Part 14

1.1K 114 2
                                    

Dari tadi aku sibuk mengamati gelagat Mbak Diana, juga Mas Aji. Tapi nyatanya, hampir setengah jam aku tak menangkap sesuatu dari mereka. Misal, lirikan manja, senyum genit, atau sejenisnya. Yang ada malah mataku ini melihat Mbak Diana menyender manja pada bahu Kak Boni.

“Umi seneng kayak gini, rame rumah. Berasa punya tiga anak,” celetuk Umi. Aku yang sedang mengunyah pisang goreng hanya melempar senyum.
Tadi malam Umi menelepon, meminta agar kami berkunjung ke rumahnya. Bukan hanya aku dan Mas Aji, tapi Kak Boni dan Mbak Diana. Semenjak penyatuan dua keluarga, Umi memang tampak sayang juga pada Kak Boni dan Mbak Diana.
Kak Boni orangnya suka berkunjung, bersilaturahim katanya. Cocok dengan Mbak Diana yang gampang berbaur dengan orang, makanya dia juga suka diajak berkunjung ke manapun. Namanya juga jodoh, kan?

“Liat itu Boni bentar lagi jadi bapak,” kata Umi saat matanya melirik Mbak Diana yang mengelus perut buncit usia lima bulan itu. Lalu matanya beralih ke Mas Aji, “Kamu kapan, Ji?” yang ditanya diam dan tenang seraya meneguk air. Kukira dia bakal meenyemburkan airnya saat Umi menanyakan hal ini.

“Nggak semudah itu, Mi.” Enteng sekali jawabannya, lancar tanpa hambatan. Sontak kami semua menatapnya.

“Ya usaha lah, Ji. Lucu juga kan Umi punya dua cucu bayi gemas banget. Uhhh,” Umi meremas jarinya. Matanya menyipit karena tertawa.

“Yaudah sih, Mi. Nanti ada saatnya.”

“Iya deh, Umi nurut. Umi juga terima apa yang diberi Allah. Mau dikasih cepat, alhamdulillah. Kalau belum, ya jangan putus doa.” Barulah Kak Boni dan Mbak Diana ikut mengangguki yang sebelumnya hanya diam tak menimpali apa pun.

“Tapi tuh, anak-anak SMA yang pacarannya nyeleweng, langsung aja bunting. Yang udah nikah, kalau belum rejekinya mah susah bunting,” celetuk Umi tanpa rasa bersalah.

Mbak Diana melahap pisang goreng yang tinggal sesuapan lalu tersenyum, “Umi, itu memang begitu. Bahkan gadis yang hamil di luar nikah itu perutnya kecil, ketutupan gitu kalau dia lagi hamil. Terus begitu pas udah dinikahin, langsung melending.”

Aku maanggut-manggut, “Iya, Umi. Saat melahirkan juga mereka nggak merasakan sakit. Malah ada kan berita siswi yang lahiran di toilet. Kelihatannya gampang banget, beda sama yang hamil setelah nikah, sakit katanya,” aku agak ragu mengucap kata terakhir. Pasalnya aku belum pernah merasakan melahirkan, jadi tak tahu sakitnya seberapa. Katanya sih, sakit.

“Hayo ngapa coba bisa gitu?” Kini giliran Kak Boni yang bertanya, matanya menatapku. Ah, dia melayangkan pertanyaan itu ke aku rupanya.

“Sepengetahuan Abel, dulu pernah bahas materi ini sama Mbak Diana juga hihi. Mereka yang hamil di luar nikah, hasil zina, itu dicabut keistimewaannya sebagai wanita. Wanita itu istimewa sekali, sangat-sangat istimewa. Rasa sakit selama mengandung sampai melahirkan, bahkan menyusui dan mengurus anak, itu pahala. Setiap rintihan saat melahirkan, itu terhitung pahala. Bisa dibilang, yang hamil karena zina itu nggak mendapat pahala dari rintihan saat melahirkan. Itu yang  aku dapat dari Ustadzah Diana,” kataku lalu melirik Mbak Diana yang senyum-senyum itu.

Umi menggeser duduknya, mepet sekali denganku. Awalnya aku bingung kenapa makin mepet, ternyata tangannya menyentuh pundakku. “Semoga kamu cepat merasakan keistimewaan wanita yang kamu bilang tadi, Nak.” Rasanya perutku geli, desiran aneh. Kulirik Mas Aji, tampangnya masih datar. Dia mah selalu begitu.

“Diana ngidam apa selama ini?” layang Umi pada Mbak Diana. Aku sempat melihat Mbak Diana yang menggaruk kepala. “Ih Mbak Diana mah aneh-aneh, Umi. Dia pernah tuh ngidam muterin komplek!” Sengaja aku mengejek Mbak Diana kali ini. Mbak Diana merengut lalu kembali tersenyum sambil melirikku. Lirikannya itu seperti sedang mengancamku.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang