4. P E R D U L I ?

7 1 0
                                    


Rudi, berjalan dengan langkah cepat sambil menahan gejolak amarahnya. Sepulang kerja, ia diberitahukan oleh istrinya bahwa si sulung pulang telat dengan wajah tanpa dosanya. Dengan gemuruh yang ingin meledak, ia menendang pintu kamar Bintang dengan kasar.

"Bintang!" teriaknya sambil menarik Bintang kasar lalu menghempaskannya di lantai.

"A-ayah," rintih Bintang kesakitan.

"Saya sekolahkan kamu di sekolah yang mahal! Mau kamu jadi orang nggak bener,hah?!" tanya ayahnya dengan wajah merah padamnya.

"Eng-enggak ayah, Bintang habis kerja ke-" namun ucapan Bintang terpotong karena ayahnya sudah memukulnya dengan tangan kosong.

"Ampun ayah, Bintang minta maaf!" teriak Bintang kesakitan.
Kali ini, sungguh adalah hari dimana Bintang hidup seperti diambang kematian.

"Jangan permalukan saya!" kata ayahnya tegas lalu pergi dari kamar Bintang.

Sejenak, dalam hati Rudi sang ayah merasa kasihan kepada Bintang. Wajah Bintang sangat-sangat dikondisikan. Ditambah dengan darah kering yang membekas di sudut bibir juga pelipisnya. Ayolah, iblis tetap iblis. Mana mau ia perduli.

Bintang menangis lagi. Air matanya terus mengalir sampai tak ingin berhenti. Bekas tamparan di pipi dari ibunya belum hilang, malah ditambah lagi oleh ayahnya.

"Ya Allah, Bintang nggak kuat kalo disiksa terus, hiks," keluhnya kepada sang cipta.

Bintang merasa bodoh, ia melupakan sang cipta saat dulu ia sedang bahagia. Ia hanya ingat jika sedang dalam keadaan sulit. Mungkin ini adalah cobaat tersulit sebagai ujian bahwa Bintang termasuk orang yang sabar.

Berdiri dengan linglung, Bintang mengambil kotak obat dan mulai mengobati luka-lukanya. Ia meringis kala alkohol mengenai luka yang robek sampai air matanya menetes lagi.

"Kenapa ayah pulang tiba-tiba langsung marah sama aku?"

"Apa ibu udah fitnah aku lagi?"

"Memangnya mereka dari mana, ya?"

Tanya Bintang dalam hati. Ia merasa heran. Saat ia sadar dari pinsannya, ia masih di teras. Sedangkan rumah juga masih sepi tidak ada orang. Lalu ia tidur kembali, bangung-bangun sudah ada ayahnya yang menyiksanya lagi. Apa ayah dan ibunya sempat keluar bersama sebentar?

"Selesai!" pekik Bintang. Ia paling malas jika harus mengobati lukanya. Ini semua karena terpaksa, ingat!

Ia mengambil ponselnya, lalu melihat beberapa pesan uang isinya dari sang sahabat sejati. Dengan malas, ia lalu membuka lagi aplikasi instagram lalu melihat beberapa status orang yang sudah ia ikuti. Salah satunya Bunga, sang kakak.

Ia melihat beberapa status kakanya tentang kesehatiannya. Lalu ia diam sambil melihat intens status yang diunggah pukul setengah tujuh malam tadi.

"Kak Bunga makan di restoran sama ibu, eh tunggu-tunggu. Ini ada ayah juga!" pekiknya.

"Tega, ya kalian! Disaat aku lemah kalian malah seenaknya pergi seneng-seneng tanpa perduliin aku, tega kalian hiks," Bintang menangis lagi.

Sebutan apa lagi yang cocok untuk orang tua dan kakak Bintang itu. Sialan? Bajingan? Iblis? Setan? Apa lagi? Bintang jengah, sungguh jengah!

Ia melempar ponselnya di kasur lalu menutup seluruh tubuhnya dengan selimut. Posturnya sekarang sudah terbaring seperti mayat, ya impian Bintang memang ingin sekali terbujur kaku saat ia sudah disiksa oleh ayah atau ibunya. Impian bodoh memang!

***

Mentari pagi telah muncul dari ufuk timut. Menyemburkan cahaya yang begitu menenangkan bagi siapapun yang menikmati keindahan ciptaan Tuhan.

B I N T A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang