Chapter 23

80 9 0
                                    

Aku hanya bisa mencintai tanpa menuntut untuk dicintai..

***

Suara kicauan burung terdengar saling bersahutan, sinar jingga diufuk barat nampak sangat indah, membuat mata yang memandangnya tersenyum. Burung - burung terlihat berterbangan kembali ke sangkarnya karena hari beranjak malam.

Suara adzan terdengar saling bersahutan, menyeru umat muslim untuk melaksanakan kewajibannya sebagai hamba, begitupun dengan wanita cantik ini, setelah berwudhu ia kemudian membentangkan sajadahnya, berdiri menghadap kiblat, memantapkan niat serta memfokuskan hati dan fikiran untuk hanya tertuju kepada-Nya.

" Allahuakbar " mengucapkan takbir bersamaan dengan ia yang mengangkat kedua tangannya, satu rakaat, dua rakaat, hingga tiga rakaat telah ia lakukan, setelah salam, ia berdzikir sejenak menyebut Asma-Nya setelah itu mengangkat tangan meminta kepada Sang Khalik, mengeluarkan keluh kesahnya, memohon petunjuk untuk permasalahannya.

Ada rasa sakit yang kembali melanda perasaannya mengingat percakapannya seminggu yang lalu bersama Adam, setelah kejadian itu ia tidak pernah lagi berkomunikasi dengan Adam berniat memberi waktu kepada lelaki itu untuk berpikir. Apa Adam sudah mendapat pilihan untuk hubungan mereka? Ia sungguh merasa khawatir, air mata mengalir dari mata indah wanita itu.

Ia meraih ponselnya yang terletak diatas nakas saat terdengar suara notif pesan, ada rasa khawatir saat melihat nama pengirim pesan tersebut adalah Adam, ia takut jika Adam akan membatalkan pernikahan mereka

Mas Adam :
Assalamualaikum Wr. Wb
Mengenai pembicaraan kita minggu lalu, saya ingin meminta maaf sudah membuatmu menangis. Saya sudah mempunyai keputusan, Insyaallah saya akan tetap menikahi kamu. Saya juga akan belajar untuk mencintai kamu.

Zahra mematikan ponselnya tanpa niat membalas pesan Adam, dalam hati ia tersenyum. Walau ia tau susah untuk Adam  melupakan gadis yang ia cintai, tapi setidaknya Adam ingin memberi tempat untuk dirinya dihati pria itu.

****

Lean memandang kertas yang dibungkus sebuah amplop indah ditangannya, didepan kertas itu tertulis dengan jelas nama kedua mempelai. Adam dan Zahra. Bukan Adam dan Lean. Wanita itu tertawa miris, bisa-bisanya ia berharap namanya yang bersanding dengan Adam disana. Bukankah ia telah mengikhlaskan Adam, tapi kenapa masih ada rasa sakit saat melihat kenyataan ini.

Satu minggu lagi acara walimah itu akan dilangsungkan, ia tidak tau. Apakah ia siap melihat orang yang dicintainya bersanding dengan wanita lain. Ia merutuki dirinya saat air mata kembali mengalir, kenapa ia harus menangis? Lean tertawa, lebih tepatnya menertawai dirinya yang sangat lemah.

" aishh,, kenapa harus nangis sih, hehehe, cengeng banget gue " kata Lean terkekeh

Tokk
Tokk
" Lean!! Bunda masuk, yah " terdengar suara Tamara dari luar kamar Lean

" masuk aja, bun "

Tamara tersenyum melihat putrinya, ia tau putrinya itu habis menangis. Ia mengambil undangan yang berada ditangan Lean

" mau dateng? " tanya Tamara

" kan hari itu kita bakal berangkat. Kayaknya Lean ngucapinnya lewat pesan aja " kata Lean

" datang aja sayang, kita ngambil penerbangan yang malam aja " kata Tamara, Lean terlihat berpikir. Mungkin ia memang harus hadir diacara itu, meyakinkan dirinya bahwa orang yang ia cintai akan menjadi milik orang lain.

****

Pagi ini Lean memilih jogging bersama ayahnya ditaman kompleks perumahannya. Ia sudah ngos-ngosan mengikuti ayahnya yang terus berlari dari tadi

" huh, huh, aku.. Aku capek " kata Lean mendudukkan dirinya dibangku taman

Wijaya yang melihat putrinya kelelahan tertawa, pria paruh baya itu ikut mendudukkan dirinya disebelah sang anak

" kamu payah, baru juga tiga putaran udah capek. Kalah sama ayah " kata Wijaya memberikan air minum ke Lean yang langsung dihabiskan setengah oleh gadis itu

" aish, aku kan udah lama gak olahraga " kata Lean

" yaudah, yuk balik. Bunda pasti udah nungguin kita buat sarapan " akhirnya ayah dan anak itu memilih untuk pulang

**

Lean terkekeh melihat Raka yang duduk dimeja makan sambil memakan roti panggang buatan Tamara, posisi Lean yang berada dibelakang Raka membuat lelaki itu tidak menyadari kedatangan Lean

" nanti nih ya, bun. Kalau Raka udah nikahin Lean, aku bakalan minta Lean masakin nasi goreng setiap pagi"

" tapi resepnya minta dibunda " Tamara tertawa mendengar ucapan Raka

" bunda restuin gak, kalau Lean sama Raka? " tanya Raka

" yah bunda sih, kalau Leannya mau. Bunda setuju aja " kata Tamara menahan tawanya melihat Lean yang berkacak pinggang dibelakang Raka

" nah itu dia masalahnya, bun. Lean tuh masih ngegantungin Raka. Kek tarik ulur gitu " kata Raka dengan wajah memelas

" padahal, kalau aku jadi mantu bunda, pati bunda bakal bahagia. Kan aku pria idaman " kata Raka bangga

" prett, idaman apaan " cibir Lean membuat Raka terkejuta

"eh, udah dari tadi " kata Raka kikuk

" udah, ngapain lu jam segini dirumah gue, hah?! " kata Lean Layaknya ibu-ibu kos nagih uang

" yaaa, gue ngapelin camer dong. Bosen ngapelin anaknya, gak ngasih kepastian " kata Raka mencibir

" kepastian,, sukses dulu baru ngomongin kepastian " kata Lean

" bener tuh kata Lean. Ntar kalau kamu udah sukses baru dateng sama orang tua kamu " kata Wijaya membuat mata Raka berbinar senang

" bener, yah. Raka jadi semangat kalau kayak gini " mereka semua tertawa melihat tingkah Raka itu

Setelah sarapan pagi bersama, disinilah Raka dan Lean mereka berdua duduk dipinggir kolam renang rumah Lean.

" gantian nih, kamu yang bakal ninggalin aku " kata Raka

" kan bakal balik, gak lama juga kok " kata Lean tersenyum simpul

" gak lama apaan, tapi kamu bukan ngehindar dari dia, kan " tanya Raka penuh selidik

" kamu bener, keknya tetap disini bikin aku selalu keinget. Seenggaknya aku bakal balik dengan kondisi yang lebih baik " kata Lean

" yah, mungkin aku pengecut. Gak bisa hadapi kenyataan, tapi ini udah jadi pilihan aku " kata Lean, ia memilih pergi untuk menyembuhkan lukanya dan akan berusaha ikhlas dengan seiring jalannya waktu

Karena ada yang luka karena waktu dan ada juga yang sembuh dengan seiring berjalannya waktu. :')

Pergi dan menjauh bukan berarti ia takut akan kenyataan, tapi karena ia lebih memilih untuk menyembuhkan lukanya tanpa harus berhubungan dengan masa lalu. Ingat semua orang memiliki pilihan yang berbeda.

Raka tersenyum menatap gadis dihadapannya ini, princess kecilnya kini sudah dewasa. Gadis yang dulu selalu merengek kepadanya kini sudah pandai menentukan pilihan untuk hidupnya. Dan ia sadar, dari dulu hingga saat ini, gadis inilah yang bertahta dihatinya.

Raka mencintai gadis ini, namun ia tidak bisa menuntut agar ia dicintai oleh gadis ini. Biarlah waktu yang menjalankan tugasnya, tidak ada yang tau apa yang akan terjadi untuk kedepannya. Mungkin yang dekat bisa menjauh, yang jauh bisa menjadi dekat. Mungkin yang bersatu akan berpisah, mungkin juga yang sedang berjuang akan menikmati hasil dari perjuangannya. Entah itu pahit atau manis.

Tbc.

HUWATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang