12

4 0 0
                                    

Kuputuskan malam ini menghubungi Ibu. Aku sebenarnya tak habis pikir. Apa yang dipikirkan Ibu sampai memberikanku teman pria dirumah. Ingat, cuma berdua. Tidak ada pembantu atau apa disini karena aku suka mrlakulan apapun sendiri. Tapi, teman. Boleh-boleh saja. Tapi kenapa harus pria dan itu Arka. Adik kembar mantan tunanganku.

"Ibu nggak takut Di diapa-apain? Dia itu cowok loh bu.." ucapku tanpa sadar merengek.

"Diapain emang? Dia baik kok. Keluarga pak Hutomo itu baik semua. Kalo dia ngapa-ngapain kamu tinggal dinikahin aja"

Aku tidak pernah mengira respon ibu bisa sesantai itu. Ya tuhan. Dinikahkan. Seolah Ibu tak keberatan putri satu-satunya ini dirusak oleh orang. Kenapa dengan Ibu.

"Ibu ih.. seriusan ini"

"Ibu juga serius. Nggak pa-pa kan? Lagian kamu udah kenal dia. Bukankah itu yang dulu kamu mau?"

"B--bu.."

"Ibu tahu, sayang. Ibu cuma pengen kamu tidak memaksa lagi. Kalau kamu memang masih ada rasa sama dia, kenapa enggak. Kalian bisa pendekatan. Itu kenapa Ibu milih dia jadi temen kamu daripada perempuan. Ibu percaya sama Gio"

Kuhela nafas pelan, mendesah gusar aku menyahuti. "Tapi Bu.. gimana keluarganya? Apa ini bener? Gimana juga sama tetangga. Di bisa difitnah Bu"

"Kamu tenang aja ya. Nggak bakal kok. Mungkin mereka fikir kalian udah nikah"

Dahiku berkerut? Menikah? Kurasa Ibu mulai menghalu. "Jangan aneh-aneh deh Bu"

"Ibu nggak aneh-aneh. Sudah. Ini sudah larut. Cepat tidur, besok kuliah"

Tut tut!

"Yah.." aku mendesah kesal. Apa maksud Ibu?...

Tok tok tok

"Di.. sudah tidur?"

Aku berlari membuka pintu. Tampak Arka disana dengan kaus lengan pendek dan celana pendek juga. "Kenapa?" Aku menyembulkan kepalaku disela pintu, menatapnya disana.

"Em.. mau pinjem Charger. Punyaku ketinggalan dirumah" ucapnya menggaruk pelipisnya.

Aku tertawa kecil. Dia terlihat lucu saat gugup seperti itu. "Ada, bentar ya" aku nyelonong masuk kedalam kamar. Mengambil charger diatas meja belajar.

"Ini pake aja dulu. Aku punya dua" ucapku menyongsongkan charger kearahnya. Dia menerimanya dengan anggukan. "Makasih"

Aku mengangguk. Saat hendak berbalik kembali masuk, lenganku ditahan. Dengan sekali tarikan tubuhku berbalik. Satu yang kusadari, sesuatu menyentuh kulit pipiku, bahkan nyaris menyentuh bibirku, sudah sedikit.

"Malam" ucapnya sebelum berlalu kembali kekamarnya.

Aku mengerjap, menyentuh pipi kiriku. Kecupan itu, ya tuhan. Hampir saja.

Dengan pikiran berkecamuk aku kembali kekamar, menutup pintu dengan keputus asaan. Bagaimana caranya aku menjauhinya jika sudah seperti ini.

***

Aku menguap untuk kesekian kalinya. Hida yang kebetulan duduk disebelahku menatapku dengan tatapan aneh. Sekarang kita ada dikantin.

"Kenapa? Insom ya? Matamu sampai merah gitu" ucapnya dengan kerutan didahinya.

Aku mengangguk lemas. Ya, Insom, bisa dibilang begitu. Gara-gara arka menciumku semalam aku susah tidur. Padahal hanya kecupan pipi. Ya tuhan. Efeknya sebesar ini.

"Habis ini masih ada kelas nggak?" Tanyanya kemudian sembari menyuapkan sesendok ketoprak kedalam mulutnya. Kufikir dia seperti anak kecil, makan belepotan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 08, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Hujan Dan CeritaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang