10. R A H A S I A

5 0 0
                                    


"Anak pungut?"

Tiba-tiba dari ambang pintu Bintang datang dengan wajah bingungnya. Sekarang Naya dan Bunga hanya diam menatap Bintang berharap semoga Bintang tidak mendengarkan apapun yang dibicarakan mereka tadi.

"Kak Naya...?" panggil Bintang dengan nada seolah meminta penjelasan.

Naya melirik Bunga yang sedang diam dengan ekspresi cemas juga tegang yang tepatri di wajahnya. Naya tahu, pasti Bunga takut jika rahasia terbesar ini akan terbongkar karena ulahnya sendiri.

"Kamu denger apa aja tadi?" tanya Naya yang kini menghampiri Bintang dan mengajaknya duduk di sofa bersama Bunga.

"Cuman kak Bunga bilang kak Naya berubah hanya karena anak pungut," jelas Bintang sambil mengingat apa yang didengarnya tadi.

"Beneran cuman itu?" tanya Naya lagi berharap semoga saja Bintang hanya mendegar itu.

"Iya, cuman itu. Anak pungut?"

"Emm, anu-"

"Gue nggak sengaja ngomong yang nggak seharusnya gue omong," kata Bunga akhirnya.

Naya sedikit lega tetapi rasanya pasti akan berubah setelah tau hari ini yang terjadi.

"Kak Bunga tega banget ngomongin aku anak pungut," kata Bintang sedih. Ternyata ketika di rumah neneknya, kakaknya masih bisa menyakiti hatinya.

"Maafin kakakmu ya, mungkin dia capek jadi mulutnya asal ngomong," kata Naya menengahi. Jujur ia sedih.

"Kak Bunga nggak capek sakitin hati aku terus?" tanya Bintang kepada Bunga.

Bunga tampak terkejut dan akhirnya menormalkan emosinya kembali." Biasa aja kali! Caper banget!"

Naya dan Bintang hanya menggeleng saja. Naya yang di tengah mereka berdua merasa hawa sekarang sudah berbeda. Akhirnya Naya inisiatif untuk mengajak mereka jalan-jalan.

"Udah-udah, kita jalan-jalan yuk! Mau nggak?" ajak Naya kepada Bintang dan Bunga.

"Iya, kak. Bintang mau!" sorak Bintang.

"Bunga kamu harus ikut!" kata Naya dan langsung menarik kakak adik itu menuju mobilnya yang terparkir di depan rumah opa omanya itu.

Selama di perjalanan, hanya Naya yang berceloteh ria. Naya menceritakan pengalamannya ketika pergi ke Belanda ketika study tour. Naya memang terlahir pintar. Dan kepintarannya itu menurun di diri Bintang. Bintang juga pintar kan?

"Kalian kok pada diem? Masa bangga sih cuman jadi pendengar aja?" kata Naya yang kesal dengan kedua sepupunya yang diam kaku seperti patung.

"Bunga nggak mood," kata Bunga ketus.

"Yaudah nih, kamu kakak turunin sini aja, ya?"

"Loh loh! Enak aja, ngapain aku turunin disini? Tega banget sih, kak?" protes Bunga kepada Naya yang sudah menghentikan mobilnya di tepi jalan.

"Katanya nggak mood, kakak nggak mau jalan-jalan kalau salah satu dari kalian nggak happy, mending kita pulang aja," kata Naya serius.

"Kak, kakak happy aja, nanti kita nggak jadi jalan-jalan," kata Bintang mencoba membujuk kakaknya yang sedang dalam mode turun.

"Bacot!" balas Bunga.

"Bunga!" pekik Naya yang sudah sangat geram dengan tingkah Bunga. Apalagi ditambah Bintang yang duduk di samping kemudi. Otomatis membuat Bunga kesal setengah mati.

"Udah, kak," kata Bintang mengelus tangan Naya yang sudah kaku karena mungkin ingin menjambak atau menampar Bunga.

"Cihh," suara lepehan air liur Bunga membuat semua mengelak karena selain jijik, Naya dan Bintang sama-sama memgacuhkan dari pada emosi sendiri dan ujung-ujungnya malah darah tinggi.

Setelah acara tengkar-menengkar kecil terjadi di mobil tadi, akhirnya mereka sudah sampai di pusat perbelanjaan modern. Naya memilih ini karena keinginannya yang sedang berburu film yang sebentar lagi akan mulai di layar bioskop.

Mereka duduk di bagian atas pojok kanan. Pastinya Naya duduk di tengah adik kakak itu. Kalau tidak, kalian bayangkan sajalah.

Akhirnya setelah hampir satu jam setengah durasi film itu, kini mereka sudah keluar ruang bioskop. Naya akhirnya memutuskan untuk mengajak Bintang dan Bunga singgah di restoran siap saji yang berbaur dengan ayam goreng.

"Mau pesen apa kalian?" tanya Naya kepada dua adik kakak yang sedang saling diam.

"Yaudah lah, kita paket komplit aja ya," akhirnya Naya yang memesan lalu membawa nampan makanan itu ke meja mereka.

"Dimakan! Nggak usah perang dingin!" kata Naya yang semakin geram.

Akhirnya mereka makan dengan diam. Mereka seperti menikmati hidangan mereka dengan hikmat. Tak memperdulikan mood mereka yang berbeda-beda. Setelah selesai makan dan cuci tangan, mereka kembali duduk di starbucks untuk minum dan nongkrong ala-ala gadis pada umumnya.

"Bintang gimana kesan tadi nonton filmnya?" tanya Naya kepada Bintang yang sedang meminum lattenya.

"Aku hampir nangis, kak. Filmnya kaya berasa di hidup aku banget. Cuman bedanya anak yang di film itu anak pungut. Kok tega, ya ibu kandungnya ngasih anak yang jelas darah dagingnya sendiri sama orang lain," kata Bintang menjelaskan perihal rasa film tadi.

Naya terhenyak. Benar memang, film itu seperti menohok perasaannya karena sangat mirip dengan kisah hidup Bintang.

"Maafin kakak, Bintang. Film itu memang bener-bener mirip sama kisah hidup kamu. Bahkan status yang di film itu pas banget sama kamu. Kakak nggak kebayang kalo kamu tau yang sebenarnya," batin Naya yang sudah berceltoh ria.

"Wah, ternyata anak songong ini nyindir keluarga gue. Duh gila, otak dia kok persepsinya bener banget sih!" batin Bunga menohok. Bunga pungkiri seberapa lama lagi pasti Bintang akan tahu yang sebenarnya.

"Lebay amat!" kata Bunga mendesis karena kesal lantaran Bintang yang hampir saja membongkar tingkah busuk keluarganya kepada kak Naya.

"Bunga diem! Kakak nggak nyuruh kamu ngasih pendapat," kata Naya.

Akhirnya mereka memutuskan pulang karena Rudi menlfon Naya untuk segera mengajak putri-putrinya pulang karena akan kembali ke Jakarta.

"Opa-oma, Bintang pamit dulu ya," pamit Bintang kepada kedua orang tua itu.

"Iya sayang. Kapan-kapan kalo liburan, kamu kesini ya, kalo bisa nginep, ya?" kata omanya.

"Iya, nanti Bunga nginep kok, oma," tiba-tiba Bunga nimbrung obrolan Bintang dan omanya.

"Kamu kok ikut campur aja," kata Naya.

"Sudah, kita pulang sekarang!" kata Rudi akhirnya dan langsung menggiring istri dan anak-anaknya menuju mobilnya.

"Hati-hati, ya," kata opa.

Mobil pun membelah jalanan yang semakin padat karena jam sudah menunjukkan waktu siang. Waktu seperti ini biasa digunakan semua orang untuk beristirahat karena lelahnya beraktivitas.

Setelah lama dalam perjalanan, mobil Rudi pun berhenti di pekarangan rumah mereka.

"Bintang bawa koper kami!" perintah Rudi.

"Tapi yah-"

"Nggak usah nolak!" ketus ibunya.

Akhirnya Bintang membawa semua koper yang mereka bawa. Meskipun rasa letih tak tertahankan, ibarat hewan ia harus menurut pada majikannya.

B I N T A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang