Part 23

1.3K 113 6
                                    

"Mas Aji mau kemana?"

Mas Aji menggulung lengan kemejanya sampai siku, lalu duduk di meja makan.

Kuambilkan nasi dan sayur capcay untuknya, juga tempe goreng tanpa tepung. Mas Aji mulai terbiasa sarapan tanpa serealnya itu. Kalau begini 'kan nggak seperti bayi besar.

"Mas ada pertemuan sama Bang Bakri, aktivis dakwah di bidang politik."

Wow!

"Mau bahas apa, Mas?"

"Bahas masalah di negeri ini. Gila nggak sih? Masa semakin banyak bendera pelangi yang berkibar!"

"Eljibiti?"

"Iya. Kemarin Mas lihat di jalan pada bawa bendera pelangi, bawa poster tulisan ngawur semua!"

Wajah Mas Aji kelihatan menggebu-gebu marahnya.

"Entah apa maksudnya mereka ini. Nggak ngeri adzab Allah!"

"Semoga ada titik keluarnya, Mas. Abel juga ngeri banget ada perempuan berhijab teriak dukung LGBT. Sedih rasanya."

Mas Aji meneguk air putih, lalu menatapku. "Itu tugasmu, Dek. Ladang syiar."

Aku mengangguk.

"Mas tau yang lagi booming di dunia per-Instagraman nggak?" Mas Aji tertawa, "Halah, stiker pelangi nggak jelas itu ya?" Aku mengangguk.

"Jangan pernah pakai!" Aku mengangguk lagi.

"Sekarang semua dikuasi."

"Aku awalnya ngira itu cuma stiker biasa," kataku. Mas Aji menarik tanganku, "Lebih baik kita nggak usah berkecimpung, ikut-ikutan tanpa tau asalnya. Kamu masih aktif di sosial media apa?"

Istri sendiri, masa nggak tau sih Mas?

"Makanya, Mas. Sesekali stalking dong akun istrinya!"

Mas Aji menyengir. "Nggak suka stalking, buang waktu." Jleb. Menusuk hati banget, tapi nggak seberapa sakit kok. Masih besaran rasa cintaku padanya.

"Mana akunmu? Biar Mas follow," Dia menarik Hp di sebelah piringnya, lalu menyodorkan padaku.

Aku mengetik user instagramku, "Nih, Mas yang pencet."

Dia menggeleng-geleng sambil tertawa, "Sayang, Sayang, kenapa harus Mas yang tekan?"

"Kalau aku yang pencet, artinya aku yang follow diriku sendiri. Nggak romantis."

Dia mengikis jarak, memiringkan wajahnya sampai dekat telinga. "Lihat saja Mas akan lebih romantis dari yang kamu bayangkan, Dek," bisiknya.

Huah!
Merinding, Cuy!

"Baru segitu aja udah merah muda pipinya, apa lagi lebih?"

Aku menyembunyikan grogiku. "Mas, udah ah itu dimakan sarapannya."

"Oh, iya. Istri Mas ngajakin ngobrol mulu!"

Dia langsung menyuap ke dalam mulutnya sendiri. Hening, hanya denting sendok yang menggema.

Selesai sarapan, seperti biasa aku mengantarnya sampai teras depan. Menitipkan kecupan sebelum berangkat, itulah kebiasaan baru Mas Aji. Meleleh nggak sih tiap pagi dapet kecupan manis di depan pintu? Setelahnya kulambaikan tangan, mataku menatap agar ia cepat pulang.

Baru ngerasain rasanya pengin banget di rumah aja sama Mas Aji. Nggak usah kerja, nggak usah kemana-mana, di rumah aja. Idih, egois banget dah!

Aku kembali masuk ke dalam rumah, membereskan apa-apa yang belum dibereskan. Mengelap kabinet dapur, mengelap pintu kulkas yang kusam, mengepel, menata rak piring, dan apapun itu agar aku tak suntuk. Kalau dulu aku sibuk datang ke rumah katering, tidak untuk sekarang. Mas Aji memberhentikanku dari dunia bisnis itu. Emmm, tidak sih. Cuma membatasi saja.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang