Bandung sore ini begitu sejuk. Cuaca yang begitu teduh dan suasana yang begitu damai membuat semua manusia merasakan kedamaian yang disuguhkan oleh alam ini.Dua suami istri yang berusia sudah berkepala lima mendudukkan bokongnya di sofa balkon kamarnya. Mereka menikmati semilir angin yang menggelitik pori-pori mereka.
"Pah, aku takut semuanya bakal terungkap," lirih sang istri sambil menundukkan kepalanya. Bahunya lemas seolah tak kuat menahan beban tubuhnya.
"Papah juga takut mah, suatu saat semua ini bakal terbongkar. Dan papa nggak bisa bayangin gimana hancurnya keluarga kita," kata suami sambil mengelus bahu sang istri.
Mereka merasakan kegaduhan dalam hatinya. Otak mereka sudah dipenuhi berbagai asumsi yang mungkin akan terjadi.Memijat pelipis, mengelus bahu, dan menyandarkan tubuh di sandaran sofa sambil menyeruput secangkir kopilah yang hanya mereka lakukan.
Mereka benar-benar takut.
"Bintang anak baik, pah. Aku nggak tega kalo nantinya dia tau yang sebenarnya," kata istrinya.
"Papah juga begitu, mah. Papa rasa ada yang berbeda semenjak tujuh tahun terakhir. Bintang menjadi kurus dan seperti-"
"Banyak fikiran, kan?" potong istrinya.
"Sepertinya. Kita sebagai opa dan omanya malah membuat hatinya semakin keruh," kata suaminya lagi.
"Mungkin setelah Bintang tau yang sebenarnya, kita bukan opa dan omanya lagi. Kita orang lain, pah," lirih istrinya dan terdengar suara isakan kecil. Isakan itu begitu pilu. Suaminya pun ikut menitikkan air matanya.
Mereka adalah opa dan oma Bintang. Rasi dan Herman namanya. Sehabis kelurga Bintang pulang, mereka menuju balkon kamar mereka sambil merenungkan sesuatu yang mungkin terjadi dan tidak terjadi.
Kehidupan mereka begitu bahagia setelah kedatangan Bintang dihidup mereka. Mereka jadi mengerti kasih sayang. Mereka mengerti caranya berkasih dengan keluarga. Membagikan waktu demi anak istri yang menunggu di rumah. Semuanya begitu berubah.
Bintang hadir dengan anugerahnya. Anugerah yang membuat semua orang berubah seperkian detik melalui pemikiran mereka. Bintang bukan paranormal atau orang semacamnya. Bintang hanya gadia cantik dengan hati selembut kapas juga wajah penuh binar cahaya.
"Kita jahat ya, pah," Rasi masih menangis dalam pelukan suaminya. Hidupnya benar-benar butuh kehadiran Bintang yang mengubah sifat sosialitanya menjadi ibu rumah tangga yang baik.
"Iya, kita jahat mah," timpal Herman kepada istrinya. "Sudah, lebih baik mamah istirahat dulu. Jangan terlalu dipikirka," lanjut Herman.
Akhirnya mereka masuk ke kamar mereka dan mengistirahatkan tubuh yang penuh dengan rasa takut.
***
Setelah melakukan pekerjaan rumah seperti biasanya, Bintang duduk di ruang keluarga sambil menonton TV ditemani dengan segelas coklat panas.
Ia menghembuskan nafasnya kasar. Ia sangat lelah. Bayangkan saja, rumah sebesar ini semuanya Bintang yang membersihkan. Bahkan kegiatan pribadi seperti orang melakukannya sendiri harus Bintang yang melakukan. Kalau tidak, sudah pasti penghuni rumah ini akan marah dan mengamuk. Layaknya raja, ratu, dan anak singa yang sedang marah.
"Bintang!" panggil ayahnya dengan suara keras.
"Iya, ayah," jawab Bintang dan langsung menghampiri ayahnya yang berada di kamar.
"Kenapa, yah?" kata Bintang langsung menanyakan ada keperluan apa memanggilnya kesini. Bahkan ada ibu dan kakaknya juga.
"Dimana uang saya di laci ini?" tanya ayahnya tegas kepada Bintang. Jangan lupakan tatapan sini dan penuh selidik itu.
"Loh, kok tanya aku yah?" tanya Bintang balik. Ia merasa bingung. Pasalnya dia masuk ke kamar ayahnya hanya menyapu dan mengepel saja. Tidak membuka lemari ataupun laci yang berisi uang itu.
"Kok lo balik tanya, sih!" kata Bunga kesal.
"Cepat kembalikan uang saya!" perintah sang ayah dan langsung mencengkram bahu Bintang kuat.
"Aku nggak tau, yah. Sumpah!" kata Bintang.
"Yah, dia tadi kan masuk kamar ayah. Nggak mungkin dong kalau bukan dia yang ambil," kata Bunga memanas-manasi ayahnya.
"Dasar anak nggak tau diri kamu, ya!" kata sang ibu sambil menjambak rambut Bintang.
"Ibuuu, sakiit!" teriak Bintang kesakitan.
Dan terjadilah penyiksaan itu lagi. Bintang hanya pasrah. Untungnya luka yang diberikan orang tuanya tidak terlalu menonjol. Hanya rasa sakit bekas pukulan dan goresan panjang di pelipis karena terbentur meja.
"Ayah, demi apapun aku berani sumpah kalo aku nggak pernah ambil ataupun curi uang ayah. Bahkan aku harus cari uang sendiri untuk penuhin kebutuhan aku!" kata Bintang masih dengan suara isakannya.
"Ibu nggak perlu repot-repot hasut ayah untuk siksa aku. Suatu saat disini bakal terbongkar siapa yang salah. Maaf yah, bu, kak. Selama ini aku selalu ngomongin kalian itu iblis. Maaf," kata Bintang.
Mereka bertiga terdiam dan merasa bingung. Apalagi sang ibu, ia merasa sedikit takut. Apakah Bintang sudah tahu yang sebenarnya?
"Aku nggak tau apa yang terjadi sebenarnya. Yang pasti kalian semua, termasuk opa, oma dan kak Naya, kalian punya rahasia besar dan itu menyangkut aku. Iya, kan?"
"Ngomong apa sih, lo?" kata Bunga yang semakin kesal tetapi tak menghilangkan rasa cemasnya.
"Aku emang penasaran, tapi aku sadar diri. Pasti rahasia itu bakal terbongkar sendirinya. Dan kak Bunga, untuk baik tak perlu memfitnah. Untuk dianggap pahlawan tak perlu menjatuhkan
dan mengorbankan seseorang,""Kalian egois!" kata Bintang terakhir dan langsung pergi menuju kamarnya dengan isak tangis tak terbendung lagi.
Kedua orang tauanya dan kakaknya hanya menatap Bintang penuh kebingungan. Bukan karena bicara Bintang yang sedikit ngelantur, tapi sepertinya kecemasan mereka akan bertambah karena rasa penasaran Bintang sangat kuat.
Akhirnya mereka semua istkrahat membaringkat tubuh juga menenangkan fikiran yang akhir-akhir ini sedikit rumit.
KAMU SEDANG MEMBACA
B I N T A N G
Teen FictionGadis itu ialah Bintang anugerah. Berperawakan cantik, berkulit putih, dengan bentuk mata, hidung, dan bibir yang begitu mungil membuatnya sangat menggemaskan. Rambutnya lurus tergerai rapi sebatas punggung. Berwarna hitam pekat dan sangat berkilau...