Part 33

1K 97 3
                                    


Sampai aku diizinkan untuk pulang, Mas Aji belum ada kabar sama sekali. Menyebabkan anakku belum digelari nama. Aku ingin menepati janji, biar Mas Aji yang memberinya nama.

Umi dan Abi sudah mendesakku untuk memberi nama jagoan, tapi aku tetap ingin menunggu Mas Aji. Ketika ditanya kemana Mas Aji, mereka juga cuma bisa bungkam dan mengalihkan pembicaraan.

Mbak Diana dan Rasyid sering datang untuk menemaniku. Beda dengan Kak Boni yang hanya satu kali datang, itu saja ketika mengantarku pulang dari rumah sakit.

Aku nggak nafsu makan. Pikiranku penuh mempertanyakan dimana Mas Aji. Ponselnya aktif, tapi tak diangkat. Terakhir tadi malam, sore ini sudah nggak aktif.

Asiku tidak lancar. Aku kasihan dengan jagoan, tak sempurna menyesap asi dari tubuhku. Baik Mbak Diana atau Umi, selalu menyuruhku untuk makan yang bergizi, yang mampu memperbanyak asi. Tapi aku malas, semua makanan rasanya hambar.

"Kamu nggak boleh egois, anakmu butuh kamu," kata Umi waktu itu. Aku langsung menangis dan mencurahkan semua keluhanku.

Aku nggak bisa sendirian, butuh Mas Aji di sisiku. Tapi dia dimana? Aku seperti anak kecil yang dibodohi. "Aji lagi ada urusan, nggak bisa ditinggal." Aku bosan mendengar kalimat itu yang diulang-ulang oleh semuanya. Mbak Diana yang biasanya membelaku, ini juga ikut bilang begitu. "Sabar, Bel. Aji lagi ada hal yang nggak bisa diwakilkan. Doakan biar cepat selesai."

"Hal apa? Dari kemarin-kemarin ngomongnya ada kesibukan, ada hal penting, ada urusan yang nggak bisa ditinggal sebentar, sebenarnya kemana Mas Aji?"

Aku curiga, kalau Mas Aji nggak benaran kerja atau ada kesibukan. Kenapa musti saat-saat seperti ini? Di saat aku membutuhkannya, anaknya pun juga membutuhkannya. Dulu dia bilang akan selalu ada dan melindungi kami--aku dan anakku, tapi nyatanya dia menghilang. Parahnya lagi, semua menutupi kebenaran.

Malam hari, Kak Boni datang untuk menjemput Mbak Diana. Hari ini Mbak Diana lebih lama dari biasanya, mungkin khawatir denganku.

Kutodong Kak Aji, "Kak, dimana Mas Aji? Kakak pasti tau!"

Kak Boni malah mendekat ke jagoan yang kutidurkan di ranjang, "Hai jagoan. Ini Om, kamu sehat-sehat ya, Nak."

"Kak! Jawab Abel!"

Teriakanku berhasil membuat jagoanku menangis. Umi sibuk mendiamkan, sementara Kak Boni menenangkanku.

Umi melirikku, "Bel, jangan egois. Anakmu kasian."

Kenapa musti aku yang disalahkan? Padahal mereka yang membuatku begini. Tinggal kasih tau dimana Mas Aji, aku yakin diriku ini berhenti begini.

"Jangan banyak dipikirin, Bel. Kamu abis melahirkan, nggak boleh setres. Kasihan anakmu," bisik Kak Boni.

"Kakak nggak ngerti... Hiks... Abel tanya nggak ada yang mau jawab jujur. Semua kenapa sih?"

"Kakak jujur, Dek. Suamimu lagi ada urusan, nggak bisa ditinggal atau digantikan orang lain, dia lagi berjuang untuk kalian."

"Berjuang apa? Hah?"

Kak Boni terdiam. Membawaku duduk di tepi ranjang, lalu mengusap bahuku. "Doakan cepat selesai urusannya."

Aku terisak. Tak lagi kupeluk Kak Boni seperti dulu yang selalu menjadi sandaran ketika aku terluka. Dia sama, membuatku terluka. Semua sama! Kalimat dustanya semakin menyayat hatiku.

Aku menggendong jagoanku, kuraih dari gendongan Umi. Kucium gemas kening dan kedua pipinya. Melihat matanya yang berkedip, tangan yang lepas dari bedong, membuatku sedih. "Kasihan kamu, Nak belum melihat Papa."

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang