8. 2 P A N G E R A N

6 2 0
                                    


Setelah tiga hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Bintang diperbolehkan pulang ke rumah. Selama dirawat, Bintang tidak habis fikir karena disana, ia tidak sepenuhnya istirahat. Selama disana, ia selalu mendapat makian juga beberapa sumpah serapah dari orang tuanya juga kakaknya.

"Suatu saat jangan lupa diri ya, lo," kata kakaknya.

Kalimat itu membuat hati Bintang mencelos. Lupa diri? Bahkan selama ini untuk meninggikan harga dirinya saja sangat sulit. Bagaimana ia akan lupa diri kepada mereka yang berprofesi sebagai penindas diri Bintang?

"Kamu hidup kok nyusahin orang," kata ibunya. Menatap jengah, ibunya itu sudah sangat geram. Seperti ingin memakan Bintang hidup-hidup.

Toh disini yang keberatan siapa? Seharusnya Bintang, kan?  Dia hidup dikediaman keluarganya yang menjelma seperti iblis. Hatinya? Cukup sabar. Raganya? Cukup kuat. Sudah dibilang, Bintang bukan orang lemah!

"Dari kecil emang pembawa sial!" kata ayahnya. Tapi Bintang belum mengerti apakah yang dikatakan ayahnya tertuju untuknya. Jadi Bintang hanya diam saja. Seolah paham.

"Tuh kan, lupa diri kan, lo!" bentak kakaknya. Bintang auto terkejut. Dia hanya diam karena ia fikir untuk apa ayahnya mengatakan kalimat laknat itu kepadanya.

"Ayah ngomongin lo, bego!" tegur kakanya lagi.

Dan, ya. Bintang menangis. Ternyata kalimat itu sungguh melukai hati Bintang. Banyak sudah perihal sakit hati yang sudah ia alami. Adakah obat penyembuh? Atau hanya pereda saja?

Bintang melangkahkan kakinya untuk menuju kelasnya lagi. Hari ini adalah pelajaran olahraga. Jadi, kelas Bintang mengadakan praktek senam lantai di gedung olahraga seberang lapangan.

"Tang, gue bau ya?" tanya Lala sambil mencium setiap inci pusat keringat di tubuhnya.

"Enggak," jawab Bintang. Sebenarnya iya, jika Bintang jujur jadinya Lala aka berdiam di toilet untuk membersihkan tubuhnya sampai waktu pergantian jam habis. Dan itu merugikan bagi Bintang.

"Syukurdeh," jawab Lala sambil menyegir tidak jelas.

Lala memang wanita yang harus serba sempurna. Bahkan kuku telunjuknya patah sedikit ia menangis seperti orang kesetanan. Alasannya kukunya jadi jelek, salon mahal, kutek kuku mahal lah. Dan Bintang jengah itu!

"Bintaaaang!" panggil Gio, si anak basket yang sok kul gaya kayak orang korea.

"Napa?" kata Bintang dan memutar matanya jengah. Setiap Gio menemuinya pasti selalu memakai baju basket dan bola yang sengaja ia pantul-pantulkan. Biar terlihat profesional. Biar gaya yang sok kul itu ditanggapin sama Bintang.

Bintang? Jangan tanya! Ia bosan, bahkan jengah dengan tingkah Gio.

"Yawloh, Tang. Sinis amat tu muka. Mau gue cium, hah?" kata Gio sambil mengedipkan matanya genit.

"Kampret lo!" kata Bintang dan langsung meninggalkan Gio yang sudah memanas karena aksi pedekateannya gagal lagi.

"Lo kalo mau pedekate ama Bintang, jangan tebar pesona mulu!" kata Lala memperingati.

"Bintang nggak suka sama orang yang sok, kaya lo," sambung Lala lagi.

Gio mengalah. Dia pergi menuju lapangan basket dan demi apa, ia melampiaskan emosinya dengan melempar bola basket sekuat tenaganya. Gio merasa harga dirinya terinjak oleh sikap Bintang. Jangan ada dendam diantara mereka. Semoga.

"Bugh!" lemparan bola Gio mengenai kepala seorang lelaki yang sedang berjalan sambil membawa sepiring siomay kesukaan wanita pujaannya.

"Woy taik! Siapa yang lempar bola ini, hah?!" teriak lelaki itu. Sungguh ia sangat marah, selain karena kepala yang amat berdenyut, tetapi juga sepiring siomay untuk wanita pujaannya yang terhempas sia-sia di lantai.

B I N T A N GTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang