2

5 0 0
                                    

Aneh rasanya, wajah yg tadi beraut tak bersahabat itu kini tampak santai. Jika dilihat lamat2 dari wajahnya usia kami tampak tak jauh, mungkin. Kami duduk dipondok dipinggir lapangan. Ukurannya yg kecil mengharuskanku berduduk dengan sangat dekat dengannya.

"Siapa tadi namamu, Arka?" Tanyaku, karena jujur aku hampir lupa.

"Hmm. Kenapa, keren?" Ihh. PD sekali cowok ini. Padahal kukira dia cowok yg jutek tadi, ternyata tidak juga....

"Tidak. Aku sering mendengarnya" bantahku, saat aku meliriknya dia tampak tersenyum mengejek. Apa2an cowok ini. Padahal aku baru mengenalnya setengah jam yg lalu.

Aku mengabaikannya, memilih menatap hujan yg tak kunjung reda dengan kaki yg kuayunkan. Pasti hujannya awet, gawat kalau sampai gelap nanti.

"Kau asli warga sini?" Aku menoleh menatapmya yg juga menatapku. Aku mengangguk.

"Sepertinya kamu pendatang. Aku baru melihatmu" ucapku seolah nyambung dengan ucapannya.

"Tidak juga. Aku asli sini, baru sampai beberapa hari lalu"

"Sampai?" Aku mengernyitkan dahiku.

"Aku sekolah diluar kota, sejak SMP" aku mengangguk, pantas saja tak pernah melihatnya.

"Kau tau, bocah sekecil dirimu tidak pantas berusia 17 tahun" cibirnya lalu terkekeh. Aku menyengir kesal, enak saja mengataiku bocah sedari tadi.

"Terus saja mengejek" aku mendenggus sebal pada cowok asing disampingku ini.

"Tidak juga. Jarak usia kita cuma 2 tahun. Kalau kau ingin tau" ucapnya membuatku memutar bola mata.

"Ihh. Aku nggak tanya"

"Tapi pengen tau" tambahnya. Tatapan meledeknya tidak dapat disembunyikan, dan itu tambah memnyebalkan. Kenapa ada orang seperti dia? Aneh, padahal baru kenal.

"Mau tau, kenapa aku tiba2 balik kesini. Mungkin orang pikir aku sedang liburan semester atau mengunjungi keluarga. Tapi itu poin terakhir" ucapnya menatap lurus kedepan. aku menatapnya dengan sorot mata penasaran.

Dia menoleh kearahku lalu tersenyum tipis. Terlihat manis meskipun hanya tipis, sangat tipis.
"Mau mendengarkan ceritaku?" Tawarnya. Awalnya aku sedikit ragu, tapi aku akhirnya mengangguk mengiyakannya.

"Apa.. boleh?" Cicitku.

"Tentu" ucapnya kembali menoleh. "Sejak pertengahan kelas 12, tepatnya satu setengah tahun yg lalu. Aku memiliki kekasih, dia adik kelas setahun dibawahku. Namanya, Arin. Awalnya hubungan kita baik2 saja sampai 2 bulan terakhir dia tampak sedikit berubah. Kukira itu hal wajar, ternyata dia dekat dengan cowok lain dibelakangku. Kami putus seminggu yg lalu dan aku kabur kesini. Katakan kalau aku pengecut yg bisanya lari dari masalah, tapi itulah aku. Pengalaman patah hati pertama yg pernah aku alami dan rasakan. Sampai aku menemukan hujan hari ini dan bertemu denganmu"

Cerita yg cukup singkat, tapi aku merasa iba padanya. "Kamu pasti sangat mencintainya"

Dia menggeleng, "tidak juga. Sebenarnya aku ingin putus sedari setengah tahun lalu. Tapi dia selalu berhasil membujukku dan sekarang, begitulah" jawabnya.

Aku menggigit bibir bawahku, cerita sepertinya memang sering kudengar dari beberapa temanku. Tapi, terlihat sekali kalau dia kuat tak seperti orang2 lain. Tapi... apa harus dengan cara kabur?

"Kamu pasti bisa move on. Banyak orang dengan kriteria berbeda2, semua tidak sama dengannya bukan?" Entah setan dari mana, bibirku mengucapkan mata2 itu.

"Benar. Meskipun bocah ternyata kau paham begini juga ya?" Ucapnya dengan senyum mengejek.

"Kamu fikir hanya orang sepertimu yg paham begituan. Bahkan bocah SD jaman sekarang bisa lebih parah" bantahku.

"Oh ya?" Tanyanya dengan nada mengejek.

Aku berusaha tak menanggapi perkataannya. Padahal kupikir dia akan bersedih dengan ceritanya itu, tapi kenapa malah menyebalkan.

Dan kalian tahu, sejak saat itulah aku mulai sering bertemu dengannya. Tak jarang dia mengajariku basket dengan baik dan setahuku dia tidak ada teman lain. Aku sering melihatnya sendiri setiap bertemu, apa mungkin dia introvert? Tapi kurasa tidak. Mungkin saja dia memang belum mendapatkannya.

Yah, begitulah. Sampai hari itu, mungkin hari terakhir kalinya aku melihatnya. Hari dimana kami menghabiskan banyak waktu bersama dibawah hujan, dan untuk kesekian kalinya aku tak mendengarkan omongan ibu, nasehatnya... sampai2 aku berakhir demam. Ya, hari itu. Dia tampak lebih banyak senyum dari biasanya, berusaha tidak membuatku kesal dan sifat menyebalkannya hilang entah kemana.

Dibawah hujan dia membawaku berlari diatas rumput hijau mengelilingi lapangan basket, dia menarik tanganku lembut sampai kami kelelahan dan akhirnya berhenti ditengah lapangan. Dia menyentil dahiku sembari menunduk, menatapku yg jelas hanya sebahunya dengan senyum lebarnya. Saat itulah aku tahu, Arka benar2 tampan dan tentunya dia temanku.

Tapi siapa sangka, esok harinya aku tak melihat lagi cowok tinggi bermata coklat itu, dilapangan itu banyak cowok yg tanding basket dan aku tak menemukan cowok yg aku cari, bahkan hari2 selanjutnya. Apa aku sedih? Tentu iya. Apa lagi rasa kehilangan. Aku bagai pesawat yg jatuh tanpa sebab, aku lebih menjadi pendiam dan tak pernah absen untuk sekedar berkunjung atau lewat dilapangan itu. Rasanya ada bagian yg hilang, tapi apa? Aku tak merasa pernah sekehilangan ini.

Mungkinkah rasa nyaman yg diberikannya telah kuartikan lain?... sungguh ini menyiksa, dan kuharap aku segera melupakannya. Meski setiap tanggal aku bertemu dengannya atau saat hujan aku akan menghabiskan waktuku ditempat yg sama. Berharap dia datang dengan bola orange itu dan senyumnya.

Satu hal yg tak pernah aku duga. Jauh dilubuk hatiku perasaan itu timbul. Dan aku benci itu.

Hujan Dan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang