Kaki berbalut sepatu hitamnya mendarat di sebuah pekarangan rumah. Setelah turun dari motor Bayu, Ulfa memberikan helm yang ia kenakan. Baru saja hendak berbalik, tangannya ditahan lebih dulu.
"Tunggu dulu, Neng." Bayu tersenyum kecut kemudian ikut turun dari motornya. Berdiri di depan gadisnya dengan raut seperti biasa, songong. "Kita itu udah pacaran, kan? Tapi kenapa kayak orang baru kenal? Malah lebih parah."
Ulfa menatap netra Bayu sebentar, kemudian berkata. "Terus lo maunya gimana? Uwu-uwuan kayak di film, gitu? Nggak, deh. Bukan gue kalo gitu."
Gadis itu berbalik. Ia pusing. PR menumpuk, batas pengerjaan dekat, dan lagi pemuda yang bernotabene sebagai pacarnya itu malah banyak tingkah. Rasanya ingin meledakkan kepala saja.
"Tuh, kan. Pake lo-gue. Kemaren bukannya udah berubah jadi aku-kamu?" Bayu tampak frustrasi. "Woi! Elah. Aku dikacangin, nih?"
Ia memekik kala tak juga mendapati Ulfa yang menghentikan langkahnya. Gadis itu malah terus berjalan sebelum akhirnya masuk ke rumah yang pintunya terbuka lebar itu.
"Mending lo pulang, deh. Gue capek banget." Setelahnya, Ulfa pun menghilang di balik pintu.
Bayu menghela napas panjang. Bingung sendiri. Mereka baru jadian, loh. Baru seminggu dan masih anget. Namun, gadis itu sama sekali tak bisa diajak romantis. Katanya lebay, alay, dan segala macam. Pemuda itu sampai kesal karena tidak bisa mengharapkan hal lebih.
"Kayaknya dia lagi PMS, deh."
Awalnya ia berpikiran untuk pulang saja. Namun, hatinya malah bilang kalau tidak ada salahnya menemui mertua lebih dulu. Kali saja dapat brownis gratis lagi. Lumayan buat PDKT lagi sama Ulfa.
Dengan percaya diri, dilangkahkannya kaki menuju pintu bercat putih gading itu. Bayu menapakkan kakinya masuk ke rumah Ulfa. Senyum yang tadinya mengembang, lantas berubah menjadi kernyitan bingung.
"Kaakk ...."
Rengekan itu berasal dari arah tangga. Di anak tangga terakhir, ada Ulfa yang seperti enggan melepas pelukan dari gadis dengan cardigan coklat muda juga koper hitam di tangan kiri.
"Cepet banget, sih? Di sini dulu aja, ya? Ya ya ya ya? Plisss ...."
Salwa menghela napas panjang kemudian melepas pelukan adiknya. Senyum hangat lantas menghias saat melihat wajah adiknya yang cemberut. "Nggak bisa, Dek. Besok gue udah masuk kuliah."
Gadis yang masih mengenakan seragam sekolah itu tambah mengerucutkan bibirnya. Merengek lagi seperti anak kecil minta dibelikan mainan. "Hish, kan kita belum jalan-jalan, Kak. Masih pengen peluk." Ulfa lantas kembali memeluk kakaknya.
Salwa mengusap kepala adiknya sayang. Bukan Ulfa saja, sebenarnya ia lebih berat melepas adik satu-satunya ini. Walau lebih sering bertengkar daripada akur, justru itulah yang membuat dirinya lebih enggan untuk jauh dari Ulfa.
Gadis dengan cardigan coklat muda itu berdecak. "Dasar Pa'ul! Giliran mau pergi aja pake merengek. Coba gue diem, ngajak gelod mulu."
"Bodo amat!" sergah Ulfa cepat kemudian mempererat pelukannya.
"Gitu-gitu gue juga sayang tau. Walaupun sekarang lo bau." Salwa terkikik geli.
Ulfa sontak mendongak dengan sorot tajam. Namun, netra kecoklatan itu malah berkaca-kaca kemudian menurunkan bulir beningnya. "Sawiii!"
Rasanya begitu berat. Walau sebenarnya jarak mereka tak jauh, tetap saja. Terlalu sulit melepaskan. Seperti kata orang, ketika ada tak dianggap, ketika pergi, terasa hilang.
"Eh, lo nangis? Haelah." Salwa kembali tertawa. Lantas kemudian mengusap air mata di wajah adiknya. Kembali mendekap erat guna menenangkan Ulfa yang malah sesegukan di dadanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
23.59 [ lengkap ]
RomantizmKita hanya perlu menunggu. Karena pada dasarnya, waktu tak pernah mengkhianati sebuah penantian. [¤] Rasa terpendam untuk teman kecilnya membuat Ulfa menutup hati. Kepribadiannya berubah drastis akibat rindu yang tak terbendung. Namun, kedatangan pe...