b a g i a n l i m a

204 57 28
                                    

  Dengan keajaiban yang ada kebetulan sekali tidak ada tugas yang harus dikumpulkan besok, karena aku juga sedang malas untuk mengerjakan apapun. Aku berbaring di kasur, tidak melakukan apa-apa, hanya memikirkan kata-kata ibu.

"Karena sebelumnya dia juga memulainya dengan baik, jangan jadi orang jahat ke dia cuma karena kalian nggak berakhir baik, itu cuma akan bikin penyakit hati sendiri, maafin, kakak udah tahu sifat dia kaya gitu, cukup tau aja, jangan terlalu diliatin kalau kakak benci sama dia, nggak baik,"

  Aku sih maunya nggak benci ya, tapi kalau liat dia, apa lagi kalau kejadiannya kaya tadi, siapa coba yang nggak makin benci. Tapi, aku tahu apa yang ibu bilang itu benar, jadi aku akan bersikap biasa aja mulai sekarang, anggap aja kita nggak pernah ada apa-apa sebelumnya. Emang aku sama dia ada apa sebelumnya?

  Aku sebenarnya paling malas mengungkit masa lalu, apalagi soal ini, karena dengan mengungkit soal ini, bukannya membuka luka lama, karena luka itu sendiri sudah sembuh sepertinya, aku cuma sadar saja kalau dulu aku bodoh banget. Aku menutup wajahku dengan bantal, malu dengan diri sendiri di masa lalu.

  Dulu, event pertama di masa jabatan aku di organisasi, aku malah memulainya dengan jatuh cinta sama seseorang, yang padahal dari awal juga aku tahu itu bakalan salah, karena temen aku sendiri udah ngingetin aku tentang itu, walau akhirnya dia cuma bisa dukung aku aja.

  Awalnya, aku juga nggak niat deketin dia apalagi dia itu senior aku, tapi waktu dia kasih feedback, aku yang awalnya kesal banget cuma karena lihat muka dia, malah suka gitu aja, ini adalah kebodohan pertama aku.

   Nggak tahu gimana, karena waktu kayaknya jalan gitu aja, kita malah jadi dekat, kemudian kita sempet jauh lagi karena dia yang nggak bisa cocok sama sifat aku, waktu itu kebodohan keduanya adalah aku nangisin dia, iya aku nangis karena nggak tahu kenapa aku udah terlalu naruh hati sama dia.

  Bulan ganti bulan, minggu ganti minggu, aku lagi persiapan untuk ujian nasional di kelas sembilan, dia juga sering datang ke sekolah, kita sering papasan, tapi seolah-olah kayak orang nggak kenal.

  Kemudian, entah bagaimana akhirnya kita komunikasi lagi, terus, ya kita deket lagi aja gitu walau waktu itu belum sedeket sebelumnya, sampai, akhirnya, kita mutusin buat kaya dulu lagi, tapi kalau ditanya, apakah kita pacaran, jawabannya adalah nggak, karena aku sama dia, sama-sama nggak suka terikat, atau lebih tepatnya aku nggak suka terikat karena memang nggak pernah, dan nggak masalah juga andai dia mau memperjelas hubungan kita, tapi dia nggak mau terikat karena, dia jelas punya banyak yang nggak diikat lainnya. Paham kan, ya dia sebenarnya emang dekat sama banyak cewek, dan itu adalah kebodohan aku yang berikutnya.

  Dan hal yang paling membuat aku sadar kalau waktu itu aku bodoh adalah, nggak ada hari dimana kita nggak berantem, dan dia yang selalu mulai, dia yang selalu nyalahin aku, dan aku selalu nurut minta maaf karena nggak mau kehilangan dia, oh really stupid please. Ketawain aja aku ikhlas kok.

   Aku tahu, waktu aku nggak ada waktu, dia mulai dekat sama adik kelas yang aku tahu banget karena bahkan kita baru aja ketemu tadi, yang kemudian karena ada hal lain yang udah terlalu bikin aku jengah sama dia, aku mutusin buat pergi, iya, hari itu, aku pergi gitu aja, setelahnya aku tutup akses semua hal yang memungkinkan kita buat komunikasi, dan di sana, aku baru sadar, aku udah terlalu jauh, aku udah terlalu parah, dan akhirnya aku dikasih peringatan sama Tuhan, iya, aku baru sadar, dan mulai hari itu, aku benci banget sama apa yang udah pernah aku lakuin, aku nggak pernah niat benci orangnya, tapi setiap lihat dia, kayaknya aku malah benci sama semuanya, tolong, aku masih bodoh sampai sekarang karena susah maafin orang.

  Aku nggak pernah suka ingat semua itu, tapi ibu selalu ngungkit dengan caranya, beliau nggak mau aku benci sama masa lalu, karena katanya, itu harusnya jadi pelajaran, bukan karena pernah salah lalu nggak berani buat menghadapinya, and i agree with her.

  Kalau bahas soal bagaimana aku jatuh cinta, emang nggak ada kisah indahnya, kalian nggak akan nemu cerita cinta kaya di wattpad atau novel romansa, kalian cuma akan ketemu sama fase yang gitu-gitu aja, yang aku sendiri udah hafal betul gimana akhirnya. Aku jatuh cinta, aku berusaha ngeraih dia, dia cinta sama orang lain, mereka bahagia, aku tetep jatuh sendirian. Dan aku udah terlalu capek buat ngulangin itu lagi, kayaknya. Makanya, waktu itu ada kemungkinan buat aku suka sama Saka, aku langsung menghindari semua itu, aku nggak mau sampai itu terjadi, karena aku juga tahu nantinya akan gimana, untuk itu, aku menghentikan diriku bahkan sebelum memulai sesuatu.

^°^
 

Aku sebenarnya nggak suka upacara, dan emang nggak pernah suka, karena berdiri lama-lama sama sekali bukan keahlian aku. Waktu SD, aku rutin banget setiap upacara hari senin pasti ngerasain yang namanya pusing, buram, dan udah hampir jatuh, tapi aku pasti buru-buru cari tempat duduk, jadi sampai sekarang aku belum pernah ngerasain yang namanya pingsan.

  Dan hari ini, dengan sangat sombongnya, aku mengambil barisan kedua dari depan, di depanku ada Wanda. Tadinya, aku kira aku bakal aman makanya aku berani berdiri disini, soalnya di samping kananku ada Feri, salah satu cowok besar di kelas yang bisa nutupin aku dari sinar matahari yang walau masih pagi, panasnya udah nyengat banget. Tapi ternyata, perkiraan aku salah, karena setelah lima menit Feri berdiri di tempatnya, Leo datang gitu aja nyerobot tempat Feri, padahal tadinya dia anteng-anteng aja berdiri di belakang, ngeselin.

  Aku nggak tahu harus bersyukur atau tetap kesal karena sekarang kesorot matahari, karena nyatanya pagi ini nggak ada upacara melainkan hanya apel, yang artinya aku nggak akan berdiri terlalu lama. Aku bersorak dalam hati. Aku nggak tahu Nia dan beberapa teman perempuanku yang lainnya sedang membicarakan apa di belakang, tapi kasak-kusuknya jelas membuatku merasa dibicarakan, aku sampai menoleh beberapa kali hanya untuk mendapati mereka yang menyengir kearahku, Nia menaik turunkan alisnya, aku tidak paham mereka kenapa. 

  Apel baru saja dimulai, tapi aku dan Wanda sudah tidak bisa diam dan memilih mengobrol, kemudian Arik yang berdiri di sebelah Wanda ikut bergabung dengan obrolan kami, dan tidak lama setelahnya Leo juga akhirnya masuk dalam obrolan kami, sudah tidak peduli dengan apel yang masih berlangsung.

"Beruntung banget lo hari ini Le,"

"Kenapa emang Rik?"

"Kan kalau upacara dia harusnya kena razia karena nggak pakai topi,"

  Aku beralih memandangi kepala Leo, benar juga, ia tidak membawa topinya hari ini.

"Keberuntungan emang selalu berpihak sama gue,"

"Tapi pakai topi nggak enak tahu, panas juga," kataku, aku bergerak melepas topiku, yang langsung disambar oleh Leo, aku mendelik.

"Kalau gitu gue pinjem, panas banget mataharinya,"

  Aku mengangguk saja, toh nggak berpengaruh apa-apa untukku, pakai topi atau tidak sama saja menurutku. Lagipula, Wanda sekarang melepas topinya juga dan menjadikannya kipas untuk kami berdua. Kurasa kalau pembina apel melihat ke arah kelas ini, kami berempat akan dipanggil ke depan.

  Leo melepas topiku, kemudian memperhatikannya dengan saksama.

"Cewek ko bisa ya nggak nyoret-nyoret topi?" tanyanya, menoleh kepadaku.

"Justru gue mau nanya, cowok ko suka banget nyoretin topi, kan jadi kotor"

"Apa bedanya? Topi tetep topi, nyoret juga nggak asal kali, ada seninya,"

"Tapi tetap aja kalau terlalu banyak coretan jadi nggak bagus, bisa diambil guru BK tau!"

  Dia mengangguk-angguk, kemudian memgembalikan topinya kepadaku. Kami melanjutkan perbincangan, hingga apel selesai, dan aku tidak menangkap satupun amanat apel hari ini, maafin aku pembina apel.

 

AWAS JATUH, SAN! (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang