Part 16

1.1K 104 1
                                    

Selalu kudengar tangisan lelaki tengah malam begini. Darimana lagi kalau bukan ruang kerja Mas Aji? Aku melepas mukena, lalu berjingkat ke ruang kerja di dekat lorong antara ruang tamu dan ruang keluarga.

Diana. Lihat aku sekarang hancur! Bawa aku pergi. Sampai detik ini kamu nggak pernah pergi dari mimpiku. Mau kamu apa? Bahkan aku jadi bodoh karenamu.”

Kutempelkan telingaku di daun pintu cokelat ini, mencoba menyerap suara Mas Aji yang tengah terisak itu. Aku menarik sudut bibirku, tersenyum meremehkan. “Ck! Badan aja boleh oke, tapi cengeng!” umpatku.

Aku seperti suami terjahat. Sampai sekarang tak kuberi nafkah untuk dia.”

Aku tahu. Yang dimaksud ‘dia’ adalah diriku. Nafkah? Ngapain nyinggung nafkah? Bukannya selama aku bergelar istri di kartu keluarga, dia rutin memberiku uang ya?

Karena luka masa laluku, aku malah membuat luka di hatinya.”

Nah! Dia sadar!

Tolong jangan hadir di mimpiku. Ini bukan mauku mengkhianatimu. Pernikahan ini ada karena kesalahan.”

Kesalahan? Dia pikir siapa yang salah di sini? Dia punya peluang besar untuk menolak, tapi kenapa malah menerima?

Kalau bukan karena perempuan sial yang masuk ke dalam keluargaku, ini nggak akan terjadi! Gara-gara perempuan itu, Umi terpengaruh oleh perjanjian jahanam itu.

Aku terus menempelkan telingaku. Sepertinya ini sangat menarik, meski ada yang perih di hatiku.

Dengan gampangnya mereka menikahkanku dengan dia. Mereka pikir ini cukup untuk mengganti lukaku? Ck! Aku seperti menikah dengan perempuan yang digadaikan saja.”

Hah? Apa maksudnya? Tanganku gatal sekali ingin mendorong keras pintu ini. Kalau dikunci, ingin kutendang kuat-kuat sekarang juga!

Memang pantas ya pernikahan terjadi karena untuk menebus kesalahan? Kesalahan perempuan sial itu, sampai mengorbankan dia. Bukan menebus kesalahan, yang ada menambah kerumitan hidupku.

memangnya dengan menikahinya, rasa bersalah perempuan perebut itu tuntas? Kenapa juga Umi mesti setuju!”

Apa hubungannya aku dengan menebus kesalahan? Ya Allah, gusti nu Agung, pengin dobrak ini pintu.

Perempuan perebut itu mengira jika dia menikahkanku dengan Abel, aku akan sembuh. Semua luka akan sembuh dan benciku meluap. “

Kamu tahu kan, sapu tangan itu? Dulu aku memang pernah meminta pada Umi untuk dicarikan pemiliknya. Apa karena itu, perempuan berebut itu menjanjikan pernikahan untukku? Mentang-mentang dulu aku menginginkan pemilik sapu tangan itu, dia sok menebus kesalahan dengan memenuhi keinginanku? Hah! Salah besar! Aku hanya ingin kamu, Diana.

Sapu tangan? Ya Allah, aku sampai lupa. Sapu tangan itu milikku, sampai kapan pun akan tetap milikku. Siapa dia berani mengambil benda itu? Ah, kalau ingat itu rasanya ingin menangis. Ibu ... aku akan mengambilnya.

Abel malang, menjadi penebus kesalahan perempuan perebut itu.”

Aku penebus? Aku digadaikan? Bu Cilik benaran melakukan itu?

Brak!

Awalnya aku ingin menendang kuat pintu itu agar yang di dalam sana berhenti meracau tak jelas. Naasnya pintu tak terkunci. Mata merah itu menatapku tajam sekali. Aku berdiri di ambang pintu, seolah diriku ini maling yang sedang tertangkap basah oleh tuan rumah.

“Permisi, Mas. Assalamualaikum.” Daripada aku dimaki, lebih baik segera balik badan. Ruangan ini seperti kandang macan, sekalinya masuk langsung diamuk.

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang