Part 1

1.8K 163 4
                                    

Selamat membaca. Jangan lupa vote kalau kalian suka dengan cerita ini ya:)))

.

Masih setia dengan motor kesayanganku, kuparkirkan di garasi rumah Kak Boni. Aku melangkah masuk rumah sambil menggemakan nyanyian yang liriknya pun ngawur. Baru satu langkah, Kak Boni menatapku dengan tatapan marah. Aku salah apa?

“Bisa nggak sih biasakan salam?” Aku menepuk jidatku. “Assalamualaikum Kak Boni ganteng!” Dia menyengir, “Waalaikumussalam Abel manja.”

Aku langsung menuju dapur, menuang air putih ke gelas kaca berukuran besar. Aku menegaknya, membasahi tenggorokanku yang sangat kering. Kubuka tudung di atas meja makan, mataku berbinar melihat bolu pandan di piring. Langsung kucomot tanpa permisi pada yang punya.

“Eh, aduh jangan yang itu kalau mau makan bolunya, Dek.” Mbak Diana, Istri Kak Boni langsung memindahkan piring bolu pandan di hadapanku. “Lah kenapa sih, Mbak?”

“Ini buat dianter ke Bu Haji, pesenan buat pengajian. Nih, makan yang ini yang irisannya nggak sebagus yang tadi,” jelasnya lalu menaruh piring berisi bolu pandan yang diiris secara asal di depanku. “Aduh, perasaan sama aja deh, Mbak.”

“Beda. Nih kan, bolunya bolong satu kamu ambil. Oh iya, itu makan ada Mie ayam dibeliin Kakakmu tadi.” Mbak Diana berlalu setelah memasukkan bolu pandan itu ke mika. Aku langsung menyantap mie ayam kesukaanku.

Selepas shalat isya, aku duduk di balkon kamarku. Kunikmati semilir angin malam yang terasa menusuk di tulang. Tapi dinginnya menjadi hangat ketika rasi bintang menghiasi langit. Sesekali ada kunang-kunang yang menjadi pelengkap malam ini.

Saat melihat tetangga yang baru saja pulang, aku teringat lelaki yang kutabrak tadi pagi. Namanya Candra, orangnya sombong tingkat tinggi. Tapi aku sudah bilang mau mengganti kamera yang lensanya pecah. Dengan terpaksa besok aku harus datang ke rumahnya dan segera menyelesaikan masalahku dengannya.

“Dek, udah malem masih di situ. Nanti kesambet!” Suara Kak Boni membawaku ke alam sadar. Aku langsung masuk, dan mendorong Kak Boni untuk keluar dari kamar tercintaku. “Udah gede sikap manjanya nggak ilang. Udah mau nikah padahal,” ejek Kak Boni. Aku melemparnya dengan bantalku. Bukannya marah, dia malah terbahak setelah menutup pintu kamarku.

***

“Ini benar rumahnya?” Aku bertanya pada diriku sendiri. Mataku memandang sekitar, rumah minimalis dengan aksen biru muda. Di halaman depan ada satu blok ditumbuhi rumput taman dan berbagai jenis bunga yang tak tau apa saja namanya. Rumah ini memang masih terawat, tapi pintu utamanya tertutup rapat seolah tak berpenghuni. Jendelanya pun sama, semua tertutup seperti tak ada kehidupan.

Aku melangkah ragu, mendekat pada pintu. Kuketuk sambil mengucap salam, sembari berharap agar segera dibuka oleh sang pemilik rumah. Hingga ketukan kedua, munculah perempuan yang penampilannya seperti pembantu rumah tangga. Aku tersenyum, “Maaf, benar ini rumah Candar Aji Surya Bumi?” Perempuan itu menatapku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Membuatku risih.

“Bu?” Aku menghentikan tatapan matanya yang menelitiku. “Eh? Eh, iya benar. Mbak siapa ya?”

“Aku Abelia, Bu. Cadra Aji ada?”

“Maaf, Mbak dia tidak ada di rumah.”

“Kalau keluarganya ada di rumah? Soalnya dia nitip pesan untuk memberikan ke orang yang ada di rumahnya.” Perempuan setengah tua itu menelitiku lagi. Ia menatapku seolah tak percaya dengan ucapanku.

“Kalau memang nggak bisa, aku pamit ya, Bu.”

“Eh jangan, Mbak. Biar saya bilang ke Nyonya dulu.” Aku mengangguk. Masih berdiri di depan rumah Candra Aji, rasa penasaran menguasai pikiranku.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang