunggu. Karena pada dasarnya, waktu tak pernah mengkhianati sebuah penantian. [¤] Rasa terpendam untuk teman kecilnya membuat Ulfa menutup hati. Kepribadiannya berubah drastis akibat rindu yang tak terbendung. Namun, kedatangan pe...