b a g i a n d u a p u l u h e m p a t

88 19 43
                                    

Aku menatap Dina yang tengah mengipasi mulutnya karena kepedasan, dia harusnya tahu kalau cara itu tidak efektif.

"Din, itu nggak ngilangin pedas," tegurku.

Dina mengangkat wajahnya, kemudian lanjut memakan sisa baksonya yang penuh dengan sambal itu, masih dengan gerakan mengipasi mulutnya, konsisten sekali.

"Makanya, jangan pakai sambal banyak-banyak!" Peringatku, entah untuk yang keberapa kali.

Dina tak mengindahkanku, dia lanjut memakan baksonya, sedangkan mangkokku sudah kosong sejak dua menit yang lalu. Aku menghela napas melihatnya mengeluarkan banyak keringat.

"Aku bayar dulu, sekalian beli es teh."

Melihat Dina tidak bereaksi selain mengurusi masalah kepedasannya, aku bangkit untuk membayar bakso dan membeli es teh, membiarkan Dina yang keras kepala tidak mau membeli minum padahal sudah kepedasan sejak tadi.

Aku kembali dengan membawa dua gelas es teh, kusodorkan yang satunya kehadapannya, masih tidak dihiraukan.

Setelah suapan terakhir, Dina baru meraih gelas yang sejak tadi kuberikan. Dia langsung meminumnya hingga tandas dan hanya menyisakan es batunya.

"Buset,"

"Sumpah San, rasa bakso jadi lebih nikmat kalau pedas banget tahu!"

Kini Dina mengipasi wajahnya, aku hanya membiarkannya, sudah menjadi kebiasaannya memakan bakso penuh sambal, lalu kepedasan setelah menghabiskan segelas minumannya, dan minumanku.

"Punyaku tahu," Protesku kesal.

"Minta," meski berkata begitu, pada akhirnya Dina menghabiskan es tehku juga, itu bukan meminta, malak.

"Eh ya, baru ingat!" Serunya tiba-tiba, ia meletakkan gelasku begitu saja.

"Ingat apa Din?"

Dina menyodorkan gelas yang kini hanya berisi es batu kepadaku, dahinya berkerut.

"Kamu jadi ketemu sama Kak Faiz waktu itu?"

Aku berdeham, mendadak jadi mengingat kejadian malam itu, bukan yang bersama Kak Faiz, melainkan kejadian setelahnya. Aku memang belum bercerita apapun kepada Dina, aku hanya bilang Kak Faiz memintaku menemuinya.

"Jadi."

"Dia bilang apa?"

"Hm.. Dia ngajak ba-li-kan."

Dina terkejut, kulihat matanya membola, kemudian ia tertawa.

"Lah, masih punya muka buat misuh-misuh?"

Mulutnya Dina kalau sudah kepedasan bukan cuma hawanya yang panas, tapi ucapannya juga.

"Kamu tahukan dia itu seperti apa? Buaya tebal muka!"

Dina mengangguk, dia kembali menggerogoti es di dalam gelasnya.

"Pasti kamu tolak, habis itu dia ungkit-ungkit masa lalu, kan?"

Aku bertepuk tangan kecil, merasa bangga dengan kemampuan Dina yang bisa menebak situasi.

"Udah tua, bukannya makin bener, makin gila aja."

"Nggak peduli lah aku Din sama dia, males."

Dina mengacungkan jempolnya, kemudian kembali sibuk dengan es batu di gelasnya, kini berusaha menghabiskannya juga.

Ponselku yang tergeletak di atas meja berkedip, menandakan ada notifikasi baru yang masuk. Aku meraihnya, satu pesan dari Leo yang sudah dua hari ini kosong kembali datang.

AWAS JATUH, SAN! (√)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang