Selamat Tinggal

14 1 0
                                    

Pagi nampaknya tak begitu mendukungku. Tubuh ku masih terkapar lemah di atas ranjang rumah sakit ini.

Tubuhku rasanya benar-benar sakit, namun dibalik itu semua, didalam tubuh ku ada bagian yang jauh lebih sakit. Rasanya benar-benar menyesakkan.

Sejak hari itu dada ku tak pernah lagi merasakan ke damaian. Hatiku hancur tak berbentuk setelah penghianatan yang kualami. Orang yang ku anggap benar-benar mencintaiku ternyata tak lebih dari seorang penipu. Ia menipuku dengan manis hingga aku tak pernah bersiap untuk rasa sakit ini.

Pedih rasanya, amat sangat pedih. Aku tidak tahu bagaimana mengapa seseorang bisa sejahat itu. Seperti inikah dampak dari jatuh cinta? 

Setelah berfikir bahwa patah ku dari cinta yang lalu telah sembuh oleh cinta yang sekarang ini ternyata aku salah besar. Kegagalan dengan Fero nampaknya sejalan dengan kegagalan yang kualami dengan Reno.

Aku tidak tahu harus menuntut pada siapa, pada siapa harus mengadu, aku tidak tahu. Aku tidak berhak atas apa yang dia pilih, namun bukannya ini salah? Kita menjalani kisah ini berdua, tapi mengapa hanya aku yang merasakan sesaknya. Mengapa hanya aku yang merasakan sakitnya? Apa salahku? Mengapa cinta tak pernah berpihak denganku.

Laki-laki memang kurang ajar, setelah semua ini, mereka pergi begitu saja. Aku tak paham bagaimana jalan pikiran kaum Adam. Aku lelah, aku terluka, benar-benar  sesak.

Jika seperti ini dampak dari jatuh cinta. Aku tidak ingin jatuh lagi. Tidak lagi. Cukup.

Air mataku menetes tak karuan, di tengah ruangan dingin berbau obat ini aku berusaha memeluk semua rasa sakit yang kurasakan, berusaha bernegosiasi dengan hati agar ia lekas pulih, atau bahkan lekas mati rasa. Tapi nampaknya sia-sia, kebahagiaan sedang memusuhiku. Tak ada yang dapat kulakukan selain berusaha bertahan hidup dengan rasa sesak ini. Naifnya bahwkan otakku berfikir untuk mati saja.

Kak Githo yang  menungguku dirumah sakit sepanjang waktu hanya dapat menghiburku sebisanya. Katanya ia membiarkan semua kekecewaan dan rasa sakittku meluap, agar aku leakas pulih. Namun kurasa Kak Githo tak cukup mengerti.  Mama pun demikian, ia terus memelukku dengan kasih sayangnya.

Rasanya aku kurang bersyukur atas semua hal yang telah ku genggam saat ini. Namun jika kau pernah merasakan patah hati, maka kau akan paham betul bagaimana sesaknya. Bahkan bernafas pun rasanya amat sulit.

Beberapa waktu telah kulewati diruangan ini, perawatan pun telah banyak kulewati. Hingga kurasa tubuhku mulai membaik, namun tidak dengan hatiku yang rasanya masih amat berdarah.

“Githa, kamu udah boleh keluar hari ini.”jelas Mama kepadaku.

Aku tersenyum mengucap syukur kepada Ilahi. Sudah sebulan lebih aku disini, dan kurasa tubuhku mulai membaik. Kurun waktu sebulan ini pun aku tak pernah mendengar kabar dari Reno. Kurasa pernikahannya berjalan dengan bahagia.

Ah, sesak lagi kan.

Entah mengapa otak dan hatiku benar-benar kompak untuk membuatku mengingatnya, dan merasakan sesak begitu sakit.

Aku tak tahu sampai kapan perasaan ini akan terus membalutiku. Tiap saat aku bahkan berdoa untuk tak mampu merasakan apa-apa lagi. Namun nampaknya Tuhan ingin membuatku menikmati waktu ini dengan segala sakitnya.

Kak Githo segera kembali ke hotel mengemasi barang-barang untuk kembali ke Indonesia. Sedangkan mama membantuku mengganti baju. Kemudian tak lama Kak Githo datang dengan ransel yang cukup besar di pundaknya.

“Kopernya mana Tho?” tanya mama.

“Ada di taxi, Githa udah selesai? Soalnya pesawat berangkat sejam lagi.” jelas Kak Githo.

Why It Has To Be You ? Part 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang