11

0 0 0
                                    

Mataku terpaku, apa ini tamu yang dimaksud Ibu dan Ayah semalam. Tapi kenapa? Kurasa mereka sudah tahu siapa manusia didepanku ini. Manusia yang berusaha kujauhi, Arka atau Gio adik kembar Zio.

Bukankan harusnya Ayah dan Ibu tahu, kalau dia anak Pak Hutomo. Tapi, kenapa setelah putusnya pertunangan itu dia harus muncul disini. Sebagai tamu.. emm.. tepatnya sebagai temanku selama Ayah dan Ibu tidak disini.

Pupus sudah, apa yang aku lakukan agar jauh darinya malah berbanding balik dengan realita. Dia semakin dekat. Dan sekarang, kita harus berada dibawah atap yang sama. Selama sekian bulan atau tahun?!. Hufftt...

"Emm masuklah dan apa kamu yang Ibu maksud? Kalau iya kamarmu diatas, pintu sebelah kiri" ucapku berusaha senormal mungkin, sebenarnya degup jantungku sudah tak bisa ditoleransi. Rasaku padanya entah semakin dalam. Aku kalah dengan perasaanku. Ya, Kalah.

Dia mengulas senyum, tangannya terangkat mengelus pipiku dengan lembut tanpa sungkan dikecupnya keningku lama. Debaran jantungku makin menggila, sungguh kenapa dia harus seperti ini.

"I miss you" bisiknya membuatku merinding.

Aku melangkah mundur dan berbalik membiarkannya berjalan dibelakangku. "kamu.. sudah sarapan?" Aku bertanya dengan gugup. Entah, efek kecupannya sangat dasyat. Sial!

Dia menggeleng, "belum sempat" aku mengangguk dan berjalan menuju dapur. Sedangkan dia mungkin menuju kamarnya. Kuputuskan membuat menu sederhana, nasi goreng mungkin cocok untuk pagi ini.

Segera kulakukan apapun yang butuh. Memotong sosis dan bakso, menghaluskan bumbu dan mulai memasak menu pagi ini.

Tak butuh waktu lama, nasi goreng sudah kusajikan dalam 2 piring diatas meja makan, bersamaan dengan Arka yang turun dari lantai 2.

Aku mengisyaratkannya agar duduk dikursi yang biasa dipakai Ayah. Kami makan dengan hening, tapi dapat kurasakan tatapannya yang sekali-kali mengarah padaku.

Aku mencoba setenang mungkin, meski sebenarnya ingin sekali aku balik menatapnya. Tapi, ingat Diaz, kamu tidak boleh terlalu berharap padanya okay. Apa kata Zio dan orangtua mereka nanti?..

Setelah sarapanku habis aku segera mencucinya diwastafel. Tak lama Arka menyusul dan berdiri disampingku, tepat menghadap kearahku lurus. Kuambil alih puringnya, tanpa suara aku mencuci piring itu dengan tekun, tak ingin ada noda yang tertinggal.

"Apa pilihanmu sudah tepat, Di?"

Gerakan tanganku terhenti. Detik berikutnya aku segera membilas tanganku, menatap kearahnya yang kini tengah menatapku intens.

"Mungkin" sahutku ragu. Kualihkan tatapanku kembali membilas piring dan sendok, menaruhnya dirak lalu melenggang pergi mengambil air putih didispenser.

"Maaf" gerakan gelas dibibirku terhenti sesaat, usai menelan air itu aku kembali meletakkan gelas diatas meja, berbalik kearahnya yang berdiri didepanku dengan kepala menunduk, yah kuakui memang aku tidak tinggi.

"Kenapa?"

Dia menghela nafas, tangannya terangkat meraih sebelah pipiku mengelusnya lembut tanpa kutolak. Aku masih menatap mata itu, mata yang masih menatapku seperti setahun silam. "Apa gara-gara aku kamu mengakhiri semuanya. Karena aku adik Zio?"

Aku menggeleng, menangkap tanganya dipipiku menurunkannya. Aku menatap tangan itu, bekas garis melintang itu masih disana, seperti tato. "Bukan. Tapi, karena... nggak cocok mungkin" aku mengangkat wajah menatapnya yang masih menatapku dalam. "Tuhan terlalu sayang hambanya Ar. Dia mungkin nggak mau kita berdekatan, tapi dengan status lain. Kita emang nggak bisa--"

"Siapa bilang?" Potongnya kembali menangkup pipiku. "Kalau kita jodoh. Mungkin sejauh apapun kita menghindar, kita bakal dipertemukan kembali. Seperti saat ini"

Aku menggeleng, "semudah itu?" Dia mengangguk lalu menggeleng.

"Nggak ada yang tahu. Kalau ada kesempatan, apa boleh aku... mencintai kamu, lagi?" Tatapan itu seperti permohonan. Seperti saat terakhir sebelum dia menghilang waktu itu.

"Apa rasa itu pernah habis Ar?... Kenapa? Apa cinta itu pernah habis, pernah hilang, sampai kamu mau mengulang lagi?" Aku tak habis pikir dengan diriku sendiri. Ini, tidak seperti yang seharusnya.

Dia menggeleng cepat. "Tidak pernah. Tidak akan pernah. Aku hanya ingin memastikannya"

"Karena, meski nggak ada kesempatan. Kamu tetap boleh memiliki itu, meski kita nggak jodoh" ucapku melirih. Dia mengusap lembut pipiku, entah kapan cairan bening itu jatuh aku tak sadar.

"Jangan menangisi yang tak perlu Di. Karena, sekarang aku yang akan berjuang. Bukan hanya waktu, tapi segalanya. Aku ingin memperbaiki, memulai dari awal" ucapnya dengan senyum tipis.

"Tap--"

"Jangan memikirkan apapun. Bukankah sudah cukup kamu tersakiti selama ini? Aku mungkin tidak pernah tahu, tapi aku melihat dari tatapan matamu" tegasnya, kini dia memelukku, membenamkan wajahku didadanya. Seperti yang kuharapkan selama ini. Arkaku.

***

Hujan turun lagi, aku menghela nafas. Baru pukul 1 siang memang, tapi sepertinya akan lama reda. Meski ada mobil, tapi aku malas menyetir saat hujan seperti ini. Akan macet dan bisa saja licin.

Aku menoleh kesamping, tepatnya sofa didepan TV. Arka sedang asik dengan laptopnya disana sedangkan aku duduk dikursi depan jendela. Menatap hujan sesekali mengambar pola abstrak dipermukaan kaca. Seperti tidak ada pekerjaan saja.

Kulirik lagi Arka disana. Dia sedang mengerjakan tugas yang entah apa, aku juga tidak tahu. Mendenggus aku menatap keluar lagi. Hujan sepertinya akan awet. Dan terpaksa aku harus memakai payung nanti.

Tepukan ringan diujung kepalaku sedikit membuatku terkejut. Aku sedikit mendongak, ada Arka disana menatap keluar jendela, tak lama menoleh padaku. "Tidak dingin?" Aku menggeleng, kembali mengalihkan perhatian.

"Kamu kenal Ayah?" Aku coba memberanikan bertanya.

"Ya.. lumayan" jawabnya sembari menurunkan tangannya. "Tidak kuliah?" Tanyanya.

"Nanti. Kamu sendiri?"

"Kosong. Mau kuantar" aku dengan cepat menggeleng. "Nggak usah. Aku mau jalan aja. Pake payung" tolakku halus.

"Dingin Di. Aku anter nanti"

Aku hanya mendenggus. Keras kepala ternyata. "Jangan keras kepala. Kamu bisa sakit kalau cuma bawa payung, nggak teduh juga" ucapnya mengelus pipiku lantas mengecupnya.

"Apa sih" ucapku menjauhkan tubuhku darinya. Enak saja main cium, padahal kita nggak punya hubungan apa-apa.

Dia hanya tertawa. Tawa itu, tawa yang pernah hilang dan baru kulihat lagi setelah setahun terakhir dia menghilang. "Masih sama. Mengemaskan" ucapnya terkekeh sembari mengacak rambutku.

"Jangan ih.. Arka" ucapku sebal saat dia membuat tatanan rambutku rusak. Dasar, dikira nyisir nggak sulit apa.

"Ayo" dia menarik tanganku.

"Kemana?"

"Kita makan dulu. Ada warung makan nggak jauh dari sini. Baru aku anter kekampus" ucapnya yang ku angguki.

"Ganti dulu" dia mengangguk. Sebelum aku sampai dikamar aku dapat mendengar seruannya. "Jangan lupa bawa jaket" dan aku tak bisa menahan senyumku. Serasa diperhatikan suami.

Hujan Dan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang