Kerlipan bintang kian menyambut gelapnya nabastala. Suasananya cerah, sama seperti kebanyakan orang di hari itu harapkan. Tak ada rinai hujan atau sekedar awan mendung yang menghalangi untuk sekedar menghias langit dengan cerahnya kembang api.
Hari ini, tepat lima tahun lalu, Bayu meninggalkan Ulfa sebagai Anda yang berjanji akan kembali. Pelukan hangat itu masih terasa hingga saat ini. Janji itu ia tepati. Namun, tiada yang menyangka kecelakaan tragis itu merenggut ingatannya tentang seseorang istimewa yang selama ini ia tunggu pertemuannya.
Pemuda itu tak menyesal. Apa pun yang harus disesali juga sia-sia. Segalanya telah terlewat dan kita hanya harus menata saat ini untuk masa depan yang lebih berwarna.
Malam tahun baru, dengan setelah kaos putih berbalut kemeja biru dan jeans senada, Bayu nangkring di depan rumah Ulfa. Menunggu gadis itu yang katanya sudah ingin kembali ke rumah pohon. Disuruh masuk oleh Salwa ia juga tak mau. Padahal, sudah lima belas menit berlalu yang katanya Ulfa akan segera keluar, tetapi batang hidungnya tak juga kelihatan.
Tak lama, di depan pintu muncul gadis dengan rambut panjang terkuncir tinggi. Kaos putih lengan pendek dan rok selutut berwarna peach membuat Ulfa ... eum ... sedikit imut di mata Bayu. Pemuda itu menyambut dengan senyum semringah saat gadis itu menghampirinya di atas motor.
"Maaf lama," gumamnya sambil tertunduk malu.
Andai saja Bayu bisa tertawa kencang, maka ia akan melakukannya. Ulfa benar-benar sangat imut jika terlihat malu-malu seperti itu. Benar-benar tak mengerti mengapa tiba-tiba gadis itu malah terlihat malu padahal biasanya nggak tahu malu, eh.
"Mau kemana dulu?" Pemuda itu tersenyum, menatap lama siluet gadis di depannya yang mulai menaikkan pandangannya.
"Kemana, ya? Terserah aja, sih. Soalnya, kan, lo yang demen nyulik gue."
Kan, benar. Baru saja dibilang, sikap kegeerannya muncul. Tapi, ada benarnya juga. Menculik Ulfa itu kesenangan tersendiri. Aw, jadi pengen culik supaya bisa langsung ke pelaminan. Ups.
"Masuk ke hati Abang aja, yuk, Neng."
Ulfa menatap dengan mata menyipit. Ngerdusnya mulai lagi. Walau ngeselin, sebenarnya senang juga. Gadis itu merasa spesial saja.
"Nggak jadi pergi, deh. Lo gaje."
Langkahnya hendak beranjak, kembali menuju rumah. Akan tetapi, dengan cepat Bayu menahan tangannya. Membalik tubuh gadis itu hingga keduanya saling menatap.
"Segaje-gajenya gue, lebih gaje rasa yang nggak mandang waktu dan tempat untuk jatuh cinta pada seseorang."
Keheningan sesaat itu membawa angin malam yang meniup wajah dan rambut keduanya. Detak jantung tak karuan mendominasi kedua insan itu. Hingga tak lama kemudian Ulfa tersadar lalu memukul pundak Bayu.
"Ngerdus mulu, deh. Nggak ngaruh kalau sama gue." Ia menunjukkan raut tak suka.
Bayu mengerjap. "Hm ... iya, deh. Nggak mau ngaku kalau baper, ya gini." Pemuda itu menghidupkan motornya. "Naik, gih. Kita jalan-jalan dulu."
"Kemana?"
Ulfa duduk menyamping di jok belakang. Memiringkan sedikit kepalanya untuk menunggu jawaban pemuda di depannya.
"Kan udah dibilang, ke hati Abang, Neng."
Sekali lagi, Bayu mendapat pukulan di bahunya. Pemuda itu tertawa sebelum akhirnya menarik gas motor. Meninggalkan pekarangan rumah Ulfa dengan tawa yang mulai mereda.
***
Detik, menit hingga jam pun berlalu. Beberapa hari terakhir menghabiskan waktu bersama rasanya tak pernah cukup untuk menggantikan lima tahun yang sempat terlewat. Kenangan baru sepertinya perlu dibentuk untuk menutup waktu yang pernah ditunggu dan dilupakan karena takdir.
KAMU SEDANG MEMBACA
23.59 [ lengkap ]
RomansaKita hanya perlu menunggu. Karena pada dasarnya, waktu tak pernah mengkhianati sebuah penantian. [¤] Rasa terpendam untuk teman kecilnya membuat Ulfa menutup hati. Kepribadiannya berubah drastis akibat rindu yang tak terbendung. Namun, kedatangan pe...