b a g i a n t i g a p u l u h t u j u h

93 18 59
                                    

Hari pertama patah hati, sabtu.

Aku menatap layar laptopku malas. Drama korea bahkan sudah tidak semenarik itu. Aku kehilangan selera menontonku. Padahal, biasanya, jika aku sedang badmood aku akan mengalihkan pikiranku pada drama korea atau bacaan. Ini menjadi hal yang sia-sia sekarang.

Aku menghembuskan napas perlahan, memejamkan mata, mencoba mencari sisa-sisa kepingan kewarasanku yang masih tersimpan.

"Nggak apa-apa, dia emang bukan buat lo, nggak usah sedih, dia juga bukan siapa-siapa lo."

Aku mengucapkan itu berulang kali, memikirkan itu terus-menerus. Tapi rasanya tetap tidak mudah. Rasanya, jatuh cinta kepada orang yang menyukai orang lain itu buruk. Banyak kenangan yang tiba-tiba menyergap, membuat aku semakin kehilangan arah.

Aku menutup laptopku, kemudian beranjak keluar kamar. Kulihat Ayah masih tertidur di sofa ruang tamu. Sedangkan ibu tengah mengurus tanaman-tanamannya. Dan Sanjaya tentu saja tengah bermain dengan teman-teman sekompleknya, layaknya anak kecil yang tidak memiliki beban.

Aku yakin orang tua akan menertawakan ucapanku barusan. Memangnya beban apa yang aku miliki selain tugas dan sakit hati ini?

"Kak."

Aku menghentikan langkahku di pintu dapur, menyauti panggilan Ayah yang entah sejak kapam terbangun dengan gumaman singkat.

"Di kulkas ada jambu biji tuh, tadi ibu beli."

Aku kembali bergumam, memilih melanjutkan langkahku memasuki dapur. Aku membuka kulkas di sudut dapur, menatap isinya. Ada jambu biji segar tanpa kulit di dalam toples. Napasku tertahan sesaat. Sebuah memori mengingatkanku hal yang sedang kucoba abaikan.

Aku meraih toples tersebut, kemudian mengambil satu potong jambu biji, mulai mengunyahnya pelan.

"Itu bukan apa-apa San," Kataku pada diriku sendiri.

Aku kembali meletakkan toples itu kembali dan beranjak menuju ruang tamu. Kududukkan diriku pada sofa di sebelah Ayah. Membuatnya menggeliat karena merasakan pergerakanku, cepat sekali Ayah kembali tertidur..

"Heh, perawan, jam segini belum mandi."

Aku menoleh ke arah Ayah, menatapnya malas, Ayah memelototiku, membuatku mengkerut.

"Ayah jam segini masih tidur, belum mandi juga nih pasti."

"Ayah mah udah punya Ibu, nggak mandi juga nggak apa-apa, lah kakak? Pantes nggak ada yang mau, males mandi."

Aku memukul Ayah dengan bantal di sebelahku. Kemudian beranjak kembali ke kamar, kesal!

Iya iya, tidak ada yang mau sama aku. Iya iya, orang yang aku sukai sudah jadi milik orang lain. Iya iya, aku bukan apa-apa dibanding Senja yang cantik.

Aku menjatuhkan diriku di atas kasur, menangis. Aku sedang dalam mode sensitif, dan kalimat bercanda Ayah barusan justru membuatku berpikir terlalu jauh. Aku menenggelamkan wajahku di atas bantal, menahan isakan yang semakin keras.

Menjadi cewek merepotkan!

Hari kedua patah hati, minggu.

Matahari pagi menyorot wajahku melalui jendela kamar yang terbuka. Aku mendudukkan diriku, mengusap keringat di dahiku. Aku memejamkan mataku, mencoba menenangkan diri karena baru saja terbangun dari tidur.

Aku menggigit bibir bawahku begitu mengingat mimpi yang baru saja kualami. Harusnya mimpi ini lucu, harusnya mimpi ini membuatku senang.

AWAS JATUH, SAN! (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang