Dampak Dari Jatuh Cinta

18 1 0
                                    

"Jaga diri kamu",

"Buat hidup kamu bahagia",

"Jangan pernah putuh asa buat cari cinta yang lain."

"Ngga ada yang tau perihal masa depan"

Mataku terbuka lebar, dadaku serasa dihimpit dinding, aku menarik nafas berusaha mengatur perasaanku.

"Mimpi lagi?"

Aku menarik nafas dan keluar dari selimut yang memelukku. Aku duduk terpatung diatas ranjangku. Sekali lagi aku mengatur nafas dan menenangkan dadaku yang kian sesak.

Aku menyeka air yang ada diwajahku. Nampaknya aku menangis lagi.

"Sampai kapan begini terus??"

Aku menggerutu kesakitan, sudah beberapa bulan sejak kepulanganku dari Paris namun lukanya tak kian membaik. Malah aku terus saja bermimpi, rasanya sesak sekali. Aku menekan dadaku amat dalam, berusaha untuk menahan sesaknya.

"Ya Allah, capek gini terus"

Aku menarik nafas dalam, dan yah, akhirnya aku menangis lagi.

Patah hatiku benar-benar buruk. Dadaku benar-benar sesak. Mimpi tentang Reno selalu menghantuiku. Bayangan akan kehidupannya yang bahagia dengan Laura benar-benar membunuhku.

"Kenapa?? Kenapa harus begini??"

Aku membentak dalam tangis, perasaanku kembali terluka. Tiap pagi aku selalu disambut oleh tangisan setelah terbangun dari mimpi buruk ini.

Aku berusaha menyembunyikan suara tangisku agar tak didengar oleh siapapun. Namun naas kurasa seseorang mendekat kemari.

"Githa, udah dong"

Suara itu masuk ketelingaku tanpa kulirik sama sekali, aku menyembunyikan wajahku dalam pelukan lututku.

Ia merangkulku erat, berusaha menenangkanku.

"Ke psikiater lagi yuk hari ini", pintanya.

Aku mengangkat kepalaku dan menatapnya dengan gengangan air mata.

Memang betul, nampaknya lukaku benar-benar parah hingga aku membutuhkan psikiater. Berbagai macam obat-pun telah raup kuhabiskan.

Beberapa bulan belakangan ini nampak neraka bagiku. Penghianatan yang kualami benar-benar tak pernag kuduga hingga batinku tak mampu menerimanya.

Semua komunikasi dan segala hal tentang Reno memang telah kuhapus, tak satupun cela yang bisa membuatku menghubunginya, karna bagiku kesehatan mentalku jauh lebih penting dari apapun.

Namun tampaknya semua sia-sia. Mentalku tak kunjung membaik. Aku tak tahu mengapa bisa sesakit ini, aku juga tak mengerti.

Banyak orang yang berfikir bahwa aku berlebihan. Tapi heyyy, TOLONG.

Kamu tidak bisa menyamakan setiap orang dalam menanggapi suatu masalah. Jangan dipukul sama rata. Mungkin kapasitas masalahnya sama, namun cara menanggapinya yang berbeda. Jangan paksa orang untuk sekuat kamu. Kamu tidak tahu bagaimana alam bawah sadar seseorang dalam merespon suatu masalah.

Kini aku benar-benar dalam badai. Aku khawatir pada diriku sendiri, namun aku juga tak tahu harus bagaimana.

"Githa?"

Aku menatapnya kosong. Ia kemudian memelukku sekali lagi dan mengisyaratkanku untuk bangkit mengawali pagi. Kemudian ia mulai beranjak.

"Kalau udah selesai cepet turun", ujarnya.

Sebelum punggungnya benar-benar menghilang aku segera memanggilnya.

"Kak Gihto?", ujarku lemah.

Ia berbalik melihatku dengan senyum simpulnya.

"Aku kangen sama Reno", ujarku sambil menangis kembali.

Dadaku kian sesak menyadari perasaan rindu itu. Aku menangis sekali lagi pagi ini. Kak Githo diam terpatung, kurasa dia benar-benar tak menyangka aku bisa selemah ini. Ia berjalan mendekatiku lagi dan memelukku.

"Udah, ayo sarapan. Jangan dipikirin lagi", ujarnya seperti itu, setiap hari.

Aku mengehela nafas dan mengangguk berusaha berdamai dengan diriku sendiri. Kemudian Ia pun berlalu.

Entah sudah berapa lama sejak kecelakaan yang menimpaku di kota Paris. Aku menghabiskan waktuku di rumah memulihkan diri. Kini fisikku sudah sembuh sembilan puluh persen. Aku sudah dapat berlari dan melakukan aktifitas seperti biasanya.

Namun seperti kenyatannya bahwa hatiku dan jiwaku tak kunjung membaik. Entah kenapa aku terus merasa janggal, rasanya batinku ingin kembali menatap langit kota itu, tapi ada raguku terlalu besar didalam hati.

Aku turun kebawah menuju dapur dan membuka kulkas yang cukup besar. Aku mengambil sebuah apel segar dan ku dekatkan kepalaku ke freezer kulkas untuk mendinginkan kepala dan pikiranku. Aku melangkah ke sofa panjang ditengah ruangan ini. Itu merupakan tempat favorite ku beberapa waktu terakhir ini. Rasanya damai bersandar padanya sembari membuang pandanganku keluar jendela kaca yang ada didepannya.

Hari ini, seperti biasa aku berusaha untuk mengerjakan semua aktifitasku dengan baik dan tentu dengan hati yang hancur.

Kurasa aku hebat menjadi seorang aktris. Dari luar, dari mata orang yang tak dekat denganku pasti melihat aku baik-baik saja. Namun mereka salah, aku dalam luka yang amat dalam, hingga hamper-hampir gila jika aku lepas kendali atas diriku.

Aku juga tak menyangka, rasa sakit dari penghianatan bisa sehebat ini. Aku sadar ini bukan perpisahan pertamaku dengan seseorang. Mungkin pada saat berpisah dengan Fero aku tak merasa sesakit ini, karena dia tidak menghianatiku, kami hanya berbeda. Namun kali ini rasanya benar-benar pahit harus berpisah karena orang ketiga.

Dunia ini adil. Aku percaya itu. Kurasa aku hanya perlu banyak-banyak bersabar. Lagi, dan lagi.

Why It Has To Be You ? Part 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang