Part 6

1.2K 122 0
                                    


Aku meregangkan ototku. Oh, rasanya pegal sekali tertidur di kursi rumah sakit. Pagi ini, setelah shalat subuh aku pergi diam-diam. Kubiarkan Umi di ruangannya itu.

Bruk!

Rencana kaburku gagal. Mata tajam itu seperti mengulitiku saat ini. Aku ikut membalasnya tajam. Dia pikir aku ini nggak berani, apa?

Lagi lagi tangannya memegang ujung kerudungku, lalu menyeretku. Aku bungkam dibuatnya. Kukira dia akan menyeretku masuk kembali ke ruangan Umi, ternyata tidak. Dia membawaku ke parkiran.

Aku mendengar sangat jelas dia berdecak sebal. “Pulang aja sih Lo!” Dia berteriak kencang. Aku semakin tidak ada harga di hadapannya.

“Ya emang aku mau pulang. Kenapa situ ngegas?”

“Arghhh! Semenjak kamu dekat sama Umi, saya jadi gila!” Aku tersenyum sinis. Memandang remeh Kak Aji yang menjambak rambutnya sendiri.

“Memang kamu itu gila! Baru sadar?” Dia menoleh tajam ke arahku. Tangannya berhenti memegang kepala, lalu menunjuk wajahku penuh emosi. “Semuanya gara-gara kamu! Pembawa bencana!”

“Heh! Sadar nggak sih? Aku juga malas berhubungan sama kamu! Kamu pikir aku untung ada di lingkaran keluarga kamu? Setiap hari aku diikuti rasa bersalah membuat Umi kamu nangis! Kalo aku mau, aku bisa aja pergi dari Umi kamu! Tapi apa akibatnya? Liat aja keadaan Umi. Aku juga nggak tau kenapa Umi kamu bersikap gitu ke aku!”

“Kamu pelet Umi saya, ya?” Matanya menyipit, melangkah pelan mendekatiku. Aku bergidik ngeri. “Stop!” Dia masih mendekat, membuatku terus mundur menjauhkan diri.

“Apa yang kamu mau? Saya bayar berapapun, tolong jangan pengaruhi Umi saya!” Dia membisikkan kalimat merendahkan bagiku.

“Pengaruh apa? Dasar nggak tau diri kamu! Balikin sapu tangan itu dan urusan kita selesai!”

“Ck! Cuma sapu tangan? Saya bisa beliin kamu lebih dari sapu tangan itu! Itu milik saya, saya nggak akan ngasih ke siapapun,” katanya tegas.

“Sapu tangan itu berharga!”

“Berapa harganya?” tanyanya sambil tersenyum mengejek.

“KAMU NGGAK AKAN NGERTI! SAPU TANGAN ITU SEGALANYA. SEPULUH TAHUN BENDA ITU HILANG, SEPULUH TAHUN JUGA AKU MENAHAN PEDIH!”

“Drama,” lirihnya yang masih terdengar jelas oleh telingaku. Aku mengeram, marah dengan ucapannya. Wajahku memanas, mataku pun ikut memanas. “ITU DARI IBU SAYA! ITU AMANAH IBU SAYA! KAMU NGGAK NGERTI KARNA KAMU NGGAK PERNAH TAU RASANYA DITINGGAL OLEH IBU KAMU SAAT KAMU BELUM TAU APA-APA!”

Aku meluapkan emosiku dengan tangis. Ingatan itu kembali muncul. Ingatan saat Kak Boni membisik padaku saat usia lima tahun dulu. Saat itu aku meraih sapu tangan biru dari Ibu, kata Kak Boni itu amanah Ibu yang harus kujaga sampai kapan pun.

“Maaf,” katanya pelan.

“Saya nggak tau,” lanjutnya. Aku melihat ada penyesalan di wajahnya. Tapi percuma! Sapu tangan itu tak kembali padaku.

“Tapi saya nggak bisa ngasih sapu tangan itu,” katanya pelan sekali.

“ITU PUNYAKU!” Aku menangis di depannya, memohon sapu tangan itu.

“Aku nggak bisa tanpa benda ini.”

“Aku hilang kendali tanpa benda ini.”

“Ini obat untuk segala kegilaanku.”

“Aku butuh benda itu.”


“AKU NGGAK PEDULI!”

Dia luruh, duduk bersimpuh di paping. Air mataku berhenti, berganti dengan bingung. Dia menunduk dalam simpuhnya, bahunya bergetar. Suaranya mulai terdengar. Dia menangis!

“Nggak. Nggak adil! Argh! Ngapa harus Aku? Kenapa? Pergi! Kamu pergi! Argh sakit,” dia memegang kepalanya.

Aku diam. Masih memandangnya bingung. Tapi akhirnya aku iba dengannya yang mulai memukul kepalanya.

“Kamu kenapa?” tanyaku lembut. Dia menatapku, matanya memerah. “Pergi!” bentaknya. Aku tersentak, lalu ikut duduk di sebelahnya. “Kak Aji kenapa? Kepalanya kenapa?” Dia tak menjawab. Dia langsung pergi begitu saja.


***

“Dek, ada cowok di depan. Anaknya Umi siapa kemarin yang kamu jenguk di rumah sakit,” kata Kak Boni. Aku mematikan kompor, lalu berjalan ke ruang tamu.

Mata kami bertemu, namun dia segera memalingkan wajahnya. Setelah kejadian di parkiran itu, aku sedikit canggung dengannya.

“Ada apa?” Aku masih berdiri, enggan untuk duduk menyambut dirinya.

“Saya minta tolong lagi, Umi cari kamu!”

“Nggak bisa.”

“Tolong! Demi Umi,” dia memohon padaku.

“Maaf, nggak bisa. Aku ada urusan lain selain kalian!”

“Tolong, Umi nggak mau makan kalau belum ketemu kamu.”

“Itu bukan tanggung jawabku. Umi kan punya anak sendiri dan itu bukan aku!”

Dia mendekat, lalu menangkupkan kedua tangannya memohon padaku. “Saya mohon sama kamu, tolong kamu temui Umi. Umi satu-satunya keluarga yang saya punya.”

Baru saja ingin menjawab, Kak Boni muncul dari arah belakang. “Bel, Kakak izinin kamu tempat Uminya. Tapi ingat, jangan berduaan sama lelaki,” katanya.

“Oke. Terakhir kali!” putusku.

Aku mengikuti mobil Kak Aji. Tentu  saja Kak Boni melarangku untuk ikut dalam mobil Kak Aji.

Aku digiring masuk oleh Si Mbok ke kamar Umi. Begitu aku masuk, aku terkejut melihat Umi yang terbaring dengan sebuah foto di dekapannya.

Aku meneliti foto itu, mengamatinya dengan seksama. Seperti tertohok begitu aku sadar siapa orang dalam foto itu. Sebuah bingkai berisi foto keluarga. Orang tua dan satu anak lelaki memakai seragam sekolah dasar. Kurasa lelaki di foto itu adalah Aji.

Aku mengamati wajah pria di foto itu. Itu Abi Kak Aji, tapi bukan hanya milik Kak Aji. Itu suami Buk Cilik!

“Abel?” Umi terbangun. Aku langsung cepat-cepat memalingkan pandanganku dari foto itu.

“Umi kangen sama kamu, Bel. Tiga hari kamu pergi,” katanya.

“Bel, Umi kan pernah bilang kalau Umi sayang sama kamu. Umi udah bergantung sama kamu,” lanjutnya.

“Umi nggak boleh gitu.”

“Kamu nggak suka ya sama Umi? Kamu risih ya?”

Aku gelagapan, “eh, eh bukan gitu, Umi. Cuma ada Kak Aji yang lebih berhak atas Umi. Aku nggak enak terus-terusan ikut campur di keluarga Umi.”

“Ikut campur apa?”

Aku diam. Memang tak terlalu ikut campur, tapi aku merasa jika diriku perlahan-lahan dibawa masuk dalam masalah keluarga ini.

“Semua cerita yang Umi ceritakan padamu itu nggak bermaksud buat kamu ikut campur. Umi Cuma mau berbagi sedikit, Umi lelah memendamnya terus-menerus. Jujur, hanya kamu orang asing yang membuat Umi percaya menceritakan tentang semuanya.”

Umi baru sadar jika ada foto di atas perutnya. Ia cepat-cepat memindahkan foto itu, lalu menelungkupkan di atas meja. Telat, telat, telat. Aku sudah liat foto itu.

“Ehm, udah liat ya? Umi kangen aja sama senyumnya Aji di foto itu,” jelas Umi.

“Itu Abinya,” Umi mulai membuka cerita tentang keluarganya lagi padaku. “Sampai sekarang Aji nggak pernah ketemu sama Abinya. Entah dia dimana. Mungkin dia berbahagia dengan keluarganya.”

“Nggak, Umi. Salah!” Aku langsung menutup mulutku. Aduh, aku kelepasan.

“Maksud kamu?”

“Ah, nggak Umi.”

“Kamu tau? Tolong katakan!” Umi memandangku penuh tuntutan. Akhirnya aku menceritakan karena aku tak mau Buk Cilik dianggap wanita perebut suami orang.

“Dia suami Bum Cilik, adik dari Ayahku. Delapan tahun yang lalu, dia ditinggal oleh suaminya itu. Anaknya dibawa pergi. Jadi aku mohon, jangan pernah salahkan Buk Cilik.”

Umi menggeleng, “Dunia ternyata tak lebar. Demi Allah, Umi tak menyalahkan perempuan itu. Umi tau, waktu itu Abinya Aji tak memberi tahu status aslinya pada Buk Cilikmu itu. Dimana dia? Umi mau bertemu.”

Aku menundukkan wajahku, “Sudah meninggal,” jujurku.

Umi beristigfar, mengelus dadanya yang sepertinya mulai sesak. “Innalillahiwainnailaihirajiun.”

“Menikahlah dengan Aji,” kata Umi tiba-tiba. Aku tersedak ludahku sendiri. “Umi sudah komplikasi, nggak tau bertahan sampai kapan. Umi Cuma pengen liat Aji menikah dengan wanita yang baik.”

“Nggak bisa,” kataku tegas.

“Kenapa? Kamu punya calon?” Aku menggeleng, “Aku nggak bisa.”

“Tolong, hanya kamu perempuan yang membuat Umi tenang jika Aji menikah denganmu. Tolong sembuhkan Aji, sembuhkan dari masalah di masa lalunya. Umi mau kamu menikah dengan dia.”

“Nggak bisa, Umi. Aku juga ingin bahagia. Aku bukan siapa-siapa, jadi jangan paksa aku untuk keperluan kalian. Aku belum lama kenal dengan keluarga kalian, jadi tolong jangan bawa aku masuk terlalu jauh.”

Aku pergi. Keluar tanpa sepatah kata dari rumah itu. Tak ada Aji. Ah, masa bodoh. Aku seperti orang yang akan dimanfaatkan oleh Umi. Aku tidak terima!

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang