Setelah mengembalikan proyektor ke TU. Aku dan Leo bukannya memilih jalan sebelumnya dan menghemat waktu untuk sampai ke kelas, kami justru memilih jalan memutar, melewati lapangan, dan memilih tangga paling ujung, yang jauh dari kantor TU.
"San," panggilnya.
Aku berdeham, menjawabnya. Kami mulai melangkah di pinggir lapangan. Beriringan, tapi tak seirama.
"Gue mau pindah sekolah deh."
Aku menghentikan langkahku, menatapnya heran.
"Kenapa?" tanyaku.
Leo ikut menghentikan langkahnya, ia mengambil duduk di pinggir lapangan. Aku mengikutinya.
"Habis ini gurunya nggak masuk kan?" Tanyanya.
Aku hanya mengangguk, masih sibuk dengan ritme jantungku yang semakin menggila, hanya karena peristiwa kecil seperti barusan?
"Kenapa lo mau pindah?" Ulangku.
Leo menggaruk tengkukknya, dia menggeleng.
"Gue mau, tapi nggak bisa." Itu tidak menjawab pertanyaanku.
"Karena?"
"Karena sejak awal jalan hidup gue udah diatur."
Aku terkejut karena dia menjawab pertanyaanku. Kukira dia akan mengalihkannya atau mendiamkanku, karena hal ini terlalu pribadi untuk beberapa orang.
"Sejak dulu, gue cuma ngejalanin, tanpa tau apa yang sebenernya lagi gue tuju," lanjutnya.
Aku menoleh. menatap wajah lelahnya. Leo meluruskan kakinya. Ia membuang napasnya perlahan.
"Le.."
"Lo tahu Geraldi?"
Aku mengernyit, mengingat nama yang terdengar familiar tersebut. Aku ingat. Ingat seseorang..
"Geraldi alumni tahun lalu? Siswa lulusan terbaik? Yang waktu MPLS diundang buat pengarahan kita?" tanyaku beruntun, mendeskripsikan satu-satunya Geraldi yang aku tahu.
Leo mengangguk.
"Menurut lo dia mirip siapa?"
Mirip siapa? Aku mencoba mengingat-ingat wajah Kak Geraldi, sosok tampan yang berkarisma itu memang tidak mudah dilupakan. Definisi nyaris sempurna.
Aku menoleh, tersentak kaget saat melihat wajah Leo yang tengah menghadap kearahku.
"Mirip lo?" Tanyaku ragu.
Leo mengangguk, lagi.
"Dia kakak gue."
Fakta paling mengesankan hari ini. Kak Geraldi, yang dikagum-kagumi banyak kalangan wanita, sosok nyaris sempurna, adalah kakak Leo. Lelaki yang juga digadang-gadang tipe boyfriend able ini. Aku menganga, ekspresi paling bodoh yang aku punya setelah mendengar kalimatnya.
"Nggak ada yang tau, karena gue nggak pernah mau ngasih tahu siapapun..."
"Kenapa gitu?"
Leo tersenyum, "Otaknya nyaris sempurna, gue? Boro-boro, San. Selain wajah yang mirip, gue yakin nggak bakal ada yang percaya gue adiknya Geraldi, karena kita beda banget."
Aku tertegun mendengarnya. Leo dan tawanya, Leo yang bodo amat, Leo yang katanya paling santai dan tidak pernah memikirkan tentang tugas. Nyatanya nggak pernah 'sebaik-baik aja' itu.
Aku tidak tahu harus meresponnya bagaimana, aku terlalu kaku untuk berkata, takut salah berucap dan memperburuk keadaan.
"Karena Geraldi berhasil lulus sebagai siswa terbaik jugalah, gue disuruh masuk ke sini, diharapkan bisa kayak Geraldi, padahal.. mereka tau itu nggak mungkin." Katanya kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
AWAS JATUH, SAN! (√)
Teen FictionPadahal semuanya bisa jadi lebih mudah kalau waktu aku jatuh ke kamu, kamu tangkap aku.