Part 2

1.6K 144 2
                                    

.

Tak ada suara yang mengiringi sarapan pagi. Hanya dentingan sendok yang sesekali bunyi akibat ulah kami. Setelah meneguk air putih untuk mengakhiri kegiatan sarapan, barulah muncul suara dari Kak Boni. Memang sudah menjadi tradisi dalam keluargaku begitu.

“Gimana katering?” tanyanya tanpa menatap ke arahku. Ia sibuk membuka toples makaroni dower.

“Lumayan, tiap hari naik.”

“Dijaga baik-baik. Dua tahun sudah Kakak lepas itu ke kamu, jangan sampe berenti. Inget, itu amanah dari Bapak dan Ibu dulu.”

“Kak, emang Bapak dan Ibu nitipin ke Kakak? Kan Kakak waktu itu masih kecil mana ngerti yang begitu?”

Dia menghela napas, lalu menghembuskan pelan. Tangannya berhenti mencaruk makaroni, lalu fokus menatapku. “Dititipin ke Buk Cilik, sih.” Aku mengangguk paham. Pikiranku melayang mengorek kisah bersama Buk Cilik, adik dari Bapak katanya. Dulu beliau yang sesekali menemani kami di rumah. Tapi mau memisahkan kami ketika aku beranjak SMA.

“Jadi kangen Buk Cilik, Kak.” Tangan Kak Boni terulur, mengelus puncak kepalaku dengan sayang. Mbak Diana pun ikut mengusap bahuku.

“Eh Dek, nanti mau ke Rumah Katering?” tanya Kak Diana. Aku mengangguk. “Sekarang kamu sibuk ngurusin katering, Mbak jadi kesepian hehehe.”

“Masa aku suruh di rumah terus? Nanti Bos Boni marah tau, Mbak Di. Ngeri aku,” kataku sambil bergidik. Tak lama, kepalaku ditoyor. Siapa lagi kalau bukan Kak Boni?

“Bel, kamu udah besar sekarang. Mulai sekarang Kakak sedikit ngasih kebebasan buat kamu, tapi jangan sampai kamu kelewat bebas. Kemaren Kakak dikasih tau tetangga, katanya kamu nabrak orang? Kok bisa?” Glek! Waduh gawat bakal diapakan aku ini?

“I.itu Cuma nabrak nggak sengaja. Dianya tuh berenti dadakan, jadinya ketabrak. Tapi nggak papa kok. Cuma Abel ganti kameranya yang pecah karena jatuh.”

“Udah diganti? Bagus! Harus tanggung jawab sama kesalahan. Kamu selamat kali ini, kalau sampai ada kejadian parah lagi Kakak bakal ambil motor kamu!”

“Iya-iya, janji ini yang pertama dan terakhir.”

“Pertama apanya, Bel? Ini mah udah kesekian kali kamu nabrak orang karena ngelamun,” kata Mbak Diana sambil terkekeh. Sementara Kak Boni menampakkan wajah sok marahnya padahal pengin ikutan ketawa.

“Assalamualaikum, aku berangkat ya Kakak ganteng dan Mbak cantik!”

***

Suara canda tawa mengisi ruangan ini. Ruangan yang penuh dengan bumbu-bumbu. Sementara di ruangan lainnya, sibuk membungkus nasi dengan iringan tawa ringan. Kaktus kecil yang sengaja ditaruh di rak dinding pun pasti merasakan kedamaian yang tercipta di tempat ini.

Wanita-wanita berseragam Rumah Katering itu menjalankan tugasnya dengan telaten. Sesekali memilih duduk untuk istirahat sejenak. Aku tersenyum melihatnya. Mereka begitu menghargai setiap pekerjaan. Mereka mengerjakan semuanya dengan hati, tak hanya mengharap upah semata.

Daripada berdiri diam memerhatikan mereka, lebih baik aku ikut membantu. Setidaknya meringankan pekerja yang sedang memberi label pada kotak nasi ini. Mau membantu membuat bumbu, takut rasanya hancur. Aku sadar tanganku ini tak pandai untuk itu.

“Mbak Abel, ini tuh ada pesenan 150 kotak paket lengkap.”

Aku menoleh pada Luluk, “Oh bagus dong. Terus ngapa memangnya?”

“Itu, orangnya minta Mbak Abel yang nganter.”

“Akal-akalan kamu aja ya?” tebakku sambil tertawa bercanda.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang