Part 3

1.4K 134 2
                                    


Terik matahari menembus kerudung yang membalut ubun-ubunku. Aku bersyukur, setidaknya panas ini tak langsung menyentuh ubun-ubunku. Aku melengkungkan senyum sambim menoleh ke kanan-kiri sebelum menyeberang jalan.

Setelah menerima laporan keuangan dari Rumah Katering, aku bermaksud untuk mampir ke toko kue. Baru saja Mbak Diana menghubungiku, minta dibelikan kue tart dengan hiasan berbie di atasnya. Saat kutanya untuk siapa, dia hanya bungkam. Lebih baik kubelikan saja, daripada harus berdebat dengan Kak Boni karena tidak mau membelikan untuk istri tercintanya.

Siang ini aku terpaksa naik angkot. Motor kesayanganku bahkan motor yang paling kucintai itu tengah mendekam di bengkel. Sewaktu pulang dari Rumah Umi, mesin motorku mati. Lalu kutinggal di bengkel yang tak jauh dari rumah Umi.

“Kiri,” Aku berjalan dengan langkah lebar, agar cepat sampai rumah.

“Assalamualaikum, Mbak Di!” Belum ada sahutan. Aku menaruh kue di atas meja makan, lalu menuang air dingin ke dalam gelas untuk kuminum.

“Ah, segar.” Aku menoleh ke belakang, tampak Kak Boni baru keluar dari kamar sambil membawa minyak telon di genggamannya. Ia sedikit kaget melihatku yang sedang berdiri menatapnya.

“Lah pulang nggak salam ya kamu?”

“Ih, udah salam tapi Kakak aja yang nggak dengar.” Kak Boni mendekat ke lemari dinding yang ada di dekat lemari es. Dia meletakkan minyak telon itu di sana, campur dengan obat-obatan lainnya.

“Siapa yang sakit perut? Mbak Di?” Kak Boni hanya mengangguk.

“Mbak Di mana? Ini titipannya. Emang buat siapa sih, Kak? Keponakannya ulang tahun?” Kak Boni menggeleng, “Nggak tau.” Lalu dia pergi meninggalkanku dengan segala pertanyaan.

Tak lama, Kak Boni kembali berada di hadapanku. Bedanya kali ini dia bersama Mbak Diana. Aku meneliti Kakak Iparku ini, wajahnya sedikit pucat. “Mbak Di sakit? Mau dikerik nggak sama aku?”

“Nggak ah, sakit kalau kamu yang ngerik. Berasa pakai pisau. Ini titipan Mbak?” Dia menyentuh kotak kue yang ada di atas meja. Senyumnya terbit, kentara sekali dia sangat puas dengan kue berselimut krim warna merah muda itu. Aku memincingkan mata ketika ia mengelus perut dibalik gamisnya. “Mbak emang itu buat siapa sih?”

“Buat aku, lah. Ambilin pisau kue, tolong.” Aku membuka lemari piring, mencari benda  yang dibutuhkan oleh Mbak Diana. “Nih,” ucapku sambil menyerahkan pisau kue. Dia tersenyum. Ah, selalu tersenyum lebih tepatnya. Aku melirik ke samping, Kak Boni juga tersenyum mengamati Mbak Diana. Duh, mentang-mentang.

“Mbak, tumbenan makan kue lahap gitu? Terus pake minta yang dihias berbie lagi. Ngidam ya?” kekehku. Mbak Diana menelan, lalu merebut gelas di genggamanku dan langsung menegak tanpa izin. Duh, Mbak Di memang begitu.

“Heem. Makasih ya, Onti Abel.” Aku mengelus pipiku yang baru saja ia cubit gemas. Eh, bentar. Mbak Di ngidam benaran?

“Mbak hamil?” Aku mendekat ke arahnya. Dia mengangguk sambil senyum, “Empat minggu.” Aku langsung memeluknya, menumpahkan semua rasa bahagiaku. Akhirnya setelah satu tahun menanti, Allah menitipkan malaikat kecil untuk Kak Boni dan Mbak Diana.

“Alhamdulillah ya Allah, rumah ini jadi nggak sepi nanti,” kataku melirik Kak Boni. Sengaja untuk menyindirnya yang selalu sibuk dengan pekerjaannya di kantor. Bahkan dari dulu sebelum ia menikah. Ia sering meninggalkanku. Katanya biar aku juga mandiri.

“Maafin Kakak ya?” ucap Kak Boni lalu mengacak kerudungku. “Untung aja mau tidur, jadi nggak masalah kalau kerudungku rusak karena Kakak. Oh iya, mulai sekarang aku nggak bakal ngelakuin aneh-aneh. Maksudnya, aku akan menuruti semua perintah kalian.” Kak Boni dan Mbak Diana menatapku, meminta penjelasan dariku. Aku menggaruk kepalaku yang tak gatal, “Ehm, maksudnya kalau aku nggak nurut sama kalian, aku pasti diomelin sama kalian. Aku nggak mau calon keponakanku itu mirip denganku. Biar sifat Mbak Diana yang mendominasi untuk diturunkan ke anaknya.”

“Alhamdulillah, nyadar hahaha.” Aku melotot. Kak Boni malah semakin tertawa kencang. Tapi segera terhenti ketika mendengar ponselku berdering.

Aku mengerutkan dahi, tertera nomor tanpa nama di layar ponselku. Kak Boni menatapku seperti bertanya siapakah yang menelepon, aku langsung menggeleng.

“Assalamualaikum?”

Saya minta tolong kamu ke sini!” Aku melongo. Barusan aku mendengar suara lelaki mirip suara Kak Aji.

Tolong. Saya butuh bantuan kamu sekarang.”

“Kenapa?” Akhirnya aku berani bertanya.

Umi. Umi masuk rumah sakit.”

“Hah? Kok bisa?”

Umi minta ketemu kamu. Saya mohon, datanglah untuk Umi.” Hatiku tersentuh. Aku langsung menutup telepon. Kak Boni dan Mbak Diana menatap penuh tanya ke arahku.

“Kak, aku mau ke rumah sakit. Uminya temenku masuk rumah sakit.”

“Kakak antar. Motor kamu belum sembuh.”

“Mbak juga ikut!” Aku menggeleng, “Nanti Mbak capek.” Tapi tetap saja tak bisa dilarang. Akhirnya kami bertiga berangkat ke rumah sakit.

Seperti ada yang sakit di hatiku ketika mendengar Umi masuk rumah sakit. Pertemuan yang belum lama terjadi antara aku dan Umi sepertinya berkesan lain di hatiku. Aku merasakan sosok Ibu darinya. Tak terasa air mataku menangis mengiringi langkah kaki yang tergesa-gesa.

Aku langsung membuka pintu. Kak Aji duduk di samping Umi yang terbaring di brankar. Lalu menengok ke arahku. Begitu juga dengan Umi.

“Umi, kenapa?” Umi tersenyum, ia menggenggam tanganku. “Umi nggak papa. Udah sembuh ini,” katanya pelan sekali.

Umi menatap Kak Boni dan Mbak Diana bergantian. Aku langsung menarik Kak Boni, “Oh iya, ini Kak Boni, Kakaknya Abel, Umi. Ini istrinya, Mbak Diana.” Umi tersenyum kepada mereka. Kak Aji juga menyalami Kak Boni.

“Jantung Umi tadi kumat,” jelas Umi. “Gara-gara manusia di samping kamu itu!” Aku menoleh mengikuti arah telunjuk Umi. Yang ditunjuk hanya diam.

“Maaf, kami pamit ya. Nanti kamu pulang naik taxi, ya Bel. Mbak Diana kecapean.” Aku melirik Mbak Diana yang sedikit pucat. “Iya, Kak. Makasih ya.” Lalu keduanya pergi setelah mencium punggung tangan milik Umi.

“Nggak tau lah, Bel. Umi pengen punya anak lagi.” Aku melotot, benarkah?

“Pengen punya anak kayak kamu. Kamu aja ya yang jadi anak Umi. Sepertinya kamu lebih sayang ke Umi.” Aku melirik ke samping, Kak Aji mengepalkan tangannya.

“Umi, Aji itu nggak begitu—“

“Hustt, Umi nggak dengar suara Aji,” potong Umi yang membuat Aji membisu.

“Umi dari kapan?”

“Dari kemarin.”

“Loh, kok aku baru dikasih tau hari ini?” Umi tersenyum, “Umi kan pengen ketemunya sekarang. Nanti kamu yang anter Umi pulang.”

Waktu berlalu. Kini aku tengah menuntun Umi menuju lobi rumah sakit. Aji menyembul dari kaca mobil, “Naik!”

Di perjalanan, Umi sibuk bercerita denganku. Aji sesekali melirik ke arah kami melalui kaca spion, lalu berdecak kesal.

Begitu sampai, Si Mbok langsung menyambut kami. Sementara Kak Aji menenteng tas berisi pakaian kotor dan menyerahkan pada Si Mbok. “Tolong ya, Mbok,” katanya pada Si Mbok.

“Umi minta tolong, Bel. Kamu buka lemari kaca itu, ambil album di baris nomor dua dari atas,” perintah Umi. Aku menatapnya ragu. “Ambil, tolong. Nggak papa, kan Umi yang nyuruh.” Akhirnya aku mendekat dan membuka lemari yang Umi maksud.

Saat tanganku menarik album, benda di bawahnya pun ikut tertarik dan jatuh di lantai. Aku memungut benda berwarna biru muda itu. Ah, ini sapu tangan. Saat aku hendak meletakkan kembali, sapu tangan itu terbuka. Aku memandangnya jeli. Tidak  salah lagi. Aku membacanya.

Aku menoleh ke arah Umi, bertanya-tanya ada apa di balik ini semua? Sapu tangan ini menarikku ke kisah sepuluh tahun yang lalu. “Kenapa, Bel?” Aku membalikkan badanku, mengangkat sapu tangan biru muda dengan bordiran di bagian bawah. Umi langsung membungkam mulutnya.


.
Jangan lupa vote dan komen, ya kalau kalian suka dengan cerita ini. :)))

Belahan JiwaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang