4

2 0 0
                                    

Janji.

Janji yg Ayah ucapkan entah kapan. Beliau bilang dulu sekali, saat aku masih kecil. Keluarga Hutomo berpesan agar menjagaku untuk mereka pinang saat dewasa. Aneh, yg lebih anehnya Ayah setuju2 saja. Yg kutahu, Ayah dan Pak Hutomo sudah berteman sedari bujangan. Usut punya usut, Pak Hutomo dulu tinggal dikota kecil tempatku tinggal dari kecil.

Dari itulah, aku bingung harus menanggapi bagaimana lamaran kali ini. Disatu sisi aku tak mengenal keluarga itu sama sekali, tapi disisi lain aku takut dan tak ingin mengecewakan Ayah kalau aku menolak lamaran ini. Jadi, dengan segala rapalan do'a2 kuputuskan menerima lamaran ini entak bagaimana resikonya nanti. Yg terpenting kebahagiaan orang tuaku bukan?...

Tapi, entah kenapa. Disatu sisi aku berharap seseorang membebaskanku dari lamaran ini. Tapi itu tak mungkin, karena mau bagaimanapun aku tak punya orang terdekat terutama cowok. Jadi, sudahlah. Mungkin memang jodohku ada ditangan Ayah dan Pak Hutomo.

Jantungku bertalu2, seolah ingin lepas dari rongga dadaku. Jujur aku gugup dan takut, bagaimana kalau putra Pak Hutomo sudah tua, dan menyeramkan. Lebih dari itu, acuhkan saja persepsi awal. Bagaimana kalau dia orang yg kasar dan tempramental. Ouch!! Mati muda aku mak!!

Dengan cepat aku melesat memasuki rumah saat taksi yg mengantarku sudah sampai didepan rumahku. Sekarang pukul 3 sore, masih cukup siang. Ayah bilang mereka akan datang malam ini pukul 7 malam. Bagiku itu sidah kesorean, tapi... Ayah tadi malah mengatakan kalau mereka datang lebih awal.. hufft mampus... mungkin sekitar habis maghrib dan itu nyatanya sekitar 3 jam lagi.

Rumahku tampak sepi saat aku masuk dalam rumah. Pasti Ibu didapur karena aku mencium bau2 panggangan roti. Ah.. bau ini, bolu tape kesukaanku. Mengacuhkan debaran jantungku, aku melangkah menuju dapur tempat aroma menguar itu berasal. Dan benar saja, Daebak!! Tebakanku tepat. Disana ibu sedang berkutat dengan baskom tepung dan alat perangnya yg lain dan tentu dengan satu loyang bolu tape yg sudah diangkat yg sekarang sangat menggoda mataku membuatku seperti ileran. Tahan Diaz tahan... kamu baru saja makan. Lagian lambungku mana muat kalau diisi lagi..

Tampak oven yg masih menyala dan aku yakin bolu lain ada disana. Aku mendekat dan mengendus aromanya, ah.. ini bronies coklat itu.. kufikir bolu... dan benar saja aku melihat baskon bekas wadah pencampuran bahan2 brownies itu.

"Kamu sudah pulang? Kog nggak salam?" Ternyata Ibu baru menyadari kehadiranku. Aku nyengir lalu mendekat pada ibuku lalu memberi kecupan singkat dipipi kanannya. Ibu geleng2 saja saat melihat kelakuanku yg memang sudah biasa mengecupi pipinya yg masih awet muda itu.

"Tadi udah salam didepan bu. Tapi nggak ada yg bales, ya Diaz kesini aja" ucapku tak berbohong. Karena jujur, saat aku mengucap salam tak ada sambutan jadilah sekarang aku disini.

"Ahh.. iya. Adikmu sedang tidur tadi. Kamu sana istirahat pasti cape' 'kan?" Ucap Ibuku. Wanita terhebat dihidupku ini memang paling ngerti dan perhatian deh. Jadi setelah pamit aku segera melesat kekamarku yg letaknya dilantai atas, bersebelahan dengan kamar adikku yg super imut.

Namanya Bemil Sagame Talungga, dia biasa dipanggil Emil. Adikku ini cowok dan tentunya menggemaskan. Dan keberuntungannya, dia tidak nakal.

Oh iya. Ibuku namanya.. Desi Arini, beliau sangat pandai memasak dan... bakat itu tentu menurun padaku.. hehe bangganya. Usia beliau sekitaran 45 tahun-an, beliau sangat cantik.. wanita tercantik dimataku. Beliau tak suka rambut panjang layaknya aku, jika aku sepunggung maka Ibu hanya sebatas bahu dan sedikit bergelombang sedangkan aku lurus. Ya, aku mirip Ayah, dari wajah bahkan rambut tapi aku tak tinggi2 amat dan mungkin itu yg mirip dari Ibu.. maaf Bu..

Sesampainya dikamarku yg tak luas2 amat itu, aku segera membersihkan tubuhku lalu istirahat disofa yg letaknya menghadap jendela kamar. Lantai 2 dirumahku tak didesain dengan balkon, hanya jendela langsung udara bebas.

Pikiranku kembali teringat perihal lamaran nanti malam.. bagaimana ini?.. apa aku harus menolak atau menerima. Tapi semua kembali ke Ayah dan Ibu. Pasti mereka akan kecewa kalau aku menolak lamaran ini tanpa sebab yg jelas.

"Isshhh.. gimana nih?" Monologku bingung. Aku harus mengambil keputusan yg tepat, tapi.. bagaimana... apa aku terima saja?.. tapi kalau dia orang yg keras atau kejem gitu gimana?..

Tarik nafas-buang--tarik nafas-buang. Ok. Aku sendiri kuncinya. Pasti aku bisa, yah.. aku bisa.

***

Benar benar. Tanganku sudah dipenuhi keringat. Tak lupa rasa gugup mendominas. Padahal mereka belum datang. Meski tinggal sejam atau setengah jam lagi. Jujur, aku takut menghadapi hal semacam ini.

Kakiku terus saja bergerak gelisah, mondar mandir sana sini. Aku sudah selesai dengan penampilan naturalku. Hanya dress merah jambu dan flatshoes dengan rambut yg kubiarkan tergerai serta make-up natural.. super natural.

"Isshh.. aku takut" monologku. "Orangnya gimana ya? Sifatnya gimana?"

Batinku terus menerka2 dengan jari telunjuk yg sudah kugigit2 sedari tadi. Ahh... dan saat seperti inipun aku masih diingatkan dengan Arka. Sedang apa dia? Dimana dia sekarang? Kabarnya bagaimana?...

Why?.. kenapa aku malah mikirin dia. Ya Ampun
.....

"Diaz. Sudah selesai? Calonmu sudah datang"

Dag-dug-dag-dig-dug..

Jantungku berdebar2. Rasa takut yg sempat hilang dengan berbondong2 datang lagi. Bagaimana ini?...

"Di.."

"I-iya Bu. Ini sudah"

Ceklek

Tampak wajah berseri2 Ibu saat kubuka pintu kamarku. Wanita awet muda ini malah membuatku semakin nervous saja. Merinding 'kan aku..

"Anak gadis Ibu cantiknya... ayo. Kamu sudah ditunggu" Ibu langsung saja mengandeng tanganku setelah kuangguki.

"Yg tenang. Rilex, Ibu dan Ayah tidak akan memaksa. Kamu bisa nentuin pilihan kamu sendiri... ya" ucap Ibu nyaris berbisik saat menuruni tangga.

Aku mengangguk. Bingung harus menanggapi bagaimana. "Iya Bu"

Sesampainya dilantai dasar, dengan jelas aku mendengar percakapan2 Ayah dengan tamu itu-- lebih tepaynya keluarga calonku.. hiiii.

"Nah.. itu dia putriku. Nak kesini" suara Ayah sungguh membuatku makin keringetan. Aku masih setia menunduk saat Ibu menuntunku kearah Ayah.

"Pak Hutomo. Ini Ergika Putriku. Dan Gika, angkat kepalamu. Kenalan dengan Pak Hutomo dan keluarganya"

Butuh seperkian detik untuk aku mengangkat kepalaku. Dan. Didepanku ke3 orang asing, pria paruh baya sedikit diatas Ayah, wanita paruh baya sedikit dibawah Ayah dan seorang pria muda mungkin diatasku beberapa tahun.

Aku mencium punggung tangan kedua paruh baya tersebut dan menyalami tangan pria muda itu. Barulah Ayah menyuruh kami duduk.

"Putrimu cantik sekali Pak Haris. Kenalkan Nah. Saya Hutomo, disamping saya ini istri saya Dewi. Dan ini, putra pertama keluarga kami.. nak kenalkan dirimu"

Pria itu mengangguk lalu tersenyum tipis. "Namaku Raka Verzio Hutomo. Kamu bisa memanggilku Zio" ucapnya dengan sopan.

Aku mengangguk dan tersenyum.

"Ahh.. putriku ini pemalu mbak mas. Jadi ya begitu. Dia sulit berinteraksi dengan orang baru" ucap Ibu sembari mengelus lenganku. Jujur saja, aku hanya bisa tersenyum kikuk.

"Tak apa Dek Desi. Itu wajar saja, dulu aku juga seperti itu saat baru bertemu mas Hutomo"

Aduh bude.... ini beda cerita. Mungkin bude gugup atau salting... lah aku'kan malu plus takut...

"Iya iya. Dulu istriku sangat pemalu, tapi yah.. semakin lama ya seperti ini.. enjoy enioy saja" sahut pak hutomo.

"Oh iya. Putra keduamu tidak ikut?" Tanya Ayah kemudian. Syukur, Ayahku baru saja menyelamatkanku dari ketidaknyamanan yg hakiki.

"Maaf sekali. Putraku yg satu itu sangat sibuk akhir2 ini. Biasa masalah kuliah. Dan hari ini dia ada reuni dengan teman SMAnya" jelas tante Dewi.

Ayah tampak manggut2 saja dan dilanjutkan obrolan2 ringan lainnya. Sebelum, sesi yg membuatku gila itu dimulai.

Ok... see you the RSJ Di...

Hujan Dan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang