Part 20

1.3K 111 2
                                    

"Aji waktu remaja sudah jatuh cinta padamu, Nak. Kamu gadis yang memberinya sapu tangan yang sampai sekarang ia gunakan untuk menyeka air matanya."

"Bukan, saya nggak memberikan sapu tangan itu. Bahkan saya kehilangan," ralatku.

Lelaki yang rambutnya mulai tumbuh uban itu tersenyum, "Intinya dia mencintaimu. Karena itu, aku, Afifah, dan Ningsih--Bu Cilikmu, membuat kesepakatan. Saya ingin putraku bahagia, dengan menikahimu."

Aku memejamkan mata, menahan sesak saat menghadapi kenyataan. Sore ini luar biasa membuatku gerah. Gerah hati, mungkin.

"Ini bukan soal kamu jadi penebus kesalahan, bukan. Sama sekali nggak ada sangkut paut dengan masalah kami. Kami cuma ingin yang terbaik untuk Aji."

Terbaik untuk Mas Aji? Dan buruk untukku? Hhhhhh.

"Saya sadar betul belum bisa menjadi Abi yang baik untuk Aji. Harapan saya, dengan menikahkan kalian, Aji dapat kembali ceria."

Lantas, apa sekarang Mas Aji bahagia denganku?

"Ini semua hanya soal waktu. Aji masih terlalu mengedepankan obsesinya pada Diana sampai lupa kalau dia sudah mendapatkan wanita impiannya saat remaja dulu."

Aku? Impiannya?

"Sejak kejadian di bus itu, Aji diam-diam selalu memandangi sapu tanganmu," timpal Umi.

Kalau memang benar, kenapa aku malah dibuat sakit hati?

"Soal Diana, mungkin dia hanya pelipur lara Aji. Yang pada kenyataannya, kamulah takdir yang diberi Allah untuk Aji," Lanjut Umi.

Aku menyeka air mataku yang jatuh tanpa komando. "Kalau memang benar ceritanya, kenapa Mas Aji selalu membuatku sakit hati?"

Om Surya mendekat, duduk di depanku. Meja ruang tamu menjadi pembatas antata aku dan dia. Dua gelas teh manis seolah tak bertuan, tak berkurang sama sekali. Teh manis yang dibuat Umi untuk menyambut tamu--Aku dan Om Surya.

Aku mengikuti perintah Kak Boni untuk datang ke rumah Umi. Ternyata, lelaki yang berstatus Bapak Mertuaku sudah ada di sini, bercerita panjang lebar tentang pernikahanku.

"Abi sudah bilang, semua butuh waktu. Kepergian Diana terlalu membuatnya syok. Apalagi, status mereka dulu adalah calon suami istri."

Lah, mendengar kalimat ini yang ada aku nambah galau. Diana  ... Siapapun kamu, kenapa kamu berhasil membuatku cemburu?

"Abi mohon, jangan tinggalkan Aji. Abi berharap padamu untuk menuntun Aji, kembali ke jalan yang benar."

"Maaf, Om. Abel nggak bisa janji. Abel perempuan biasa, punya hati yang lemah, Abel belum tentu bisa setabah Umi," Aku melirik Umi, "Tetap sabar menjalani semuanya, ikhlas lapang dada menghadapi kenyataan harus ditinggal pergi." Kulihat Om Surya sedikit kikuk mendengar kalimat sindiranku.

"Sekarang, kamu sudah tau kebenarannya. Saya pamit, titip Aji. Jangan biarkan Aji melakukan kesalahan seperti yang saya lakukan di masa lalu," kata Om Surya lalu keluar dari rumah Umi.

Aku memandang kosong ke depan. Pikiranku terlalu penuh, memikirkan nasibku yang mungkin sebentar lagi akan berganti status menjadi janda kembang.

Hehehe. Begini banget ya nasibku? Menikah dengan lelaki yang masih mencintai wanita lain, selalu disakiti, tapi ketika memilih menyerah, semua menyudutkanku.

"Abel, Umi tau kamu banyak sakit hati karena sikap Aji," Umi menggenggam tanganku. Plis, Umi. Aku ingin Mas Aji yang melakukan ini.

"Dijalani dulu, Bel. Perlahan, Aji akan sadar kalau kamu yang ia cari."

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang