Bab 9 - Tugas Seorang Sahabat

12 3 0
                                    

"Ada kalanya kita dipertemukan dengan seseorang bukan untuk ditakdirkan bersama, tetapi untuk belajar dari seseorang tersebut."

-Alvino-

(///)

Akhirnya Alvin sampai di depan rumah Arin. Karena gerbang rumah cewek itu tertutup, Alvin meminta Arin untuk membukakannya. Tapi seperti sebelumnya Arin tidak menghiraukan ucapan Alvin.

"Rin!" Kali ini suara Alvin lebih keras

"Eh iya apa Vin?" Tanya Arin kaget.

"Tolong bukain gerbang." Pinta Alvin. Arin langsung turun dari motor dan berjalan menuju gerbang. Arin membukakan gerbang tanpa berfikir, sekarang fikirannya hanya fokus pada hal yang ia lihat di sekolah.

"Yaampun Arin itu gerbang tetangga lo! Parah sih ini!" Amarah Alvin memuncak, ini sudah keterlaluan. Baru kali ini dia melihat Arin sekacau ini.

"Eeh maaf gw lagi ga fokus, hehe."

Alvin turun dari motornya dan berjalan ke arah Arin dengan mata tajamnya.

"Sebenernya lo itu kenapa Rin?!" Tanya Alvin tegas sambil mencengkeram kedua bahu Arin.

"Gue gak kenapa-napa Vin." Jawab Arin lembut dengan tatapan sendunya.

"Bohong, pasti ada sesuatu kan?" Alvin tetap bersikeras.

"Jujur aja Rin, gausah di tahan, yang ada keadaan lo makin parah." Alvin makin khawatir, mata Arin sudah berkaca-kaca.

Sedetik kemudian tangis Arin pecah, gadis mungil itu langsung memeluk Alvin erat. Meluapkan semua amarahnya di dada bidang sahabatnya itu seperti anak kecil menangis di pangkuan ayahnya. Dia sudah tak bisa menahan tangisnya, daritadi berbicara dengan Alvin saja sudah membuat dadanya semakin sesak, takut air matanya jatuh.

Alvin hanya bisa tersenyum, ternyata sahabatnya ini masih sama seperti dulu. Dia mengusap lembut punggung gadis itu, menenangkannya dalam pelukan yang hangat.

"Kalo nangisnya udah selesai langsung cerita ya." Mendengar suara itu bukannya mereda tangis Arin malah makin pecah.

"Eh Rin kok nangisnya malah makin kenceng sii, udah ya udah malu ada yang ngeliatin. Kita pindah tempat aja ya." Alvin berusaha membujuk Arin, dia merangkul gadis itu lalu mengiringnya masuk ke dalam rumah Arin.

Di dalam tidak ada siapa-siapa, yang ada hanya Bi Ijah ART keluarga Arin. Melihat Arin menangis Bi inah langsung gerak cepat menghampiri gadis itu, terlihat dari raut matanya wanita paruh baya itu sangat mengkhawatirkan .......

"Si teteh kenapa a?" Tanya bi Ijah pada Alvin.

"Gatau bi, Arin jelasin."

"Yaampun si teteh kunaon, sok duduk dulu a, ibi mau ngambil air putih. Aa mau naon? Kopi?"

"Air putih aja bi."

"Oke, tungguan nya. Jagaan si teteh."

"Siap bi." Arin dan Juan duduk di sofa ruang tamu, tangisan Arin hyang tersisa isakan kecil saja. Tatapan matanya kosong, Alvin sangat khawatir akan keadaan sahabatnya itu. Pelukan Arin belum lepas dari tubuh Alvin, Arin memeluk tangan Alvin sambil meletakkan kepalanya di bahu cowok itu. Alvin berusaha sabar karena Arin akan sangat lengket padanya, dia hanya bisa mengusap-usap punggung gadis itu supaya tangisannya reda.

Tak lama kemudian Bi Ijah datang, Alvin menyuruh Arin minum, Arin tidak mengelak dan hanya pasrah saja.

"Udah tenang kan?" Tanya Alvin cemas. Arin hanya menganggukkan kepala sebagai jawaban.

Juan ArsenaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang