Part 10

1.2K 116 0
                                    

Sepertinya takdirku memang seperti ini. Harus ikhlas menikah dengan lelaki yang masih mencintai wanita lain meskipun wanita itu sudah beda alam dengannya. Seminggu setelah tak ada pembahasan, tiba-tiba Umi memberiku undangan yang akan di sebar. Rasanya hidupku seperti diatur oleh orang lain.

Seminggu yang tenang bagiku itu ternyata digunakan Kak Aji  dan Umi untuk mengurus pernikahan kami dari sewa gedung dan lainnya. Aku Cuma menerima, tak diberi kesempatan untuk ikut andil.

Kak Boni sibuk menyalin daftar nama tamu undangan yang akan diserahkan ke Aji. Delapan ratus lima puluh nama. Perpaduan antara undangan dari pihakku dan dari pihak Kak Aji.

“Kamu yakin Cuma ngundang teman-teman SMAmu? Teman SD, SMP, TK, Paud, teman kenal di jalan, kenal di bus, nggak mau diundang?” berondong Umi. Haduh, semakin membuatku malas untuk membahas ini.

Lebay, Umi. Tamunya Kak Boni aja banyak, dari rekan-rekan Ayah dan Ibu juga banyak. Kak Boni mengundang mereka semua.”

“Dari sekian banyak tamu undangan, Abinya Aji tak ada di daftar,” Suara Umi melemah kali ini. Aku yang duduk lesehan di ruang keluarga, mengusap bahunya.

“Umi nggak tau Abinya Aji di mana. Jadi ya nggak bisa ngundang,” lanjutnya. “Sebenarnya Umi pengen ngundang, biar dia liat moment anaknya menikah. Sedih banget di hari pernikahan yang sekali seumur hidup, malah nggak dihadiri Abinya.”

Tanganku yang sedang mengelus lembut Umi langsung berhenti, “Pernikahan sekali seumur hidup?”

Umi meletakkan daftar nama undangan, lalu memasukkannya di tote bag. Tangannya kini berpindah memasukkan foto keluarga di bingkai yang lebih bagus dari sebelumnya. Dari pertama aku datang, Umi memang sedang sibuk mengganti bingkai foto miliknya yang sudah tak bagus dipandang. “Yaiya, pertama kali bagi kalian, kan? Orang sama-sama lajang, ya berarti pernikahan pertama.”

“Loh bukannya Kak Aji seorang—duda?”

Umi langsung memfokuskan pandangannya ke arahku. Bingkai foto di tangannya sudah ia letakkan di sampingnya, “Duda? Ya Allah Gusti Aji duda darimana?” Umi sedikit terkekeh.

“Tapi katanya, udah pernah menikah.”

“Ya Allah eta si Aji kebangetan. Jadi kamu belum tau?” Aku menggeleng.

“Aji belum cerita ke kamu?”

“Dia bilang pernah menikah dan masih mencintai mendiang istrinya.” 

Ampun Gusti Nu Agung. Aji belum pernah menikah, hanya ‘hampir’ menikah.” Umi sengaja menekan pada kata ‘hampir’ agar aku paham. Aku seperti orang linglung sekarang. Siapa yang bohong di sini? Tapi ucapan Aji kala itu serius sekali sepertinya.

“Demi Allah, Aji masih lajang. Dia belum pernah menikah. Dulu dia hampir menikah, tapi gagal karena calon istrinya meninggal sehari sebelum pernikahan. Karena itu pula dia sampai sekarang takut untuk memulai pernikahan.”

Aku hanya diam. Lebih baik aku membantu Umi membereskan plastik undangan yang masih tercecer belum sempat ditata karena Umi masih sibuk mengganti bingkai. “Kalau kalian sudah menikah, Umi nggak akan maksa kalian untuk tinggal sama Umi, kok. Yang penting jangan lupa buat main ke rumah ini, Umi senang.”

“Abel terserah gimana Mas Aji aja,” kataku. Umi menatapku dengan tatapan jahil, senyumnya mengisyaratkan sedang menggodaku.

“Jadi manggilnya udah ‘Mas’ ya sekarang?”

Eh? Aku nggak berniat. Duh, jadi malu kalau begini. “Eh, nggak Umi. Cuma nggak sengaja aja hehe.”

***

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang