9

0 0 0
                                    

Hujan tak kunjung reda. Juga memori itu yg lantas makin berseliweran tak sopan didalam kepalaku. Terlebih sang penuah ada disampingku saat ini. Kami masih terjebak diteras parkiran. Setengah jam lagi kelas pertamaku dimulai. Dan aku beharap semua ini cepat berlalu juga, memori kami begitupun Arka.. aku berharap dia bisa kulupakan.. meski rasanya sulit.

"Semua berlalu sangat cepat. Bahkan aku masih mengingat dengan jelas saat kamu meninggalkan sepedamu lalu berlarian ketengah lapangan basket. Padahal itu sudah lebih dari satu tahun. Nyatanya, melupakan itu sulit. Selalu saja ada hal yg tuhan rencanakan agar kita dipertemukan kembali. Dalam kondisi apapun"

Ucapan panjang itu tak lantas membuatku membuka mulut. Dia benar mungkin ini rencana tuhan.

"Setengah tahun yg lalu. Tepatnya diliburan akhir semester. Sebenarnya aku berniat kembali.. kamu tahu?.. tapi, hanya wacana. Saat aku tahu kembaranku akan dijodohkan, aku sangat penasaran dan antusias. Dan kamu tahu.. itu kamu, Ibuku membawa sebuah foto gadis SMA yg manis, dia tampak tersenyum meski tipis. Fotomu. Aku tahu, dari saat itu peluang untukku bertemu denganmu sangat sulit dan mungkin tak ada. Dan, aku tidak boleh egois, aku menyayangimu Diaz. Tapi aku juga menyayangi saudaraku. Melihatnya yg baik-baik saja saat melihat foto dan data dirimu juga tampak menerima dengan ikhlas aku tahu dia langsung menyukaimu meski hanya lewat foto. Kamu sebuah anugrah untuk Zio. Mungkin kamu pernah mendengar cerita darinya mengenai Arin. Dan itu benar. Ada beberapa hal yg terpaksa aku lakukan untuk menjauhkan mereka, bukan karena apa. Arin tak pantas untuk Zio begitupun sebaliknya. Aku tahu, aku jahat. Jauh dilubuk hatiku tak ada kata cinta secuilpun untuk Arin. Dia hanya mencintai paras bukan ketulusan. Jelas sekali kalau Zio sangat tulus padanya, namun yg diterima Zio sebaliknya, dia selalu dihianati tanpa dia tahu. Dan saat itulah aku bergerak. Karena aku tahu, Zio sama sepertiku. Dia menyayangiku dan akan mengalah padaku. Seperti yg kulakukan saat ini. Maka, berbahagialah Di.. aku mencintaimu"

Pipiku basah, bukan karena air hujan. Tapi ini tangisku. Pengakuan ini. Hal yg kucari selama ini, hal yg selalu kuragukan. Kenapa semua harus serumit ini. Kenapa?.. disaat kami dipertemukan bukan disaat yg tepat. Saat semuanya telah berubah, saat seharusnya kami disatukan namun status ini menjadi penghalang bak dinding kaca yg menembus atmosfer bumi  seolah bernafas dalam tempat yg sama pun tak diizinkan. Tuhan sesulit inikah takdir hidupku?..

"Kenapa? Kenapa serumit ini?" Tanyaku entah pada siapa. Bahkan aku tak tahu, bibir ini berucap dengan sendirinya.

"Semuanya sudah diatur Diaz. Kita hanya lakon yg kapan saja bisa dibuat jatuh dan dibuat bangun kapanpun dikehendaki. Jangan lupa, saat kamu jatuh, kumpulkanlah kekuatanmu untuk bangkit kembali"

Kutatap mata itu, mata yg membuatku lupa akan waktu. Mata penuh cinta yg dulu tak pernah kuketahui. Tak ada kebohongan disana. Dia ingin aku bahagia, dan ketahuilah.. bahagiaku adalah bersamamu Arka.

Tangan besar itu menghapus air mataku yg masih mengalir. Dia menarikku kedalam pelukannya, terasa hangat membuatku merasa nyaman.

"Biarkan seperti ini. Sebelum semuanya kembali seperti awal, kemarin dan seterusnya. Biar saat ini menjadi milik kita Diaz" bisiknya mengeratkan pelukannya. Bahkan kalau bisa aku ingin tetap berada dipelukannya, dan tak akan kulepas lagi. Andai saja bisa....

.

Suara rintik hujan menjadi melodi terindah malam ini. Berkelebatan bayangan muncul tanpa kuminta, pertemuanku dengan Arka, hari-hariku dengan Arka, juga bagaimana rasa nyaman itu tumbuh bersama Arka. Semua itu tak mudah, melenyapkan rasa nyaman itu tak segampang logika. Aku terlanjur jatuh, terlalu dalam sampai dasar jurang pun seolah belum cukup untuk menggambarkan.

Masih kuingat, pelukan eratnya, suara bass-nya yang mengalun merdu dari bibir merah muda-nya. Dia Arka, sosok yang selama ini mengisi ruang kosong dihatiku. Seseorang yang sudah menorehkan berbagai rasa didasar harapku, meski pada akhirnya kita tetap tak bisa bersatu.

Sebenarnya aku belun terlalu percaya, kalau ternyata Arka atau Gio benar-benar saudara kembar Zio, tunanganku. Sanggupkah aku menciptakan rasa yang baru? Sedangkan rasaku dimiliki pria lain?

"Di.. turun dulu, Ayah sudah menunggu diruang makan"

"Iya Bu"

Aku bergegas, merapikan pakaianku yang terlipat saat duduk pun membenahi raut wajahku yang akhir-akhir ini mungkin jarang mengeluarkan senyum. Arka, sebegitu berpengaruhnya nama itu untukku...

Dengan sendal bulu hitamku aku keluar dari kamar, menuruni tangga dengan tenang berusaha sebaik mungkin didepan Ayah dan Ibuku seolah tak terjadi apa-apa.

"Malam Ayah, Ibu" ucapku seriang mungkin sembari duduk dikursi sebelah kiri Ayah.

"Malam Di... Sibuk tugas hem?"

Aku hanya mengangguk menanggapi pertanyaan Ayah, menatap Ibu yang dengan telaten memindahkan nasi dan lauk kepiring Ayah, juga piringku namun dengan porsi lebih kecil.

"Dimana Emil?" Tanyaku menatap kursi yang bias diduduki adik kecilku kosong.

"Dia sudah makan duluan, sekarang dia tidur" aku mengangguk, lantas menyendokkan sesuap nasi yang langsung kukunyah.

"Bagaimana hubunganmu dengan Zio? Sepertinya kalian sering bertemu sekarang" pertanyaan tiba-tiba Ayah hampir membuatku tersedak. Topik sensitif untukku akhir-akhir ini.

Aku bergumam, meminum air putih sedikit lalu menoleh pada Ayah yang sudah sibuk dengan makan malamnya. "Hmm. Sedikit" ujarku tak yakin. Jujur saja, tak ada perkembangan dalam hubungan kami, hanya saling bertemu tanpa membicarakanbanyak hal selain basa-basi, seperti sudah makan? Sedang dimana? Atau jangan lupa istirahat. Dan menurutku itu sangat datar.

Ayah mengernyit, begitupun Ibu yang duduk didepanku menatapku penuh rasa penasaran. "Sedikit? Kalian bahkan sudah bertunangan selama 2 minggu. Apa tak ada kemajuan? Katakan kalau memang ada sesuatu Diaz, sejak awal pun kami tidka memaksamu, Nak"

Mendengar ucapan lembut Ibu membuatku tak kuasa untuk membohongi dirriku lagi, terlebih melihat anggukan Ayah. Pria yang sedari aku kecil selalu memberikan perhatiannya, lebih dari apapun.

Usapan lembut dikepalaku membuatku menatap Ayah dengan mata berkaca-kaca. Sungguh, aku ingin sekali jujur. Tapi, rasanya ini tak pentas kuucapkan saat ini.

"Ayah tahu. Kamu berat menerima perjodohan ini, Nak. Katakan saja, Ayah mengerti" tuturnya dengan senyuman lembut menenangkan. Aku paham, Ayah tak masalah dengan keputusanku.

Dengan segala keberanianku ku katakan semua keresahanku, segala uneg-uneg yang selama setahun terakhir menghantui pikiranku. Tak menutupi apapun karena aku yakin, mereka paham dan sangat mengerti tentangku.

Hujan Dan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang