b a g i an t i g a p u l u h e n a m

92 17 54
                                    

"Gimana kalau lo jadi pacar gue?"

Ekspresi Leo perlahan berubah, menjadi lebih santai, tidak seserius tadi. Aku masih bungkam, mencoba membaca situasi yang terjadi.

"San.."

Aku berkedip, menatap Leo yang kini meloloskan sebuah cengiran. Keningku berkerut, jantungku benar-benar sudah tidak normal.

"Menurut lo, Senja lebih suka ditembak pakai cara yang mana?"

Otakku blank, aku seperti kehilangan seluruh kekuatanku, semestaku rasanya baru saja runtuh. Tanganku yang sejak tadi terkepal terasa berkeringat, rasanya aku ingin menangis di tempat. Aku seperti baru saja jatuh dari ketinggian. Rasanya hancur, begitu hancur, terlalu buruk untuk dijelaskan. Apa yang baru saja terjadi Tuhan?

Ini lebih buruk dari sekadar patah hati biasa, ini lebih buruk daripada sekadar mendengar Senja memintaku menjauh, ini lebih buruk dari dikhianati oleh Kak Faiz. Ini lebih buruk daripada beberapa hari kebelakang. Semuanya terasa begitu tiba-tiba. Dan aku tidak pernah bersiap untuk sehancur ini...

"San..."

Aku kembali menatap Leo yang terlihat tenang, tidak Leo, kenapa kamu lakuin ini? Kalau kamu memang mau nembak Senja, kenapa harus tanya aku? Kamu baru aja ngelakuin kesalahan Leo. Kamu nggak bisa sejahat ini. Bisa aku anggap kamu antagonis sekarang Leo? Kamu tahu kalau aku baru saja menaruh harapan besar kepadamu?

"Hm?"

"Menurut lo gue lebih cocok ngomong pakai kalimat yang mana?"

Aku berdeham, mengepalkan tanganku lebih kuat.

"Semuanya bagus, apa pentingnya? Senja nggak akan nolak juga menurut gue."

Leo mengangguk, tersenyum. Jadi itu alasan kamu terlihat bahagia malam ini?

"Sebenernya dia bilang suka duluan ke gue, cuma, gue nggak terima dong kalau ditembak cewek duluan."

Aku meloloskan napas perlahan, berusaha menguasai diri sendiri, perlahan aku tersenyum. Kali ini, aku benar-benar sedang berpura-pura.

Aku baru sadar sesuatu. Aku memang sudah kalah sejak awal. Aku kalah karena tidak berani mengungkapkan, bahkan kepada diriku sendiri. Aku kalah karena terlalu pengecut untuk maju tapi tidak siap patah hati.

"Oh ya? Bagus dong, sama-sama suka."

"Untuk itu, lo gue traktir duluan malam ini," Ucapnya terlihat begitu tenang, mengedikkan dagu ke arah gelasku.

"Mau pesan apa lagi, San?" Tanyanya.

"Nggak usah Le, hm.. Lo masih ada yang mau diomongin? Gue mau ada perlu soalnya."

"Nggak ada sih, cuma mau minta pendapat lo aja, sama beliin itu, makasih ya udah dateng, maaf ya kalau ganggu."

Aku tersenyum, mengangguk kemudian bangkit dari kursiku, mencoba mengumpulkan sisa-sisa kekuatanku untuk pergi setidaknya dengan terlihat baik-baik saja.

"Makasih juga Le, semoga berhasil," Ucapku sebelum benar-benar pergi dari sana, enggan melihat tanggapannya.

Aku memegang erat tali slingbagku. Menyalurkan perasaan yang tidak lagi bisa kujelaskan, entah apa namanya, dan entah bagaimana rasanya, semua hanya terasa hilang dan hancur.

Kakiku terus melangkah, mataku terus menatap, tapi kesadaranku tidak sepenuhnya berpijak. Aku menapaki trotoar yang ramai malam itu, merasakan semuanya hanya suara-suara bising yang menyesakkan. Aku terus bertanya kepada diriku sendiri. Kenapa aku merasa sesakit ini? Mengapa aku harus jatuh kepadanya? Sebenarnya apa yang baru saja terjadi? Apakah semuanya selesai setelah ini? Lalu, apa akan ada yang berubah jika aku lebih dulu menyatakannya kepada Leo waktu dulu?

AWAS JATUH, SAN! (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang