Aku hampir menjadi burung hantu! Gawat! Kantung mataku bahkan sudah mirip seperti yang dimiliki panda. Ini pasti disebabkan oleh pola tidurku yang berantakan selama liburan sekolah! Aku menampar pipiku, mencoba membuat mataku tetap terjaga.
"Kak! Makan."
Itu suara ayah, aku cepat-cepat merapikan tempat tidur dan menuju dapur, membiarkan kamarku berantakan seperti kapal pecah, tidak ada waktu, aku harus menuju medan tempur.
Aku langsung duduk di meja makan dan menyantap sarapan, mencoba setenang mungkin. Hawa berubah menjadi tidak enak. Sebenarnya, aku tahu apa yang terjadi, tapi.. Aish... Aku dan Ibu memulai perang lagi hari ini.
Semalam ibu memergokiku yang belum tidur hingga pukul dua malam dan sedang bermain ponsel, lalu ibu mengomeliku karena terus-terusan begadang, pasti sekarang Ibu sedang ngambek kepadaku dan memulai perang dingin. Kalau sudah perang seperti ini, ayah biasanya akan berpura-pura tidak tahu dan bersikap biasa. Sedangkan rumah akan menjadi hening saat ayah berangkat kerja, karena aku dan ibu akan saling diam. Seperti orang yang tidak saling mengenal. Aku sebenarnya tidak suka situasi ini, tapi terlalu gengsi untuk minta maaf.
Aku menghabiskan sarapanku dengan segera dan meletakkan piring di wastafel, kemudian menyalami punggung tangan ayah yang akan berangkat kerja.
"Jangan ngeyel-ngeyel ya kak," kata ayah sambil tersenyum, aku yang terlalu mudah tersentuh sudah berkaca-kaca, suasana hatiku sedang lemah sekarang.
"Baikan sana," suruh ayah.
Aku tersenyum, ayah lalu berpamitan kepada ibu dan berangkat kerja.
Aku menimang. Biasanya kalau sudah perang begini, akhirnya jika tidak ibu yang tiba-tiba menjahiliku ya aku yang meminta maaf dan berakhir kami menangis sambil pelukan, sepertinya opsi kedua yang akan terjadi kali ini. Aku menggaruk tengkukku canggung, bingung.
"Ibu.." Aku memanggilnya seraya menghampirinya.
Ibu pura-pura tidak mendengar, melanjutkan kegiatan meminum tehnya.
"Maafin.." kataku begitu saja sambil menggoyangkan lengannya.
"Hm," hanya itu jawabannya.
"Maafin kakak ya.." Aku semakin mendekat kearahnya, ibu masih diam.
"Iyaa ih maafin, nggak lagi.." Aku sudah mulai berkaca-kaca.
"Iya, udah sana" ibu masih belum memaafkanku dengan ikhlas.
"Ibu, ih maafin." aku memeluknya.
Hening lama, aku sudah ingin menangis. Ibu balas memelukku, aku merasa lega begitu saja.
"Iya, makanya jangan ngeyel kalau dibilangin, buat diri sendiri juga, biar nggak sakit!"
Aku menangis, aku memang terlalu emosional dalam hal-hal seperti ini. Aku mengusap air mata yang jatuh, tidak boleh cengeng San.
"Iyaa..." Kataku masih dengan sesenggukan.
"Dah sana, mandi!"
Aku melepaskan pelukannya, ibu menjewer telingaku membuatku memekik. Aku lega, ibu sudah benar-benar memaafkanku.
Aku mengetukkan jariku di meja, menimang apakah harus mengatakannya sekarang atau tidak. Sekarang? Nanti? Sekarang? Nanti? Ah.. Sekarang..
"Kakak ada janji sama Dina buat main hari ini,"
Ibu menoleh, menatapku penuh selidik, kemudian memberikan tepukan pelan pada keningku.
"Dasar! Takut nggak dapet uang jajan ya! Makanya minta baikan!"

KAMU SEDANG MEMBACA
AWAS JATUH, SAN! (√)
Novela JuvenilPadahal semuanya bisa jadi lebih mudah kalau waktu aku jatuh ke kamu, kamu tangkap aku.