X

304 47 6
                                    

Perlahan aku membuka mata, sinar lampu ini terlalu terang. Membuatku harus mengerjap beberapa kali. Tunggu dulu, rasanya ruangan ini begitu asing. Aku menggerakkan tangan kananku yang terasa ngilu dan ternyata ada selang infus yang terpasang. Biar ku tebak, ini pasti rumah sakit. Pasti Sehun yang membawaku, aku ingat semua kejadian tadi pagi di apartementku.

Aku terkesiap saat mendengar suara pintu terbuka, datanglah Sehun dengan satu kantong belanja menghampiriku. Aku langsung membuang muka karena kesal padanya. Setelah menaruh kantong belanja itu, ia meraih tangan kiriku lalu mengelus wajahku.

"Dokter mengatakan sebentar lagi kau sudah bisa pulang." kata Sehun, ia masih memanjakan tanganku.

"Hari ini aku bolos sekolah." Sehun memberikan tawa kecilnya. Rasanya aku akan baik-baik saja bila tadi ia tak datang. Pasti stress ku juga salah satu pemicu aku tidak sadarkan diri.

"Aku sudah menyuruhmu berangkat tadi." aku masih tidak menoleh ke arahnya.

Ia menarik daguku ke arahnya.

"Aku sudah berjanji pada keluargamu untuk selalu menjagamu. Apa jadinya sekarang bila tadi aku tidak datang? Lagi pula tujuan utamaku adalah ingin menjelaskan semuanya padamu." katanya dengan nada yang mencicit karena merasa bersalah atas ucapannya barusan.

"Kau harus percaya Luhan, aku hanya mencintaimu. Berikan aku kesempatan untuk membuktikannya. Apa aku harus pindah sekolah supaya aku tidak bertemu dengan Jongin dan Irene lagi?"

Pindah sekolah? Aku tidak pernah memikirkan hal itu. Kalau Sehun pindah, cobaan hidupku rasanya akan bertambah berat. Penggemarnya di sekolah akan mengira aku menyuruhnya pindah dan aku kembali di rundung. Tidak boleh!

"TIDAK BOLEH!" jawabku mantap. Ia tampak terkejut dengan nada bicaraku yang seperti membentak. Namun, keheningan pun terjadi.

"Lalu aku harus apa?" tanyanya menyerah.

Tuhan sepertinya kembali menempatkan aku di keadaan yang buruk. Aku masih sakit hati, tapi, berat juga melepaskan Sehun. Saat tidak bersamanya aku sudah mantap dengan keputusanku. Tapi, saat sekarang ia ada disini, nyaliku malah menciut. Aku tidak bisa membohongi diriku yang masih tergila-gila dengan Sehun.

"Eummm baiklah. Sepertinya ini adalah hari keberuntunganmu." aku masih bersikap cuek. "Kesempatan terakhir." ucapku.

Aku melirik ke arahnya yang seperti menahan diri untuk melompat kegirangan. Ia tersenyum begitu puasnya. Wajah itulah yang aku paling cintai. Wajah yang ia tunjukkan saat menyatakan cintanya padaku. Aku yang masih gengsi hanya tersenyum kecil.

Setelah di perbolehkan pulang, aku masih duduk terdiam di samping kursi kemudi. Sesekali aku meliriknya yang senyum-senyum sendiri. Aku jadi berpikir sebenarnya siapa sosok yang dapat mengusir kesedihanku dalam sekejap. Suho yang memiliki banyak kesamaan denganku atau Sehun pemuda yang aku cintai?

Aku menghela napas panjang dan hal itu menarik perhatian Sehun.

"Kau baik-baik saja?"

Keasikan melamun malah membuatku tak ingat ada orang lain di sebelahku.

"Ya begitulah." jawabku.

Ia kembali menyetir dan tersenyum.

"Oh ya akhir pekan ini ayahku ingin mengajakmu makan malam."

Mataku membulat dan mulai memikirkan kemungkinan yang terjadi saat makan malam dengan ayah Sehun. Sekaligus membayangkan sosok Tuan Oh. Seorang konglomerat yang pasti memiliki selera tinggi untuk putranya.

"Kau datang ya, nanti aku jemput. Ayahku baru pulang setelah dari Swiss sabtu nanti."

Aku yang masih membayangkan hal buruk seketika terkejut dengan Sehun. Tiba-tiba ia memegang tanganku, menggenggamnya lalu menciumnya. Aku tidak bisa bohong kalau saat ini sedang tersipu malu dan malah semakin menggilai seorang Oh Se Hun.

MY SIDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang