6. L U K A

8 1 0
                                    


"Bintang!" teriak sang ibu dari arah kamar.

Buru-buru Bintang berlari menuju kamar ibunya. Padahal ia baru saja berada di kamar ibunya untuk menyetrika semua pakaian ibunya. Dan sekarang harus kembali lagi? Sungguh malang nasibmu Bintang.

"Kenapa, bu?" tanya Bintang di ambang pintu dengan nafas yang memburu karena habis berlari.

"Kamu nggak punya otak atau gimana?" tanya ibunya tidak jelas. Kalau dilihat dari wajah ibunya, sepertinya setelah ini akan terjadi lagi peperangan yang dimana Bintang harus menjadi korban lagi.

"Maksud ibu gimana? Bintang enggak ngerti," jelas Bintang.

"Dasar anak enggak punya otak!" maki ibunya. "Lihat! Baju saya jadi bolong seperti ini!"

Bintang terkejut. Padahal saat ia menyetrika tadi tidak ada satupun bajunya yang rusak ataupun bolong. Ada kejanggalan batin Bintang.

"Maaf, bu. Tapi tadi enggak bolong, kok!" bantah Bintang.

"Halah, sudahlah! Ibu, tadi Bunga liat kok gimana Bintang bolongin baju ibu, mungkin dia mau balas dendam sama ibu," kata Bunga dengan wajah seolah paling mengerti tentang kejadian.

"Enggak, bu! Bintang beneran enggak rusakin baju ibu!" bantah Bintang lagi. Ia sedikit geram dengan tingkah kakaknya yang seenak jidatnya memfitnah orang.

"Halah, mana ada maling yang mau ngaku!" tegas kakaknya.

"Dasar anak sialan! Saya akan bilang pada suami saya untuk tidak memberimu sepeser pun uang untuk sekolahmu! Dasar gadis enggak punya otak!" maki ibunya lagi.

Bintang menangis, kali ini cobaannya berlipat ganda. Setelah dituduh lalu ia dimaki lagi. Nasib Bintang tidak akan jauh dari sengsara karena pastinya ayahnya akan percaya pada ibu dan kakaknya.

"Sumpah! Bintang enggak bolongin baju ibu!" bantah Bintang lagi untuk meyakinkan sang ibu.

Sayangnya sang ibu sudah seperti orang tuli. Ia tidak mendengarkan bantahan Bintang. Malah sang ibu mengambil setrika yang sudah dicolokkan ke listrik lalu menempelkan setrika itu di pergelangan tangan Bintang.

"Aww! Ibuuuu! Sakiiiiit!" rintih Bintang tapi percuma. Pergelangan tangannya sudah lebam karena terbakar oleh panasnya setrika sialan itu.

"Sakit di tanganmu tidak sesuai dengan harga baju mahal saya!" kata ibunya lagi. Lalu ibunya menyeret Bintang keluar dari kamarnya.

"Mampus!" kata kakaknya setelah melihat Bintang terduduk lemas sambil menangis pilu.

Tak ada lagi kata-kata yang mampu membuat Bintang bangkit. Otaknya kosong. Hidupnya hampa. Semuanya tentang sengsara. Bintang lemas, sungguh memprihatinkan. Bahkan akhir-akhir ini berat badannya menurun. Ya, karena seminggu yang lalu ia selalu makan sisa dari ayah, ibu, dan kakaknya.

Bintang masuk ke kamar dengan air mata yang terus mengalir. Ia melihat luka bakarnya lalu menatap kosong lukanya. Andai ibunya mengerti rasanya diperlakukan bak hewan oleh ibu sendiri, bagaimana reaksinya? Tapi sayangnya hal itu tidak mungkin berbalik terjadi pada keluarganya. Karena Bintang tahu, hidupnya hanya sebatas angan. Karena selama ini dia selalu berada di ambang kematian.

"Pasta gigi!" pekik Bintang saat ia ingat jika luka bakar akan mereda setelah di beri pasta gigi.

Lalu Bintang ke kamar mandi dan mengoles luka bakarnya menggunakan pasta gigi dengan sangat hati-hati. Tidak lama lagi luka bakar itu akan melepuh dan menjadi luka yang sedikit menjijikkan menurut Bintang. Setelah itu ia keluar lalu duduk di tepi kasur untuk menenangkan fikirannya.

Ting!
Notifikasi ponsel Bintang berbunyi. Dengan enggan, Bintang mengambil ponselnya di meja belajar lalu melihat pesan muncul dari nomor tidak dikenal.

085xxxxxxxxx
Hallo!

Dahi Bintang berkerut mencoba berfikir siapa orang dibalik isi pesan berupa sapaan itu.

085xxxxxxxxx
Gue Angkasa!
Save ya:)

"Ooh, Angaksa. Eh, dia dapet nomor gue dari mana?" tanya Bintang dengan dirinya sendiri.

Bintang
Okee

Bintang pun hanya membalas seadanya. Toh, dia tidak pandai berbasa-basi.

Angkasa
Masa cuman okee doang_-

Bintang jengah. Ia lupa jika lawan pesannya ini seorang Angkasa. Si cowok ganteng dengan tingkat percaya dirinya luar biasa.

Bintang
Gue enggak tau mau bales apaa

Angkasa
Ternyata lo kaku, yaa

Bintang terkejut. Baru kali ini ada orang yang berani mengatai sifatnya. Tapi ada benarnya juga. Mungkin selama ini Bintang berubah menjadi kaku dan cuek karena selain kurang perhatian dan kasih sayang, Bintang juga selalu mendapat siksaan yang membuat jiwa raganya betul-betul tersiksa.

Angkasa
Maaf, maksud gue bukannya lo nggak asik, hehe

Bintang
Enggak papa, gue sadar gue terlalu kaku

Angkasa
It's oke:)

Bintang merutuki dirinya sendiri yang terhanyut dengan isi pesan Angkasa. Ya, meskipun sederhana, setidaknya pesan-pesan Angkasa membuatnya tersenyum hangat.

Pukul sepuluh malam, Bintang tidak bisa tertidur. Ada kegelisahan di hatinya. Sedari tadi ia memejamkan matanya untuk terlelap, tapi masih saja mata nakalnya itu tidak mau terpejam. Padahal, ia sama sekali tidak meminum kopi jitam pahit seperti biasanya. Karena menurutnya hari ini begitu melelahkan. Jadi, dia fikir tidur lebih cepat mungkin lebih baik.

"Oke, kali ini gue harus tidur! Pokoknya tidur!" kata Bintang mantap. Lalu ia merebahkan tubuhnya sambil menutup seluruh tubuhnya dengan selimut berharap matanya akan terpejam.

Tapi baru saja ia akan terlelap. Gedoran pintu dan teriakan keras menggema sehingga mengusik ketenangan Bintang. Dengan ragu ia membuka pintu kamarnya, tapi ia mendapatkan sesuatu lagi. Sesuatu yang membuatnya tersenyum–miris.

"Dasar anak sialan! Plak! Bugh!" suara itu suara kayu yang mendarat di tubuh mungil Bintang.

"A-ayah, kenapa?" tanya Bintang lirih. Tubuhnya lemas tak berdaya. Pukulan itu membuat tubuhnya lemas seketika.

"Kenapa kamu bilang?! Kamu telah merenggut kebahagiaan istri saya! Dan satu lagi, kamu telah merusak karya Bunga, anak saya! Dimana otak kamu, hah?!" kata ayahnya lagi dan berlanjut pukulan yang bertubi-tubi.

"Ayah, Bintang beneran nggak rusakin baju ibu, apalagi punya kakak. Bintang enggak paham ayah, hiks," tangis Bintang.

Tapi percuma. Ayahnya sudah diselimuti oleh kabut amarah yang membuncah. Sekali lagi, pukulan terakhir yang membuat Bintang tak sadarkan diri.

"Bugh!"

"Ayaaahhh!" rintih Bintang lalu ia terpejam. Menikmati kedamaian di alam bawah sadarnya.

"Saya menyesal membawamu kesini!" kata ayahnya lagi lalu pergi meninggalkan Bintang yang tergeletak tak berdaya.  Seluruh tubuhnya memar. Wajahnya bahkan lebam membiru. Ayahnya bahkan enggan untuk menggendong Bintang ke ranjang atau setidaknya membawa Bintang ke rumah sakit.












Jangan lupa bintang dan komen untuk penulis biar semangat!:)

B I N T A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang