1

17 0 0
                                    

Ku akui aku hanya gadis biasa. Atau bocah?... usiaku baru menginjak 17 tahun beberapa bulan yg lalu. Tapi usia tak menjamin semua kan?...
Aku hidup atas persetujuan tuhan, dan menjalani alurnya dengan ikhlas. Tak berusaha menyangkal sedikitpun. Biar waktu yg menjawab apa yg selama ini aku pertanyakan.

Aku tak suka hujan, juga tak benci dengan momen yg satu ini. Aku benci hewan elastis dan berlengkat-lengkit dengan banyak kaki dan kulit tipis dan tekstur terlihat empuk. Aku benci, bisa dibilang cukup phobia. Entahlah.

Ngomong2 soal hujan. Kurasa itu cukup membuatku tertarik hari ini. Bukan desember yg terkenal dengan hujannya. Saat ini bulan mei. Dan aku tak tau tentang perhitungan kapan hujan akan turun, jujur saja aku benci perhitungan tidak jelas itu.

Kembali ke hujan. Aku akan sedikit bercerita tentang hari ini, kenapa sampai hujan membasahi tubuhku yg bahkan sensitif dengan air hujan itu sendiri.

***

Namaku Ergika Diaz Talungga. Panggil saja Diaz. Aku siswi yg baru saja selesai dengan ujian kenaikan kelas menuju puncak SMA. Tepatnya baru saja akan menginjak kelas 12. Aku tipe cewek yg sulit beradaptasi dengan lingkungan ataupun teman, kecuali jika teman itu yg memulai akrab, aku akan bertingkah ramah. Dan sebaliknya aku susah berteman dengan tipe orang yg gengsian dan banyak aturan.

Aku tidak tahu bagaimana wajah danekspreaiku saat didepan junior atau seniorku. Tapi satu hal yg menurutku tidak menggambarkan tentangku. Kakak tingkatku yg baru saja lulus dan tepatnya tetanggaku menggatakan kalau aku terlalu jutek dan pendiam. Padahal kurasa aku biasa2 saja dan tampak enjoy.

Sudahlah. Aku juga tidak bisa memaksakan ekspresiku yg memang sudah kodratnya dari yg maha cipta. Hehehe....

Wajahku mungkin terlihat tenang. Aku tampak selalu ceria dimata orang terdekatku, tanpa mereka tahu. Aku selalu memikirkan hal2 yg mungkin masih akan terjadi tahun depan, sekarang ataupun kejadian beberapa jam atau hari yg lalu. Membosankan memang, tapi bagaimana kalau bahkan setiap membuka mata memorry2 konyol mampir tanpa diundang.

Dan aku rasa butuh penjernih pikiran, bukankah perlu kepala dingin untuk menghadapi yg namanya beban pikiran.

Ibuku tidak menganjurkan mengkonsumsi segala jenis es dengan jarak 12 jam sekali. Dan tak salahnya kalaubaku butuh pendingin alami dari alam... dan itu hujan.

Bulir2 itu tidak deras juga tidak gerimis. Hujan biasa dengan tempo jatuh tak terlalu cepat dan rintik tak menyakitkan dikulit. Sekarang aku sedang berada dibukit. Tempat yg cukup jarang dikunjungi masyarakat. Banyak pepohonan dan rumput hijau menutup permukaan tanah. Dan disanalah aku menghabiskan momen bersama hujan, mendinginkan kepala meski nanti aku akan demam atau flu. Dan aku tau pasti Ibu akan marah dan menceramahiku 2 hari 2 malam...

Kubiarkan butiran2 air hujan berjatuhan membasahi tubuhku yg terbalut kaos lengan pendek. Dari sini aku dapat melihat pemandangan perumahan yg berjajar rapi dan aku sadari aku harus cepat2 pergi. Hari memang belum terlalu sore karena baru saja pukul 3, tapi tempat ini terlalu sepi dan aku tidak ingin mengambil konsekwensi kalau sampai aku demam disini.

Tapi, semua pemikiranku tentang demam teralih. Lapangan basket itu terlalu menyita perhatianku. Tetesan air hujan menimpa permukaan semen lapangan terlihat lebih seru dari pada air yg jatuh direrumputan, terasa lebih nyata. Dan kuakui, aku tidak bisa mengelak dengan ancaman sakit. Ada hal yg perlu kuselesaikan, beban otakku setelah Ujian kenaikan kelas plus pemikiran2 yg semrawutan harus kurilekskan. Karena, tadi saja tidak cukup.

Dan, sensasi luar biasa dapat aku rasakan saat kutengadahkan kepalaku sembari mata terpejam dan tangan yg kurentangkan. Bunyi tubrukan air dan permukaan lapangan menjadi backsound tersendiri. Lega. Untuk sejenak aku dapat membhang jauh2 apa yg sedari tadi mengganggu pikiranku. Hufft! Sampai aku baru sadar kalau aku tak sendiri...

Pantulan bola serta suara cipratan air jelas terdengar diindra pendengaranku. Rupanya ada orang lain yg sedang bermain basket dilapangan yg sama denganku. Aku sama sekali tak penasaran dan kulanjutkan aktifitasku kalau2 bola itu tidak mengelinding dan berhenti saat menyenggol kakiku.

Terpaksa aku membuka mata. Sepertinya aku harus berurusan dengan seseorang itu. Kutundndukkan kepalaku, bola itu tepat selangkah djhadapanku. Sedikit merenggangkan ikatan rambutku aku mendongak saat langkah kaki mendekat. Menimbulkan suara cukup nyaring lantaran lapangan cukup tergenang air.

Dengan alis mengerut aku melihat wajah orang itu, sedikit tak jelas karena rintik hujan yg masih belum reda. Seorang cowok dan sepertinya usianya tak jauh dariku, mungkin hanya beberapa tahun diatasku. Dan kurasa dia sama sepertiku. Menghabiskan waktu dengan hujan untuk menghilangkan beban pikiran meski hanya untuk sementara. Jadi...

"Mau main bersama?" Cukup bodoh untuk bocah yg sulit beradaptasi denganku. Cowok itu membuka tudung hoddienya lalu menyugar rambutnya, terlihat jelas wajahnya yg cukup dibilang menyimpan segelintir masalah. Entah apapun itu, tapi kurasa dia menyetujui ajakanku dengan anggukan ringannya.

Dengan semangat aku mulai memainkan bola coklat keoragean itu. Aku tak berfikir seasik ini. Terlebih lawanmu bisa dibilang tidak sepadan tapi aku menikmatinya. Setidaknya ini membuat moodku sedikit membaik. Tak apa aku tertinggal banyak poin, karena yg aku butuhkan hanya pengalihan dari bebanku.

Permainan berlangsung dan aku tentu pihak yg kalah. Aku tetap tersenyum meski kurasa kepalaku mulai berat. Jiwa sensitifku selalu saja mengganggu kesenanganku.

"Siapa namamu?" Well, dia bertanya padaku? Tentu saja.

Dengan semangat aku menjawab meski dia masih asik dengan bolanya. "Diaz. Namaku Diaz. Kamu sendiri?" Jawab serta tanyaku cukup keras karena teredam suara air hujan.

"Arka" jawaban super singkat tapi aku tak masalah.

Dia menghentikan permainan bolanya, dan kenapa dia berjalan kearahku.

"Bocah kecil. Seharusnya bocah seusiamu tidak hujan2an. Bisa saja kau rentan dengan penyakit" ucapnya dengan wajah meremehkan menunduk menatapku yg hanya sebatas pundaknya.

"Hey. Kamu mengejek? Usiaku sudah 17 tahun. Dan aku bukan bocah ya" ucapku tak terima. Aku juga ikut mendongak agar dapat melihat wajah menyebalkan itu. Memang aku bocah, tapi tak perlu diperjelas pula bukan, dasar Arka menyebalkan.

Dia terkekeh lalu mengusap wajahku seolah aku baru saja cuci muka. "Why?, kenapa kau ada disini, bocah?" Tanyanya terdengar menyebalkan ditelingaku.

"Suka-suka aku" jawabku jutek. Dan dia malah menyengir lebar. Ku akui, dia cukup tampan untuk wajah2 yg pernah kulihat secara live. Tingginya juga cukup melebihi rata2 cowok seusianya dengan kulit bisa dibilang cukup cerah untuk ukuran cowok2 yg pernah berkeliaran disekutar sini atau lebih tepatnya penduduk sini.

"Ayo ikut. Sepertinya kau cukup asik diajak bicara" dan baru kali ini ada orang yg betkata sedemikian. Karena, kurasa aku hanya gemar menjadi pendengar dari pada teman bicara yg baik, itu sedikit merepotkan.

Dan yg kutahu, kisah yg sebenarnya baru saja dimulai....

Hujan Dan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang