2. S I A L L A G I

16 1 0
                                    


Pagi ini dengan mata sembab, Bintang terpaksa harus bangun dengan kepala yang begitu pusing. Badannya pun terlihat sangat lemas. Ia seperti tak berdaya, energinya terkuras habis karena tadi malam harus membantu mengerjakan tugas kakaknya.

Sebenarnya ia belum bangun. Namun, seperti hari biasanya jika pukul empat pagi Bintang belum bangun pasti ibunya akan datang ke kamarnya lalu memukulnya dan mengatakan Bintang gadis pemalas. Ia meringis, padahal ia baru tidur pukul dua dini hari.

Memang Bintang selalu bangun pukul empat pagi karena harus mengerjakan pekerjaan rumah. Menyiapkan sarapan, menyetrika pakaian kedua orang tuanya dan juga kakanya yang sudah berkuliah semester lima. Ia selalu mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Ibunya mana mau membantu, apalagi kakanya.

Bintang seperti diperlakukan bak pembantu. Entahlah, Bintang pun merasa heran. Kenapa dia selalu dieprlakukan berbeda dengan kakak perempuannya. Bintang adalah anak sulung yang banyak kata orang selalu manja. Namun dunia seolah terbalik. Sekarang malah kakak perempuannya bahkan ibunya pun ikut-ikutan bersikap manja.

Ayahnya? Jangan katakan lagi. Ayahnya tipikal orang yang masa bodoh pada keadaan. Ia akan perduli jika si putri pertamanya terluka atau terkena masalah. Bintang? Ayahnya mana perduli. Bahkan saat pengambilan raport kenaikan, Bintang harus meminta tolong pada tukang ojek untuk mengambilnya. Jika ditanyakan oleh gurunya maka Bintang akan menjawab, orang tuanya sedang ada pekerjaan mendadak.

Bintang selalu memaafkan perlakuan semua keluarganya. Ia merasa tak acuh. Karena jika ia acuh pun malah akan menambah beban fikirannya. Ia hanya harus bersabar sampai Tuhan akan melakukan kuasanya. Bukannya Tuhan maha adil bukan?

***

Setelah selesai membereskan pekerjaan rumah, Bintang langsung masuk ke kamar untuk bersiap ke sekolah. Sepuluh menit kemudian ia sudah siap dengan seragam sekolah berupa rok selutut bermotif kotak-kotak juga baju putih dengan kera juga lisnya yang bermotif kotak-kotak. Oh ya, tak lupa juga dasinya.

Ia turun dari lantai dua menuju meja makan. Di sana sudah duduk rapi ayahnya dengan setelan kantor juga ibunya yang berdandan seperti model. Ibunya memang seorang model. Meskipun usianya berkepala empat tapi masih awet muda saja.

Ia duduk di kursi samping kakaknya. Tetapi yang membuat suasana berbeda pagi ini adalah kakaknya yang belum hadir di ruang makan. Entah kemana? Tapi yang jelas kedua orang tuanya tidak terlalu mengambil pusing seperti Bintang. Barangkali kakanya sedang bersiap di kamarnya.

"Ayah, emm Bintang mau minta uang jajan bulanan," kata Bintang pelan.

Ayahnya menghela nafas lalu menatap sinis Bintang. Ibunya pun sama, menatap Bintang seolah seperti kotoran yang sangat menjijikkan.Ayahnya bangkit lalu mengeluarkan dompet tebalnya dan melemparkan tiga lembar uang berwarna merah lalu beranjak pergi dari ruang makan.

"Gara-gara kamu nafsu makan saya sama suami saya jadi hilang!" ketus ibunya lalu menyusul sang suami.

Bintang menyeka air matanya. Memang uang jajannya hanya diberikan satu bulan sekali, beda dengan kakaknya yang diberikan setiap harinya dengan jumlah yang sama dengan uang jajan Bintang setiap bulannya.

Sejenak Bintang melihat uang yang di genggamnya. Ia meringis lalu menangis lagi karena uang tiga ratus ribu rupiah ini tidak cukup untuk membayar spp bulanan sekolahnya. Ia terus berfikir cara apa agar ia bisa mendapat uang lima ratus ribu untuk membayar spp bulanannya.

Bintang cepat-cepat membereskan meja makan lalu bergegas pergi ke sekolah. Di dalam bus ia hanya diam. Tatapannya kosong. Ia memakai kaca matanya yang tidak terlalu bulat dan kotak. Intinya sangat pas di wajah Bintang.

Tiba-tiba tatapannya menunduk dan ia terkejut melihat sebuah dompet yang tergeletak di dekat kakinya. Sejenak ia melirik ke segala arah memastikan apakah ada sesorang yang kelihatannya sedang mencari sesuatu? Nyatanya nihil.

Ia mengambil dompet bermerk itu lalu membukanya dengan gemetar. Ia takut jujur saja, takut jika ia yang dituduh mengambil dompet seseorang. Ia menemukan kartu nama yang terselip di beberapa sekat yang di dompet itu.

" Yunita," kata Bintang dengan intonasi mengeja setiap huruf yang tertera di kartu nama tersebut.

"Jalan Merpati nomor tujuh," katanya lagi. Bintang melihat ke luar jendela, lalu langsung berdiri dan meminta supir bus berhenti di belokan jalan.

Setelah membayar ongkos bus, Bintang langsung berjalan dari arah bus berhenti tadi dan berjalan lagi kearah alamat yang tertera di kartu nama tersebut.

Cukup lama ia berjalan akhirnya ia sampai di depan rumah yang beralamat yang sama dengan yang ia cari. Pagar rumah itu cukup tinggi dan rapat sampai ia agak kesusahan memanggil penghuni rumah.

"Assalamualaikum!" teriaknya sekali lagi.

"Waalaikumsalam," jawab satpam yang menjaga di balik gerbang rumah itu.

"Ada keperluan apa neng?" tanya satpam itu.

"Oh iya pak, nama saya Bintang. Apa benar ini rumah ibu Yunita?" tanya Bintang dan melihat kartu nama untuk memastikan bahwa nama ibu itu benar.

"Iya neng, benar. Ada keperluan apa?" tanya bapak itu lagi.

"Ini pak, saya menemukan dompet ibu Yunita di bus. Saya mau kembalikan."

"Yasudah, neng masuk dulu biar ketemu langsung," kata satpam itu.

Bintang sedikit ragu tetapi akhirnya ia masuk demi dompet ibu itu.Setelah disuruh masuk dirumah ibu Yunita, Bintang duduk di kursi tamu dengan gugup. Ia takut jika ibu Yunita aka menuduhnya yang mengambil dompetnya.

"Nak, bener kamu menemukan dompet saya?" tanya ibu Yunita tiba-tiba.

Bintang yang sedari tadi diam melongo pun langsung terkejut dan berdiri menyalimi tangan ibu Yunita.

"Iya, bu. Saya menemukan dompet ibu di bus yang saya naiki waktu berangkat sekolah tadi," jawab Bintang jujur dan menyerahkan dompet itu kepada pemiliknya.

"Terimakasih ya, nak. Untung dompet ini kamu yang temukan, mungkin kalo orang jahat yang menemukan dompet ibu, ibu sungguh tidak ikhlas," kekeh ibu itu.

Bintang pun ikut terkekeh. Lalu ia melihat jam dipergelangan tangan kirinya dan langsung terlonjak kaget. Bagaimana tidak, sekarang sudah pukul tujuh lebih lima belas menit. Berarti Bintang sudah telat lima belas menit. Sedangkan untuk naik bus lagi mungkin sudah tidak ada. Ataupun naik kendaraan lain Bintang harus membayar mahal.

Mungkin kesialan menimpanya lagi. Buru-buru ia meminta izin pamit kepada ibu Yunita.

"Ibu, saya berangkat sekolah dulu ya, bu. Saya sudah telat lima belas menit," kata Bintang pelan dan langsung menyalimi ibu Yunita.

"Eh sebentar, ini untuk jajan kamu. Jangan nolak! Ibu tidak suka penolakan!" tegas ibu itu. Dengan berat hati, Bintang akhirnya menerima uang pemberian ibu Yunita.

Setelah keluar dari rumah ibu Yunita, Bintang langsung berlari menuju sekolahnya yang berkisar jaraknya seratus meter lagi. Bintang sedikit menyesal tidak menerima tawaran dari ibu Yunita agar supirnya yang mengantar Bintang sampai sekolah. Ah sudahlah, penyeslaan selalu diakhir bukan.





Jangan lupa kasih bintang sebagai penyemangat. Komen jangan lupa juga, siapa tau ada yang perlu dikoreksi:)

B I N T A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang