"Jaga diri kamu",
'"Buat hidup kamu bahagia",
"Jangan pernah putuh asa buat cari cinta yang lain."
"Ngga ada yang tau perihal masa depan"
Hiksssss
Lagi.
"AHHHHHH"
Aku terbangun dengan perasaan tak baik. Aku menghela nafas seperti biasanya. Aku mencekam erat selimutku agar tidak menangis pagi ini. Rasanya sudah lelah sekali.
Aku segera bangkit dan berjumpa pada Rabb-ku.
Kubuka jendelaku lebar, kubiarkan sehelai angina memasuki hatiku, kubiarkan bisingnya pagi mewarnai jiwaku, kubiarkan hangatnya mentari membakar diriku. Nampaknya perasaanku hari ini mampu kukendalikan, mungkin karena obat yang kuminum semalam. Rasanya benar-benar membantu.
Kutatap langit ibu kota yang biru melangit, kubirkan pesannya untuk sampai dikalbuku, namun jiwaku belum bisa menerima kebahagian. Aku tak ingin larut dalam sedih pagi ini, aku segera menjauh turun kebawah mencari secerca senyum dari penghuni rumah. Kulihat semua orang sedang sibuk dengan urusannya.
Kusadap minuman hangat yang ada dimeja makan dan segera ke sofa. Kubuka beberapa buku bacaan untuk mendorongku untuk hidup hari ini. Kuharap hari ini akan berjalan dengan baik.
"Githa?"
Kak Githo datang kepadaku dan mendekatkan tubuhnya.
"Gimana perasaan kamu?", tanyanya.
"Aku berusaha kok kak. Aku janji bakal baik-baik aja", ujarku.
Kak Githo memandangku amat dalam, nampaknya menimbang sesuatu dalam otaknya.
"Kenapa kak?", tanyaku gusar.
"Kakak ngga bisa liat kamu gini terus.", ujarnya.
Aku tersenyum sebisaku, "Maaf kak, maaf udah repotin kakak"
Kak Githo mencubit pipi ku keras.
"Aaaa", aku meringas kesakitan.
"Kakak kangen kamu yang dulu, kamu yang aktif, kamu yang usil. Kakak kangen", jelasnya.
Kutangkap perasaan begitu sedih pada bola mata itu. Jujur, aku juga merindukan diriku. Namun aku tak bisa, sekarang aku benar-benar tak tahu apa yang harus kulakukan pada diriku. Perasaanku sangat sensitif, rasanya sulit membedakan baik dan buruk.
Pegangan hidupku terasa benar-benar rapuh. Ada yang hilang dalam hidupku, dan aku sadar itu. Itu sangat amat terasa. Ada perasaan yang ingin keluar dalam diriku, namun aku tak mampu mengeluarkannya. Tak ada jalan keluar yang bisa kutemukan saat ini.
"Ke Paris yuk", ujar kak Githo menyadarkanku dari lamunan.
Aku tersentak kaget mendengarnya. Perasaan sakit seketika menyelemutiku kembali, namun aku bisa merasakan perasaan senang juga. Rasanya ambigu.
"Gimana?", ujarnya lagi.
Aku terpatung tak tahu harus mengatakan apa.
"Githa?"
"Maksud kakak apa?", tanyaku.
"Kita ke Paris."
Aku menundukkan pandanganku darinya.
"Kakak taukan, tempat itu benar-benar penuh memori buruk."
"Justru karena itu, kita harus selesaiin semuanya. Kamu ngga bisa diam terus. Kamu ngga bisa pura-pura kalau kamu bisa ngelewatin ini. Seenggaknya kamu harus tebus rindu itu. Kamu harus bilang sama dia gimana perasaan kamu", jelasnya.
"Tapi dia udah nikah kak. Dia udah bahagia", rintihku.
"Apa salahnya? Kamu pernah jadi bagian hidup dia. Dan dia juga punya tanggung jawab sama masa lalu kamu. Dia harus bereni sebagai laki-laki untuk nyeselaiin semuanya. Kalian harus lurusin hubungan kalian. Bukan berarti kamu ngerusak rumah tangga dia. Ngga gitu Githa. Kamu Cuma perlu sedikit penjelasan dari dia. Kamu butuh jawaban dari rasa sakit kamu. Kamu butuh obat atas rindu kamu", paparnya.
Aku terdiam, tak tahu harus apa. Bayangan tentang hal-hal yang akan terjadi membuatku bingung. Keberanianku nampaknya lari seketika. Aku tak bisa.
"Ngga bisa kak. Aku ngga kuat", lesuh ku.
"Kamu harus sembuh. Kamu harus kalahin gengsi kamu. Apa yang ada dalam diri kamu butuh jawaban. Kamu butuh suaranya. Tolong Githa, ini demi kebaikan kamu"
Aku beranjak. Sudah. Aku tak bisa mendengar apa-apa lagi. Aku berlari kembali kekamar meninggalkan kak Githo yang nampak kecewa.
"Nggaa!!!! Aku ngga bisaa!!! Aku ngga mauu"
Aku berusaha melawan diriku sendiri.
"Aku ngga bakal sanggup terima lebih banyak kenyataan pahit lagi", aku menangis. Lagi.
Ditengah rintihanku kurasakan jemari kecil mengusap wajahku.
"Onty jangan nangis"
Aku segera menghapus air mataku.
Aku benar-benar merasa malu setiap kali gadis kesayanganku ini harus melihatku terpuruk.
Kulebarkan senyumku didepannya dan kubawa ia kedalam pangkuanku.
"Nih, Onty ngga nangis lagi. Malu ah sama Keyla"
Ia tertawa geli melihatku memayungkan bibirku. Malaikat kecil buah hati kak Githo dan kak Astrid ini benar-benar menjadi alah satu obatku yang paling mujarab. Aku memeluk dan menciumnya erat.
"Keyla kangen Onty yang dulu"
Aku tersentak mendegar ucapannya. Aku menyadari betul bahwa perubahanku benar-benar cukup drastic baginya. Jarang skli senyum ada dibibirku.
"Emangnya Onty yang sekarang kenapa? Jelek ya?"
"Onty cantik, tapi Keyla ngga suka liat Onty nangis".
Aku menarik nafas berusaha tertawa dan tersenyum lebar dihadapannya.
"Onty janji ngga bakal nangis lagi", ujarku.
"Boong", cetusnya.
Aku menciumnya gemas. Tiba-tiba kak Githo datang menghampiri kami.
"Mau sampai kapan kamu begini? Keyla aja sadar kalau kamu ngga baik-baik saja. Hidup kamu bukan untuk diri kamu sendiri. Ada Mama, Papi, Aku, Astrid, juga Keyla. Kamu harus hidup Git", ujarnya.
Kak Githo dan Keyla menatapku bersamaan. Aku tak bisa menghindari tatapan penuh harap itu. Jalan keluar yang diberikan kak Githo rasanya menakutkan. Mungkin ia benar. Aku butuh penjelas lebih dari Reno, namun sungguh, aku tak sanggup bertemu dengannya.
"Kakak bakal dampingin kamu. Selalu", tambahnya.
Aku menyendarkan kepalaku, memikirkan baik-baik semuanya. Keyla memelukku erat berusaha meyakinkanku. Tubuh mungilnya benar-benar membuatku merasa jauh lebih baik.
Ku tatap kak Githo dalam dan aku mengangguk.
"Aku harap ini keputusan yang tepat.", ujarku
Kak Githo tersenyum, ia segera memelukku dan keyla.
"Kakak harap kamu bakal bahagia"
Aku tersenyum dalam pelukannya dengan nafas berat berusaha meyakinkan diriku bahwa semuanya akan baik-baik saja.
Kuharap demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Why It Has To Be You ? Part 2
Short StoryKlik icon vote yah💙 *** Jika mengenalmu adalah sebuah takdir, Menyayangimu adalah sebuah Kewajaran dan Mencintaimu adalah sebuah Ibadah, lalu untik apa Tuhan Memisahkanku denganmu? Untuk alasan apa? *** Terimakasih telah hadir sebagai takdir. Aku...