Perkara mayat hidup itu berhasil menggegerkan seluruh warga sekolah dan membuat banyak siswa ketakutan.
Arin dan Juan dicap sebagai biang kerok masalah ini mendapatkan kembali hukuman yaitu membersihkan ruang kesenian selama dua minggu. Totalnya jadi tiga minggu.
Mau tidak mau Arin harus banyak berurusan bersama Juan dan juga Reno sang penunggu ruang kesenian.
Mereka menatap Reno yang menjadi tokoh utama dalam masalah ini malah bersantai dan kembali tidur seperti semula.
Ya, mayat hidup itu tidak lain hanya seorang cowok seangkatan Arin dan Juan yang sering berkunjung ke ruang kesenian untuk mengistirahatkan dirinya, masalah obat-obatan itu hanya obat tidur dan obat biasa untuk menghilangkan sakit kepala karena sepertinya Reno memiliki depresi berat. Wajahnya yang pucat dan mata pandanya akibat dia kurang makan dan tidur, dia memiliki warna kulit yang sangat putih bersih membuatnya seperti mayat hidup.
Dan soal piano yang dimainkan saat jam pelajaran itu juga ulah Reno untuk sekedar menghilangkan rasa bosannya. Banyak guru yang kesal karena dia selalu membolos di jam pelajaran namun selama ini mereka tidak tahu kemana bolsnya anak ini.
"Lo gak balik kelas No?" Tanya Arin pada Reno yang masih rebahan dengan santuy.
"Males." Jawab Reno dengan mata yang terpejam.
"Lo juga gak balik kelas?" Arin beralih menatap Juan yang sedang asyik main gadgetnya.
"Sekarang mau balik bentar lagi pelajaran olahraga. Mau bareng?" Tawar Juan.
"Oke, searah juga kelasnya."
"Tutup pintunya!" Suruh Reno saat Arin dan Juan melangkah keluar dari ruang kesenian.
"Ck, dasar mayat hidup!" Dengan kesal Juan menutup pintu ruang kesenian dengan keras dan sedikit mengagetkan Arin.
"Lo masih marah sama dia?" Tanya Arin pada Juan yang sedang bad mood.
"Jelaslah! Gara-gara tu anak hukuman kita ditambahin jadi tiga minggu, bayangin Rin! Selama itu kita harus bersihin ruang kesenian." Seakan frustasi Juan mengacak-acak rambutnya hingga tak terbentuk lagi.
"Yaudah gapapa, kalo lo gamau bersihin biar gue aja, lagian si Reno pasti selalu stanby jadi gue minta bantuan dia aja."
"E-eh, gak gitu juga. Masa gue biarin cewek ngelakuin itu sendiri." Juan merasa bersalah.
"Terus lo mau gimana?"
"Pasrah."
"Oke, see you next time Juan, gue duluan." Arin melambaikan tangannya kearah Juan lalu dan dibalas dengan senyuman dari Juan. Arin masuk ke dalam kelas yang sepertinya tidak baik-baik saja, terlalu gaduh untuk ukuran kelas IPA.
Arin masuk kedalam kelas, keadaan kelas yang tadinya gaduh mendadak hening karena kedatangan Arin. Swmua pasang mata menatap Arin seolah menuntut penjelasan tentang rumor yang sudah beredar dengan cepat ke seluruh penjuru sekolah.
Jessica langsung menghampiri dengan heboh, gadis itu langsung menarik Arin untuk segera duduk di bangkunya.
"Rin!! Beneran di sekolah kita ada zombienya??" Tanya Jessica dengan nada takut dan gelisah.
"Nggak ada." Jawab Arin cepat.
"Tapi kata yang lain lo sama Juan nemuin mayat hidup di ruang kesenian?" Tanya Jessica lagi, sepertinya dia terlalu takut hingga ingin mengorek kebenaran yang sebenarnya.
"Apa bener itu Rin?" Tanya Aldo.
"Khem, jadi gini." Arin menetralisir kegugupannya, dia menjeda kalimatnya.
Semua telinga yang ada di dalam kelas fokus dan menunggu Arin menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi.
Arin bercerita mulai dari dia dan Juan menemukan mayat hidup di ruang kesenian, kehebohannya hingga membuat kelas lain terganggu dan penasaran, hingga sebuah fakta bahwa orang yang Arin kira mayat hidup itu hanya seorang murid yang sedang tertidur.
"Ooh gitu ceritanya, syukurlah gue gak perlu pindah sekolah." Ucap otong sambil mengelus dadanya karena merasa lega.
"Ck, cuman rumor gitu aja udah mau pindah sekolah, lemah!" Sindir Amanda pada Otong.
"Kata siapa gue le-"
"Assalamu'alaikum anak-anak." Ucapan Otong terpotong karena seorang guru memasuki kelas mereka.
"Waalaikumsalam buu."
Semua sibuk kembali ke tempatnya masing-masing. Tidak lupa merapikan meja dan pakaian mereka karena guru yang satu ini cukup teliti akan hal-hal kecil.
Diam-diam Arin melirik ke arah Raffa yang sedang fokus mengeluarkan buku. Matanya tidak lepas dari sosok Raffa sang pujaan hatinya dan perlahan senyumannya mengembang. Kebahagiaan Arin sangat sederhana, melihat Raffa sedetik saja sudah membuatnya tidak pernah berhenti tersenyum.Tiba-tiba saja Arin teringat akan sesuatu.
"Jes sini deketan, gue mau bisikin sesuatu."
Dengan patuh Jessica mendekatkan tubuhnya ke arah Arin.
"Tadi lo liat Raffa nyimpen kado yang ada di mejanya gak?" Bisik Arin sangat pelan namun masih terdengar jelas oleh telinga Jessica.
Kini giliran Jessica yang berbalik dan berbisik ke arah Arin.
"Dia buang kadonya." Jawab Jessica.
"Kok bisa?" Arin kecewa.
"Tapi sekarang kadonya udah ada di si Otong, sengaja si Otong ambil katanya 'lebar yeuh ie th mahal! Mending keur urang!'' Gitu." Jelas Jessica di bisikannya.
"Arin! Jessica! Kenapa kalian bisik-bisik terangga?" Tanya Bu Arum tegas.
"Emm.. Itu buu..." Arin bingung mau menjawab apa.
"Itu-itu apaan?! Yaudah kalian kerjain aja soal nomer 15 di halaman 24!"
Dengan sigap Arin dan Anna mencari soal no 15 di halaman 24 buku matematikanya.
Jessica tidak takut tidak bisa menjawab soal karena dia akan menyerahkan soal ini kepada Arin yang otaknya cukup cerdas.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Juan Arsena
Teen FictionKita hanya orang-orang egois yang terobsesi pada sesuatu yang belum tentu bisa kita miliki." -Juan Arsena- •• 01-05-2020 #ideiniguedapetingituajapasguedidalemkamarmandihwhw