8

1 0 0
                                    

Seminggu berlalu sejak kejadian dilapangan basket kampus, aku sebisa mungkin menghindari bertemu dengan Arka, ya Arka atau yg mereka kenal dengan Gio. Zio juga tak bertanya lebih lanjut tentang alasanku menaggis waktu itu. Dia tampak biasa,  hubunganku dengannya juga sedikit lebih berkembang, meski kadang dia membatalkan niat mengantarku pulang dengan alasan ada hal mendadak.

Aku tak protes, kalaupun dia punya pacar.. itu tandanya perjodohan ini batal.. bukannya senang, tapi entah kenapa aku berharap saja dia dapat jodoh yg tepat, dan aku rasa itu bukan aku.

Sekarang, jadwalku sudah dirombak. Jadwalku hari ini siang dan aku sudah datang 1 jam sebelum kelas dimulai. Alasannya, malas dirumah, boring, atau sok rajin. Sejauh ini aku hanya berteman dengan beberapa mahasiswi saja selain Hida, itupun karena tak sengaja satu meja dan berkenalan, tepatnya sok beramah tamah dan itu bukan aku banget.

"Ergika! Hey.. itu kamu."

Aku berbalik mendapati Hida yg menatapku aneh, "ya... kenapa?" Tanyaku mengernyitkan dahi.

Dia duduk disampingku tepat dibangku depan kelas lantai dasar. "Entah perasaaanku atau emang beneran, kamu akhir-akhir ini selalu ngindar kalau aku ajak kekantin.. kenapa sih? Nggak suka ya makan sama temen-temen kak Fadli?"

Aku menggeleng, "nggak kog Da. Seminggu ini nafsu makanku menurun jadi aku nggak ngantin, ngapain juga coba" ucapku sepenuhnya berbohong.. karena yg diucapkannya memang benar, aku merasa tak nyaman dengan hadirnya Arka.

"Kamu sakit? Udah periksa belum?"

"Cuma efek bulanan aja.. nggak usah panik gitu" ucapku mencoba tersenyum.

"Bener?" Aku mengangguk.

"Ya udah.. yuk ada yg mau ketemu sama kamu" dia tiba-tiba berdiri dan menarik tanganku.

"Kemana? Siapa?"

"Ada deh" dia menarikku seperti menarik hewan peliharaan, dia tampak terburu-buru sekali. Siapa yg sebenarnya mau bertemu denganku?.. ya tuhan..

"Siapa sih.. perasaan aku nggak kenal siapa-siapa selain kamu deh" ucapku disela lagkah.

"Oh ya.. kamu kenal dia kog. Jangan coba-coba bohongin aku" ucapnya tanpa menoleh dan terus menarikku entah kemana.

"Aku kenal?" Hida mengangguk tanpa bersuara. Dia mempercepat langkahnya saat kita di..

"Tunggu.. ngapain kesini?" Tanyaku bingung karena dia membawaku parkiran. "Parkiran? Kamu mau pulang?"

Hida menggeleng, "tenang deh Gi. Yg mau nemuin kamu disana" dia menunjuk kearah detetan mobil mahasiswa.

"Pliss bilang, dia siapa?" Tanyaku sdkali lagi.

"Dateng aja. Aku cuma nganter sampe sini Ok. Kamu bakal tahu kalau udah sampe sana.. deket mobil ke4 dari timur. Bye.." dia langsung pergi setelah melambai, meninggalkanku yg masih bingung menatap bergantian punggung Hida dan jajaran mobil tak jauh didepanku.

"Siapa sih.. bikin penasaran aja" ucapku bermonolog. Aku berjalan kederetan mobil ke4 dari timur seperti kata Hida. Agak heran juga kenapa harus diparkiran coba.. sebenarnya agak was-was takutnya orang jahat atau apa. Tapi siapa sih?..

Aku celingukan setibanya didekat mobil jazz merah itu. Tidak ada siapa-siapa.. tapi.. tepukan dibahuku membuatku menoleh dan mematung.

Jangan bilang ini yg dimaksud Hida. Aku mengenalnya? Ya. Tapi apa Hida tahu apa yg terjadi.

"Hy Di.. apa kabar?" Ucapnya sembari menatapku dengan.. yah lembut.

Mataku memanas, bibirku kelu, dia mengingatku, dia..

"Ar-ka?" Ucapku gagap.

"Gimana kabar kamu?" Tanyanya lagi.

Aku betusaha menelan salivaku meski rasanya tengorokanku kering.

"Lebih baik sebelum pindah kesini"

Dia tak menyahut tapi tangannya seolah bersuara, menepuk sekali kepalaku lalu mengusap rambutku lembut. Sama masih sama seperti setahun yg lalu.

"Maaf" ucapnya lirih.

"Nggak ada yg perlu dimaafin karena nggak ada kesalahan. Lagian, buat apa.. kamu nggak pernah ngelakuin apa-apa sampe aku harus nerima maaf kamu kan?"

Dia menarik tanganku lembut, sebelah tanganya menangkup pipiku sedikit menariknya dengan lembut sampai aku mendongak. Tatapan itu, tatapan yg dulu selalu membuatku memalingkan wajah, mungkin sekarang iya kalau dia tidak menahan wajahku.

"Jangan menghindar, meski sekarang sudah tidak sama seperti dulu.. setidaknya jangan pernah menjauh dariku Diaz" ucapnya masih menatapku lamat-lamat.

"Kenapa?"

"Aku nggak bisa Di. Maaf untuk setahun ini" ucapnya dengan elusan lembut dipipiku. "Maaf untuk semuanya. Maaf nggak bisa nepatin janji aku. Maaf karena--"

"Udah.. nggak ada Ar. Nggak ada salah kamu sama sekali nggak ada. Aku baik kog"

"Tapi enggak selama kamu disini" dia menyentuh jariku menatap lamat cincin perak itu.

"Aku bodoh Diaz. Bodoh. Bahakan sampai sekarang aku belum bisa mengatakan semuanya"

"Apa?" Tanyaku.

"Aku terlambat mengakuinya bahkan sampai kamu dimiliki saudaraku" ucapnya membuatku bingung.

"Apa maksudmu?"

"Raka Verzio Hutomo. Dia kembaranku"

Deg

"Ap-apa?.. jad-jadi.. sudah kuduga. Itu kamu" aku tersenyum miris.

"Semua sudah ditulis Arka. Maaf sudah banyak berharap padamu" aku memalingkan wajah, tak kuasa menatapnya. Luka itu kembali, setelah satu minggu aku berusaha menutupnya nyatanya serapat-rapatnya luka dibalutakan tetap terlihat, hanya karena pertemuan ini.

"Kamu menyerah Diaz?" lirihnya.

"Tidak Arka, aku tidak pernah lelah dengan semua ini.. hanya saja, sepertinya ini takdir yg sudah tuhan tetapkan.. maafkan aku" bulir itu berhasil jatuh tanpa persetujuanku. Sekarang aku terlihat lemah didepannya, didepan Arka.

"Jangan membuang air matamu untuk takdir ini Diaz. Tidak ada yg perlu dimaafkan, seperti katamu. Ini sudah kuasa tuhan. Aku yakin, tuhan akan menyatukan kita jika itu memang akhirnya. Jika kita memang berjodoh" tangan besar itu menghapus air mataku dengan lembut. Mungkinkan begini akhirnya. Dugaanku memang nyata, Arka adik Zio.. tunanganku.

"Berjanjilah Diaz, apapun yg terjadi. Jangan mencoba melawan takdir.. mungkin memang Zio takdir dan jodohmu. Tapi, dengarkan aku baik-baik.. aku akan tetap menyayangimu.. sama seperti dulu.. karena, disini tetap hanya kamu" ucapnya menyentuh dada kirinya.

Aku makin terisak, kenapa saat perasaanku terbalas justru takdir tak mengizinkan kita bersama.. aku ingin bersamanya, seperti dulu.. memenuhi kepalaku dengan memori kami sama seperti setahun yg lalu.

Aku tahu dia masih menatapku, dengan tatapan yg sama dengan setahun yg lalu. Tatapan yg kurindukan.. aku ingin melihatnya, tapi tak kuasa, rasa sakit itu terus menghujam jantungku.. aku tak bisa.

Rintik hujan seolah mengingatkan awal pertemuan kami waktu itu, sudah setahun lebih. Tapi aku ingat, dia pergi karena Arin.. sama seperti Zio, mereka dihianati. Tanpa Arka tahu mungkin selama ini Arin bermain dibelakangnya dengan Zio.. saudaranya.

Arka menarik tanganku lembut tanpa suara. Membawaku meneduh diteras ruang dekat parkiran mahasiswa.

Tidak. Aku tidak merasa dejavu.. kejadian ini berbeda, ini disengaja dan hujan ini lagi-lagi datang. Menjadi saksi seperti mengingatkan kami pada kenangan yg sudah berlalu setahun yg lalu. Bersama orang yg sama namun disituasi berbeda.

Aku sudah tak sendiri lagi. Ada Zio yg sudah mengikatku dalam sebuah pertunangan.

Hujan Dan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang