Prolog

4.1K 205 4
                                    

Dibaca dulu, kalau suka silahkan diberi Vote dan komentar ya hehehe.

Namaku Abelia Azizah, Adik dari Kak Boni yang selalu saja melarangku memakai celana. Huft, padahal teman-temanku terlihat trendy memakai celana dengan berbagai model. Bukan itu saja, aku pun dipaksa untuk mengenakan kerudung. Aku iri melihat teman-teman sebayaku mengepang rambutnya, mengucir dengan berbagai gaya.

Eh, tapi itu dulu semasa aku SMP. Semua berubah saat aku mulai masuk SMA. Ah, sebenarnya aku malas menceritakan kisah itu. Rasanya kepingan itu kembali terangkai dalam memoriku dan membuatku meringkuk takut.

Kala itu, aku pulang sore. Teman-temanku mengajakku untuk nongkrong di warnet, nonton video klip boyband Korea yang terkenal pada saat itu. Aku lupa waktu, baru ingat pulang ketika jarum pendek jam tepat diangka 6. Dengan was-was aku pulang, melewati jalan yang sepi. Sampai sebuah tangan menarikku, membawaku menyelinap di belakang dinding pinggir jalan.

Teriakan pun rasanya tak ada suara kala itu. Abang-abang bertato itu menjambak rambutku. Detik itu juga aku menyesal pulang tanpa mengenakan kerudung. Ya, aku memang sering melepas kerudung saat main bersama temanku meskipun masih memakai seragam sekolah berlengan panjang.

Rasanya duniaku gelap saat itu. Bayang-bayang wajah Kak Boni selalu terngiang. Aku tak tau apa reaksi Kak Boni melihatku begini. Kak Boni maafin Abel.

Sambil mencoba menggigit lengan kerempeng milik Abang preman itu, aku bersumpah dalam hati. Jika ada seseorang yang menolongku, aku akan memakai kerudungku sampai maut menjemput dan tak akan pernah kulepas. Aku akan menuruti semua perintah Tuhan.

"Heh, ngapain kamu Kohar?" Abang Preman yang mencekal lenganku langsung menoleh, aku pun juga.

"Nggak kapok kamu digebuk satu kampung, hah? Lepasin nggak? Noh, ada adzan bentar lagi rame orang. Digebukin lagi tau rasa kamu!"

Bagai petuah Sang Sepuh, ucapan bapak-bapak bersorban putih itu manjur. Abang Preman yang namanya Kohar itu langsung menghentakkan tanganku dan berlalu pergi sambil menggerutu. Aku langsung buru-buru mengambil kerudung di dalam tas sekolahku dan langsung memakainya.
"Makasih ya, Pak. Makasih banyak, Pak." Bapak itu hanya senyum dan mengangguk. Tanpa banyak mengulur waktu, aku langsung berlari untuk pulang.

Kak Boni tak pernah kuceritakan tentang itu. Aku malu.

Semenjak itu, aku tak pernah lagi melepas kerudungku di depan lelaki yang bukan mahramku. Bahkan, saat SMA aku menguatkan tekadku untuk mempelajari agamaku lebih dalam. Dan ya, sekarang aku bahagia dengan kehidupanku yang lebih damai dari sebelumnya.

Brakkk ...

Pikiranku buyar. Aku melotot melihat motor dengan bagian belakang yang sudah retak karena kuterjang. Huh, kenapa musti di saat aku buru-buru?

Yang punya motor itu langsung menepi, berhenti dan menatapku dibalik helm hitamnya. Aku meringis ngeri, takut bertemu dengan orang yang minim simpati. Bisa-bisa masalah ini melebar.

Aku mengangguki lambaian tangannya yang menyuruhku untuk ikut menepi. Dengan jantung yang berdegub, aku turun dari motorku dan mendekat. Lelaki itu melepas helm hitamnya, lalu merapikan rambutnya. Menyisir ke belakang dengan jemarinya. Bad boy, kesan pertama saat melihat lelaki itu.

"Mbak nggak bisa naik motor ya?" Aku mengernyit, "Bisa lah!"

"Kok nabrak motor saya? Udah tau di depan ada macet, motor saya berenti malah kamu tabrak gitu aja."

Aku meringis. Aku tau aku yang salah, eh lebih tepatnya ceroboh. Sibuk berkelana menyelami kisah masa lalu sampai lupa kalau aku sedang duduk di atas jok motor. "Eh, Maaf yah, Kak! Beneran. Aku lagi melamun tadi. Ini biar saya ganti rugi aja, Kak. Ayo ke bengkel! Atau Kakak ke bengkel sendiri, aku yang kasi uangnya."

"Saya nggak minta ganti rugi karena saya punya uang banyak. Saya Cuma mau kamu mengakui kesalahan, cukup. Yaudah, lanjut sana. Lain kali jangan melamun, bahaya. Situ ngerti, kan?" Busyet, sombong amat ini orang. Aku mengangguk, lalu kembali menaiki motorku. Sebelum aku menancap gas, aku melihat lelaki itu mengambil tas hitam yang ada di aspal. Dibukanya, lalu ia mendengus melihat lensa kameranya pecah. Duh, aku jadi ngerasa bersalah banget.

"Eh, Kak. Aku ganti deh itu kameranya. Jangan buat aku dihantui rasa bersalah," kataku. Dia menatapku sinis, "Nggak usah." Aku mendengus. Ia menancap gas begitu saja tanpa mempedulikan aku yang sedang mengajaknya bicara.

Motorku kembali melaju, membelah jalanan. Aku melirik jam di tanganku, ah telat sedikit. Aku harus bisa menghadiri resepsk pernikahan Aisyah, teman sepekerjaan denganku. Selain itu, aku juga hendak melihat bagaimana karyawanku menghandel tugas yang kuberikan di sana.

Aku memasuki gedung pernikahan Aisyah. Nuansanya lembut, pintar sekali dia memilih tema. Ah aku lupa, Aisyah adalah orang yang telaten dan serba rinci. Makanya, pernikahannya dibuat sedetail ini.

"Kak Abel!" Aku menoleh, perempuan centil sedang mengurus makanan menatapku dengan senyum sumringah. Aku mendekat, "Apa sih, Gigi? Gimana, nggak ada kekurangan?" Dia menggeleng. Aku langsung naik ke pelaminan, meyalami Aisyah yang tampak anggun dengan gaun biru elektriknya.

"Hwaa Aisyah, selamat ya. Semoga Samawa. Aamiin," kataku memeluk Aisyah. Lelaki di samping Aisyah, Bagas suaminya, tersenyum melirik tingkah kami yang sedang berpelukan manja.

"Cepet nyusul ya!"

"Wooooo. Aamiin aja deh," kataku sambil berlalu.

Aku berdiri di samping dekorasi dekat dengan prasmanan. Kuperhatikan seluruh dekorasi nuansa putih ini. Cantik. Jadi mikir, nanti acaraku seperti apa ya? Ah, terlalu jauh.

"Sorry telat," aku mendengar suara pria yang baru saja datang. Kutatap punggungnya, seperti tak asing. Aku mendekat, sepertinya dugaanku tak salah.

Belum sempat aku memanggil, ia mundur dua langkah dengan cepat sampai menubruk tubuhku. Ia menoleh, "Maaf. Eh? Ngapain kamu? Ngikutin saya? Saya bilang nggak usah diganti!"

Aku mengusap kakiku yang linu karena terjatuh. "Siapa juga yang ngikutin kamu? Saya tamu! Tapi saya mau ganti kamera kamu!"

Ia tersenyum miring, "Emang situ punya duit cukup buat ganti kamera mahal saya?"

"Ya setidaknya biar aku nggak dihantui rasa bersalah."

"Yaudah. Silahkan kamu kasih uang kamu ke orang di rumah saya. Nih," Dia memberiku kartu namanya lalu pergi tanpa pamit. Pertama kali aku bertemu dengan orang sesombong dan senyebelin dia.

Aku membaca kartu nama digenggamanku. Candra Aji Surya Bumi. Ck, dia fotografer ternyata. Dari kejadian hari ini, entah membawaku kemana. Mungkinkah membawaku ke masalah yang lebih besar?


Akan dilanjut jika kalian suka.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang